O.13

3.5K 654 61
                                    

Sidang versi piyelur



Sorry for typo(s)



Lima belas tahun bukan waktu yang sebentar, apalagi pada setiap detiknya merasakan kerinduan yang menusuk hati. Tak tahu harus mengutarakan kepada siapa dan di mana. Katanya, dunia itu luas dan indah, tetapi Jaemin merasa kecil di dalamnya sekaligus seperti buta. Dia disuruh menunggu, tetapi tak tahu apa yang harus diterima.


Namun, awal akan selalu berakhir. Entah kapan itu terjadi, tetapi Jaemin telah berhasil bertahan untuk menerimanya.


Pertemuan setelah sekian tahun mungkin tak seindah yang dibayangkan. Berada di ruangan kecil dan seakan penuh mata yang mengawasi. Sosok itu berdiri di ambang pintu, penampilannya tak berwibawa seperti dulu. Garis wajahnya terlihat lelah, mungkin hanya duduk di kursi keras dengan menyembunyikan wajah di telapak tangan untuk tidur satu malam. Namun, Jaemin masih mengingat senyuman itu. Lesung pipinya ada di sana yang membuat pemuda Na semakin merasakan sesak dalam dada.



Keduanya berjalan saling mendekati sampai saling bersitatap. Tangan Jaehyun terulur menyentuh surai si bungsu dengan senyuman yang terukir, tetapi Jaemin melihat bulir air mata itu sudah di ujung pelupuk beliau.


"Wah, Nana sudah tinggi, hampir menyalip Ayah, ya?"



Pertanyaan basa-basi itu tak dijawab oleh Jaemin, tubuhnya jatuh dalam pelukan Jaehyun. Isakan yang terbenam pada dada lelaki Jung itu terdengar. Mark yang berada di luar ruangan hanya menunduk melihat pemandangan ayah dan sang adik.



"Kata-kata adalah doa, Ayah menyesal dulu meminta supaya bisa melihat Nana menangis."



Situasi seperti ini bukan yang diharapkan keduanya untuk menangis dalam pertemuan karena rindu yang terpendam. Namun, apa yang bisa diubah oleh mereka?


Kehidupan memang akan selalu menjadi misteri pada setiap detiknya.



Kedua tangan Jaehyun beralih dan menangkup wajah sang buah hati yang tumbuh tanpa dirinya, senyumnya lebar dan menampilkan lesung pipi.


"Mulai semester depan, Nana mulai kuliah, oke?" kemudian sedikit mendongakkan kepala Jaemin, "Tidak usah bekerja lagi. Nikmati masa kuliah bersama teman-teman Nana," ada jeda sejenak dengan Jaehyun mengerutkan keningnya, "Donghyuck, Renjun lalu Jeno, ya?"



Si bungsu hanya menganggukkan kepala, terlalu lemah untuk membuka mulut. Manik Jaemin hanya mengamati wajah sang Ayah yang masih terlihat tampan, tetapi ekspresi lelah tergambar di sana membuatnya iba bahwa selama ini bukan hanya dirinya yang merasa kesepian.


Pelukan mereka berakhir dengan Jaehyun yang masih menggenggam jemari putranya, meletakkan di dada dan merasakan debaran jantung beliau, "Menderita bukan berarti kalah, diam bukan berarti menyerah," lelaki Jung itu semakin melebarkan senyumannya, "Hanya perlu keyakinan bahwa kebaikan akan selalu menang," tutur Jaehyun dengan lembut.




***



Jemarinya tak pernah lepas dari tautan dengan Mark di sana, si bungsu Jung tampak lebih gugup di ruang sidang. Sebisa mungkin Jaemin mengabaikan tatapan tajam Cho Yujin yang duduk sebagai korban sedangkan Ayahnya berada kursi pemeriksaan yang berhadapan langsung dengan hakim.



Tak bisa fokus mendengarkan, apalagi ketiga sahabatnya tidak bisa datang. Namun, melihat sang kakak yang tampak menahan amarah  ketika mendengar kesaksian Cho Yujin. Yang mana membuat Jaemin merasa bahwa mereka akan mengalami kekalahan.



Odika✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang