Sorry for typo(s)
Bunyi klik pada pintu terdengar, Jaemin melangkah memasuki rumah dengan wajah yang lesu. Tubuhnya cukup lelah karena satu hari penuh ini berada di luar, ia juga membantu Renjun untuk menyusun hasil studi kasusnya.Senyumnya terukir ketika mendengar Leo yang menyalak kemudian berlari menghampiri, si kecil putih mendusal pada sela-sela kakinya sembari merengek. Jaemin bersimpuh dan menggendong hewan menggemaskan tersebut.
"Kau merindukanku?" Leo menyalak kemudian mengendus di sekitar wajah Jaemin, membuat pemuda manis itu tertawa kecil.
Keduanya berjalan memasuki ruang tamu, pemandangan di sana sangat mengejutkan bagi Jaemin karena posisi wadah makan dan minuman Leo sudah kosong tetapi masih terlihat bersih dan rapi.
Dahi Jaemin mengernyit, menatap Leo yang turun tiba-tiba kemudian menyalak seakan memberitahu bahwa dia sudah lapar kembali.
"Kenapa anjing pintar sepertimu ditinggalkan sendiri? Tidak sia-sia siapapun mereka yang mengajarimu dulu?" gumam Jaemin yang tentu saja tidak bisa dijawab gamblang oleh hewan berbulu tersebut.
Kaki panjangnya melangkah pada area dapur, Jaemin mengambil piring bersih kemudian menuangkan makanan Leo yang dibelikannya kemarin.
"Makan yang rapi, ya? Kutinggal mandi dulu," pamit Jaemin pada teman satu rumahnya tersebut.
Setelah meninggalkan Leo di dapur, pemuda Na menuju ke kamarnya. Tidak langsung mandi, Jaemin duduk di ranjang sembari mengingat percakapannya dengan Renjun pada perjalanan pulang tadi.
Tangan Jaemin terulur mengambil bantal kemudian dipeluk, tidak menyadari bahwa selama ini hidupnya mungkin terancam secara tidak langsung.
"Bahkan wanita itu sampai berani datang ke cafe dan berniat memecatmu, kan? Bisa dibilang, dia terobsesi pada Ayahmu, Jaemin!"
Ingatannya kembali pada wanita yang beberapa hari lalu datang ke cafe, tatapannya penuh kebencian dan angkuh. Pantas saja, ia langsung memecahkan gelas supaya tidak bisa dijadikan barang bukti. Jemari pemuda Na mengusap wajah dengan kasar, tubuhnya dihempaskan ke atas ranjang.
Pertanyaan mengapa selalu muncul dalam pikiran Jaemin. Namun, ada jawaban-jawaban yang tak pasti untuk membongkar segalanya.
**
Jika Jaemin bisa mengatakan yang sejujurnya, ia ingin melanjutkan kuliah. Bertemu dengan ketiga sahabatnya dan saling membantu dalam mengerjakan tugas, pemuda Na bisa membayangkan suasana ramai ketika mereka berdebat atau mungkin bisa membanggakan Ibu di surga sana.
"Besok, Nana harus sekolah yang tinggi, memiliki banyak teman dan saling membantu, ya?"
"Ibu itut cekolah?"
"Tidak, Sayang. Ibu nanti akan menyiapkan bekal untuk Nana sekolah, kalau di rumah Ibu juga akan menemani Nana belajar nanti."
Kepalanya tertunduk dalam, ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa panas dan tertawa kecil. Terkadang, keputusan yang menurut Jaemin bijak ternyata semakin menjerumuskannya ke lubang penyesalan yang baru.
Kini, ia menyadari bahwa komunikasi itu sangat penting. Pada Nyonya Lee, Jeno bahkan Renjun dan Donghyuck sekalipun. Benar kata pemuda Huang, Jaemin harus melihat dari kedua sisi dalam hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Odika✓
FanfictionJaemin sedang menjalani hidup atau hidup yang menjalankannya? ©piyelur, Agustus 2020.