Semakin zemira mundur Agam semakin mendekati wajahnya, jika begini terus Zemira bisa kehabisan stok oksigen.
"Agam!" Bentak Abian.
Agam tersenyum ke arah Zemira, sebelum mengambil smartphone yang ada di saku Zemira.Akhirnya Zemira bisa bernafas normal setelah Agam kembali berdiri tegak.
" Kenapa? Gue cuma mau ngambil ini." Agam menggerakkan Smartphone Zemira yang dibalut softcase berwarna peach.
Jari-jari Agam mulai bergerak, menekan layar smartphone menuliskan nomornya disana.
"Masa pacar gak boleh punya nomor hp pacarnya?" Ujar Agam menatap Abian dengan mengangkat sebelah alisnya.Abian meninggalkan kelas dengan langkah tegas, masa bodoh dengan tatapan bingung dari semua orang.
"Bi!" Teriak Stella mengejar Abian yang melangkah dengan cepat.
Meskipun dapat bernafas lega dan bahagia sebab Agam berhasil menjadi miliknya, tapi Zemira merasa ada yang salah. Tapi apa?
***
"Bian! Tunggu!""Apa sih stell?!"
"Lo kenapa?" Stella menggenggam erat lengan Abian.
"Kenapa?! Mereka jadian!"
"Lo yang tenang dong!"
"Gimana gue bisa tenang sementara orang yang gue suka jadian sama adek gue sendiri?!"
"Adek?" Stella melonggarkan genggamannya, tidak percaya dengan yang diucapkan sahabatnya barusan.
"Oke, gue ngerti. Terus sekarang lo mau apa?" Lirih Stella, kini tangannya tak lagi menahan Abian.
"Gue gak bisa biarin mereka!"
"Lo tau kan sesuka apa Zem sama Agam? Apapun itu, gue harap lo gak mengambil keputusan dalam keadaan emosi"
Hening tak ada jawaban, kalimat itu benar-benar menampar batin Abian. Stella benar, Abian tak akan bisa menahan Zemira untuk perasaannya. Abian juga tidak berani mengungkapkan perasaannya, dia tidak berhak menyalahkan Agam sepenuhnya.
Tapi Agam tidak mungkin mencintai Zemira, hanya dalam waktu yang singkat. Zemira bukan tipenya, apa yang Agam inginkan.
***
Seseorang dengan pakaian rapi tengah duduk di depan cermin saat Agam membuka pintu kamarnya, di waktu yang bersamaan orang itu menoleh."Ganesha?" Sebelah alis Agam terangkat.
"Iya ini gue."
"Kenapa lo disini?"
"Kenapa lo balik ke Indonesia gak nungguin gue?"
"Bos lo yang minta gue cepet kesini. Lo aja yang telat." Gerutu Agam.
"Oke, maaf. Gue kuliah dan gue mahasiswa rajin gak kaya lo, jadi banyak yang harus gue urus biar bisa lanjut kuliah disini."
"Gak usah pamer, mirip Abian lo lama-lama." Agam melemparkan tasnya kemudian merebahkan diri di kasur besarnya.
"Masih musuhan kalian?" Tanya Ganesha.
"Pertanyaan macam apa itu." Agam terkekeh.
"Gue disini bukan sebagai pengasuh lo lagi."
"Serius lo?" Agam mengabaikan.
"Iya, bos bilang gue cuma harus ada di deket lo."
"Najis, kalo gue gay gimana? Bisa gue apa-apain lo kalo deket gue mulu."
Tawa mereka pecah saat itu, samar terdengar oleh Darius dari depan pintu kamar Agam yang tertutup. Seperti inikah tawa Agam? Bahkan Darius tidak pernah mendengar Agam tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall for [On Going]
Teen Fiction"lepasin Zemira, Gam." Abian berkata lirih sambil memegang erat kerah baju Agam. Agam mendorong kuat Abian, "lo sendiri gimana? lo pikir lo lebih baik dari gue? anak haram?!".