CHAPTER 11

258 16 6
                                    

Ternoda akan darah dan air mata. Bibirnya membiru seiring menurunnya suhu di sekitarnya. Pria dengan surai hitam itu hanya bisa bersujud di depan pusara seseorang.

Menangis pun tidak akan bisa mengembalikan sesuatu yang telah diambil oleh sang penguasa. Dia menyesal karena telah bersikap begitu kejam pada adiknya.

Benar. Satu-satunya saudara yang masih ia miliki kini telah pergi. Menemui sang kakak yang telah lama berada di sisi pencipta.

Dia benar-benar merasa menjadi seorang bajingan yang paling berdosa di dunia. Bagaimana dia bisa setega itu pada saudara kandungnya sendiri. Bahkan hingga hembusan napas terakhir sang adik pun dia tidak mengetahuinya.

Sungguh, pria itu tidak ingin meminta pengampunan atas segala dosa yang telah ia perbuat. Dia hanya meminta agar waktu bisa terulang dan dia bisa memperbaiki semuanya. Dia bahkan rela jika harus menukar nyawanya sendiri. Tapi pada siapa?

Darah yang menetes dari bibirnya kini sudah kering. Hasil dari perkelahian antara dirinya dengan salah satu dokter di rumah sakit. Tidak ada pembelaan yang dia lontarkan, karena dia sadar dirinya yang bersalah.

Tetes demi tetes air mata terus mengalir. Sengaja ia biarkan sebab tangannya terlalu lemas hanya untuk mengusap air mata yang tidak berguna itu.

Pemandangan yang sangat memilukan. Di tengah pekuburan nan sepi, pria itu menangis seorang diri.

Tidak, dia hanya tidak menyadari jika ada sepasang mata yang memperhatikan dari kejauhan. Sepasang mata yang teduh, namun kini telah berubah, sarat akan kehampaan dan penderitaan. Wanita itu masih berusaha untuk tegar dan berdiri menopang dirinya sendiri.

Isakannya pun mulai terdengar mengiringi angin yang perlahan berhembus dingin. Mengeratkan mantel musim dinginnya, dia beranjak dari sana membiarkan sang kakak ipar menangis seorang diri.

****

"Kau dari mana?" Suara lembut mengalun menyambut kedatangannya di rumah. "Sakura, ibu sangat khawatir karena kau tiba-tiba menghilang pagi tadi. Kau baik-baik saja, kan?"

Melirik sejenak pada ibunya, wanita itu-Sakura, dia hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan langkahnya menuju kamar.

"Kau pergi ke pemakaman lagi?"

Sontak langkah kaki itu berhenti, membiarkan pertanyaan sang ibu menguap ditelan luasnya ruangan.

"Sakura?"

"Aku hanya...ingin," berbalik menghadap lawan bicaranya. Sakura menarik napas perlahan, "Aku hanya rindu. Boleh, kan?"

"Tidak ada yang melarangmu untuk merindukannya, sayang. Ibu tahu bagaimana perasaanmu," wanita paruh baya yang sebentar lagi menjadi seorang nenek itu hanya mampu memberikan dukungan pada putri semata wayangnya. "Tapi sudah lebih satu bulan kau tetap seperti ini. Ibu khawatir."

"Tidak apa-apa. Selagi aku makan aku akan tetap hidup, kan?" Kepalanya menunduk memandang pada calon keluarga barunya. Iya, sesuatu yang sangat berharga bagi hidupnya. "Ibu tidak perlu khawatir."

"Bagaimana aku tidak khawatir. Sekarang musim dingin dan kau masih sering pergi keluar dengan kondisi seperti ini," berulang kali wanita itu mengingatkan dan hanya dianggap angin lalu bagi Sakura. "Kau tidak sendiri lagi. Ada nyawa yang harus kau lindungi. Ibu mohon mengertilah."

Memandang ibunya sejenak, dia kemudian mengangguk membenarkan ucapan ibunya. Sakura sudah bertahan sejauh ini, dia pasti mampu jika harus bertahan lebih lama lagi. Meski sendirian, tanpa sang suami di sampingnya.

Hanya waktu yang mampu memberi jawaban seberapa kuat Sakura bertahan. Dilingkupi sepi dan penyesalan, Sakura bertekad untuk terus bertahan demi anaknya. Harta paling berharga yang Sasuke tinggalkan untuknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Not AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang