Pagi itu, angin musim dingin yang belum berlalu menyentuh kulitnya. Meninggalkan rasa menyengat yang membuatnya menggigil. Kaki mungilnya masih setia berdiri tegak tak bergerak di depan pusara seseorang yang sangat disayanginya. Tidak tahu harus melakukan apa, dia hanya diam dan membiarkan air matanya mengalir deras tanpa suara.
Dia tidak mengerti, kenapa dia harus berada di sini, dengan keadaan seperti ini. Mengapa dia tidak pergi ketika yang lainnya sudah tidak lagi di sampingnya, dia pun tidak menyadari itu.
Orang tuanya sudah pergi sejak beberapa menit yang lalu, beserta orang yang mengantar kepergian kakeknya. Iya. Kakeknya.
Seorang kakek yang selalu menemaninya, kemana pun, dimana pun, dan dalam kondisi apa pun. Hanya kakeknya yang peduli, lalu apa yang akan dia lakukan jika kakeknya sudah tiada?
Sebuah tepukan kecil pada bahunya membuat perhatiannya beralih menatap ke belakang. Masih terdiam, keduanya hanya saling melempar tatapan hampa tak mendasar. "Ayo pulang." Dua kata itu seolah tak dihiraukan, kembali dia berbalik dan menatap pusara sang kakek lagi. "Sasuke."
Sasuke jelas tidak bisa pergi dari sana, rasa sayangnya pada sang kakek bahkan mengalahkan udara dingin yang kian menusuk kulitnya. Bagaimana dia bisa pergi sementara sang kakek terbaring di sini, di tengah udara dingin yang menyakitkan.
"Semuanya sudah pulang, kita bisa datang lagi nanti. Kau bisa sakit jika terus di sini." Lagi, dia hanya menganggap perkataan saudaranya seperti angin lalu. "Kakek akan sedih jika melihatmu seperti ini, Sasuke. Ayolah."
"Sasuke," senyap kembali menyapa pemakaman elite itu, ke tiga orang yang masih berdiri di sana, masih tidak ada niatan untuk bicara dan beranjak pergi meninggalkan orang terkasih yang telah terbaring tak bernyawa dalam tanah. Tanpa satu orang pun tahu, bahwa semua itu adalah awal dari luka yang kian terbentuk dan berakar.
****
Perlahan anak itu berjalan, melewati lorong rumahnya yang terasa menenggelamkan tubuh kecilnya dalam kesunyian. Terus berjalan hingga anak tangga terakhir menuju dapur dan ruang makan. Jika ini beberapa hari yang lalu, maka dia akan disambut dengan sapaan hangat sang kakek, yang kemudian dibalasnya dengan sebuah pelukan.
Begitulah yang terjadi, namun kenyataannya semua telah berubah. Tidak ada ucapan selamat pagi dari siapa pun untuk dirinya. Bahkan ibunya yang terlihat sibuk menyiapkan bekal pun sama sekali tidak menoleh padanya. Dan hal itu membuatnya tak mengerti.
Lebih tidak mengerti lagi, ketika hanya ada satu piring sarapan di atas meja, tepat di depan tempat duduk saudaranya. Menghiraukan piring yang terisi penuh dengan roti panggang yang terlihat menggiurkan, dia beralih menatap ibunya yang masih sibuk dengan kotak bekal, bersama dengan seorang perempuan yang belum dia kenal.
Matanya masih mengamati perempuan asing itu sembari berpikir. Hingga dia tidak menyadari bahwa saudaranya sudah duduk di sebelahnya, dan menatap dirinya bingung. "Sasu,"
Dan yang dipanggil pun spontan mengerjapkan mata karena tiba-tiba merasa matanya pedih, sebelum akhirnya balas menatap mata yang sama dengannya. "Hm?"
"Apa yang kau lihat?" sedikit berbisik agar dua perempuan yang tengah sibuk itu tidak terganggu. Anak itu kemudian menyadari bahwa di depan saudaranya belum ada makanan yang tersaji. "Kau tidak sarapan?"
Alisnya sedikti terangkat dan kembali melihat piring makan saudaranya yang belum tersentuh, pada akhirnya lapar kembali menyerangnya. "Aku tidak tahu." Kembali dia menatap ibunya yang sudah selesai dengan kotak makan yang telah dimasukkan ke dalam tas khusus. Tidak ada sepatah kata yang ia ucapkan karena tiba-tiba ada rasa takut dalam dirinya melihat tatapan datar nan dingin ibunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Again
FanfictionBagaimana jika, kau mencintai seseorang, namun orang itu tidak merasakan hal yang sama? Atau, ketika kau mencintainya, namun orang itu telah tiada? Semua itu telah dia rasakan. Ketika dia mulai membuka hati, harapan itu tidak lagi ada. Terlambat. Se...