O.2

4.6K 770 56
                                    

Sorry for typo(s)



Kehidupannya tidak berubah setiap kali bangun tidur, Jaemin akan selalu bangun di kamarnya dalam kesendirian. Tak ada suara selain jam weker yang berdetak, jemarinya meremas jas hitam yang menjadi teman untuk tidur.

Beberapa saat ia hanya berbaring di ranjang, menempelkan jas hitam itu pada pipi dan menghirupnya pelan. Walaupun sudah tidak ada bekas harumnya parfurm yang dirindukan, tetapi Jaemin masih menyimpannya dengan baik.

Keadaan rumah juga tidak berubah, satu-satunya peninggalan kedua orang tua yang tidak akan Jaemin gantikan.

Setelah ditinggal sang Ayah, si kecil Na diasuh oleh seorang wanita paruh baya. Usia beliau jauh lebih tua dari pengasuh-pengasuh yang pernah ada, Jaemin selalu dimasakkan makanan yang lezat. Walaupun tidak bisa diajak bermain, tetapi setidaknya ia tidak merasa sendiri.

Ada satu pertanyaan dalam hidupnya yang tidak pernah ia dapatkan jawaban.

"Apakah Ayah akan mengunjungi Nana lagi, Nek?"

Beliau hanya tersenyum sembari mengusap surainya dengan lembut, "Pasti, Ayah nanti akan mengunjungi Nana. Tapi sekarang, Nana harus makan yang banyak. Besok sudah mulai sekolah, ya?"

Seberapa keras Jaemin berusaha untuk belajar, makan dengan baik dan penurut tetap saja Ayah tidak datang menemuinya. Tak ada foto untuk ditatap supaya mengurangi rasa rindu.

Pada momen seperti ini, Jaemin tidak tahu harus mengadu pada siapa. Sang Nenek telah berpulang untuk selamanya sejak usianya sebelas tahun. Namun, kepergian beliau juga mendatangkan sosok yang baik hati juga.


Keluarga Lee dari Busan pindah ke samping rumahnya, Jeno sering kali mengajak bermain kemudian Ibunya yang akan memasak untuk makan siang dan malam.


Mereka seperti keluarga bagi Jaemin.

Senyumnya terukir, ia merubah posisi menjadi duduk kemudian menatap foto besar yang terpajang di dinding hadapannya.


Foto seorang wanita yang tengah memeluknya dari samping saat usianya tiga tahun. Senyum mereka hampir sama.


"Coba saja Ibu membangunkanku dengan senyuman itu," gumamnya pada diri sendiri.


Wanita itu meninggal karena serangan jantung mendadak saat keduanya di supermarket. Jaemin kecil tidak tahu mengapa Ibunya tiba-tiba saja tergeletak dan meringis kesakitan. Salah satu orang menggendongnya untuk dijauhkan dari sang ibu yang dibawa oleh mobil ambulan.


Hari itu, Jaemin terakhir kalinya melihat sang ibu.

"JAEMINAAA! BANGUN!"


Atensi pemuda Na teralihkan ketika mendengar teriakan dari Jeno, sudah menjadi kebiasaan anak itu datang ke rumahnya untuk sarapan bersama.


**

Lee Jeno namanya, lebih tua beberapa bulan dari pemuda Na. Namun, sikapnya yang protektif seperti seorang kakak membuat Jaemin terkadang jengah. Persahabatan mereka lebih lama daripada dengan Renjun dan Donghyuck.


Mereka sudah hapal tabiatnya masing-masing, tetapi Jeno mengakui bahwa Jaemin sangat pandai berakting dan menutupi segala perasaan. Dari kecil ia tidak pernah melihat pemuda Na itu menangis, paling parah adalah diam dan tidak ingin makan.

Ada satu kejadian yang membuat Jeno semakin tidak bisa membiarkan Jaemin sendiri. Rasa takut kehilangan telah muncul.


Entah apa yang ada dipikiran Jaemin kala itu, sampai Ibunya berpesan untuk jangan sampai meninggalkan pemuda Na itu sendiri.


"Aku hanya ingin berlatih bernapas di dalam air, Jeno."

Orang lain akan mendengarnya sebagai jawaban masuk akal, tetapi Jeno tahu sorot mata yang kosong itu mengatakan sebaliknya. Seorang anak berusia 13  tahun dan berlatih bernapas di dalam air pada kolam renang untuk orang dewasa? Bahkan sudah jelas anak bermarga Lee itu meneriaki nama Jaemin tetapi tak diindahkan. Seakan ada sosok jahat yang mengalihkan perhatian sahabatnya kala itu.


Sehingga, biaya sekolah menjadi tanggung jawab Nyonya Lee kala itu supaya Jeno bisa menyelamatkan Jaemin dari kesendirian.

Area dapur rumah juga menjadi tempat terlarang bagi Jaemin, bukan hanya mengingatkan kenangan pahit dengan pengasuh jahat tetapi benda-benda tajam di sana juga telah disingkirkan oleh Ibu Jeno.

Hampir lima tahun, Jaemin selalu didatangi oleh psikiater. Pesan dari beliau untuk keluarga Lee adalah jangan membiarkan Jaemin sendirian dengan benda-benda tajam. Selalu ditemani untuk mengobrol atau bermain, satu-satunya hal yang bisa membuat pikirannya teralihkan.

Tidak ada yang menyadari bahwa senyuman manis itu telah berhasil menyembunyikan keinginan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.


***


Pukul sepuluh malam, cafe telah tutup. Hari ini cukup ramai, apalagi Jaemin juga mendapatkan tip yang lumayan juga untuk makan dua hari ke depan. Masalah cuti kuliah, tentu saja ia sudah mendapat persetujuan oleh Nyonya Lee, meskipun dibujuk untuk tidak usah. Mengingat usianya yang sudah cukup dewasa juga menjadi salah satu hak untuk memutuskan.


Berganti dengan pakaian kasualnya, Jaemin memakai setelan training bewarna hitam yang menjadi oleh-oleh dari Donghyuck beberapa waktu lalu.

Sebuah klakson mobil mengagetkan dirinya, Jaemin menoleh ke belakang dan menemukan ketiga sahabatnya yang tertawa mengejek dari dalam mobil.


"Kalian! Kenapa ke sini? Sudah tutup!" omelnya setengah berteriak.


Kepala Donghyuck menyumbul dari jendela, tangannya melambai ke arah Jaemin, "Ayo masuk!"


Pemuda Na itu menurut kemudian berjalan menuju ke mobil Maserati Ghibli berwarna biru tersebut. Duduk di belakang bersama Renjun, mereka pergi meninggalkan cafe tempat Jaemin bekerja.


"Makan apa, ya?" gumam pemuda berpipi gembul itu.


"Yang buka 24 jam itu saja, ayam goreng dekat stasiun!" usul Jeno yang duduk di samping Donghyuck.


Kening Jaemin berkerut, menepuk kursi sahabatnya yang menyetir, "Nanti Renjun kejauhan. Kalian itu, besok kuliah, kan?"

"Ne, Seonsaengnim!" jawab Donghyuck menghadap ke belakang, "Menurutmu sajalah, siapa yang mengantar kalian pulang nanti kalau bukan aku?" lanjutnya.



Kalau Donghyuck sudah bersikeras mengajak mereka makan, tidak ada yang bisa menariknya kembali dengan kegiatan lain. Mau tidak mau, mereka menurutinya.


"Selama Donghyuck yang membayar, kembali ke China untuk sekedar makan juga tidak apa-apa," tutur Renjun dengan santai.


Di depan Donghyuck mencibir seakan mengikuti gaya bicara pemuda Huang tersebut. Yang mana langsung mendapat karma saat itu juga.



Bibir Jaemin terukir melihat interaksi sahabatnya, ia bersandar pada kursi dan melihat pemandangan jalanan yang gelap.






Odika✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang