Momen yang paling membahagiakan bagi seorang anak bukan diukur dari jumlah mainan yang diberikan, bukan pula dari pergi ke tempat yang menyenangkan, tetapi bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat terutama orang tua. Mereka akan selalu dan pasti yang menjadi pertama bagi seorang anak, ruang belajar sekaligus tempat hiburan dalam dekapan.
Namun, sebuah kenyataan menyakitkan memang ada. Tidak semua anak memiliki kebahagiaan tersebut, tidak semua anak mendapatkan keluarga utuh. Bahkan untuk bertemu dalam satu hari saja bisa dihitung dengan jari.
Salah satu anak tidak beruntung adalah si kecil yang tengah menari dengan jas hitam yang hampir menutup seluruh tubuhnya. Kaki mungil itu bergerak ke depan, belakang ataupun samping padahal tidak ada musik mengiringi. Kekehannya menggema di kamar yang cukup luas, dominasi warna putih dan karpet berbulu yang nyaman bahkan untuk terlentang di atas sana.
Beberapa saat ia menikmati waktu sendiri, sampai kakinya berhenti bergerak secara tiba-tiba. Kedua tangannya terangkat menyentuh perut yang bergetar dan mengeluarkan suara yang familiar.
Kepalanya mendongak untuk menatap pintu kamar yang masih tertutup dari sejak ia bangun tadi. Bibirnya maju beberapa senti sambil bergumam, "Nana lapar."
Setelah berdebat dengan diri sendiri, akhirnya si kecil meletakkan jas tersebut ke atas ranjang kemudian berjalan menuju pintu. Tangan mungil itu terangkat menyentuh knop, sejenak ia berdiri di sana melihat keadaan luar kamar. Tak ada siapapun di sana, tetapi samar-samar mendengar suara televisi menyala.
Perlahan, ia melangkah keluar menelengkan kepala untuk melihat keadaan lantai. Senyumnya terukir mengetahui sudah tidak basah. Kaki mungil itu menuruni tangga dan masih belum menemukan pelayan rumahnya.
Kening si kecil berkerut melihat keadaan meja makan yang masih kosong, bahunya melorot tak bersemangat. Rasa lapar sampai membuat kakinya lemas. Tubuhnya berbalik menghadap ke arah dapur dan melihat sebuah mangkok di atas meja.
Sebelum berhasil memasuki area tersebut, si kecil meringis kala lengannya ditarik tiba-tiba dan sosok wanita yang bekerja membersihkan rumah itu menatapnya geram di sana.
"Sudah kubilang untuk di kamar, kan? Kenapa keluar, hah?"
"La-lapar — ucapan tersebut seakan tak didengar oleh sang pelayan. Tubuh kecilnya kembali diseret ke atas dengan paksa.
Wajah anak itu hanya meringis saat tubuhnya dihempaskan ke dalam kamar, si kecil terlonjak mendengar pintu yang dibanting begitu keras.
Si kecil lunglai, ia memilih untuk naik ke atas ranjang dengan memeluk jas hitam tersebut.
Tidur dalam keadaan lapar dan menunggu malam untuk sang Ayah mengunjunginya.
***
Mimpinya begitu indah, taman yang luas dengan rumput hijau si kecil berlari sembari melepas tawa. Di belakang, ada sang Ayah yang tiba-tiba menangkap tubuhnya kemudian diangkat ke atas. Mereka bahagia berdua, berakhir dengan pelukan dan kecupan pada wajah lelaki itu.
Akan tetapi, sakit pada perut dirasakannya. Sampai kemudian, ia hanya memeluk tubuh sang Ayah dan menangis dalam dekapannya.
Lenguhannya keluar dari bibir kecil tersebut, sebuah usapan pada kening membuat si kecil membuka mata dan melihat sosok wanita menggunakan kemeja putih dan stetoskop di leher.
KAMU SEDANG MEMBACA
Odika✓
FanfictionJaemin sedang menjalani hidup atau hidup yang menjalankannya? ©piyelur, Agustus 2020.