BAB 4. Masa Idah

106 9 0
                                    

Tak terasa, sudah sepekan mas Agus meninggalkan kami. Waktu berlalu begitu cepat. Saudara-saudaraku pun satu persatu sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Untuk sementara, aku masih tinggal di rumah orang tuaku di Ungaran. Aku tak sanggup apabila harus hidup sendiri di Jogja. Banyak sekali kenanganku dengan mas Agus di sana. Benar-benar banyak. Bertebaran di mana-mana. Aku pun masih belum sanggup hidup berdua saja dengan Janika. Aku sangsi, apakah aku bisa membesarkan Janika sendiri saja. Ohh.. Ya Alloh.. Ya Robb... betapa beratnya cobaanmu ini...

Aku masih sering menangis. Terutama apabila tiba-tiba aku teringat akan mas Agus. Ketika melihat gudeg, aku langsung teringat bahwa itu adalah makanan kesukaannya. Apabila aku melihat hem putih, aku juga langsung ingat bahwa itu adalah baju kebesarannya. Dan apabila aku melihat sosok dokter di televisi, aku pasti langsung ingat dengan sosok santun mas Agus. Ya Alloh.. rasanya air mata ini belum bisa kering membasahi pipi.

Tapi aku pantang menangis di depan Janika. Ia masih polos dan butuh penguatan. Aku berjanji bahwa aku harus kuat di depan Janika. Aku tak boleh lemah, walaupun hatiku sangat rapuh. Apalagi ketika Janika menanyakan sang ayah yang sudah pergi selama-lamanya.

"Bundaaa.. Janika kangen ayaaahh.. kenapa ayah pergi lama sekali, Bunda?" Selalu seperti itu pertanyaan polos Janika.

Dan kalau sudah seperti itu, aku pasti akan menguatkannya, "Sayang.. Janika sudah tahu kan dimana ayah sekarang berada? Ayah sudah tidur dengan tenang, sayang. Ayah sudah bahagia. Jadi Janika nggak boleh sedih yaa.. Nanti kalau Janika sedih, ayah juga pasti sedih.."

Dan biasanya, aku langsung mengalihkan Janika kepada aktivitas-aktivitas bermain. Agar dia lupa sejenak dengan kerinduannya. Walupun sebenarnya usahaku itu sia-sia saja. Janika tetap saja menangis. Merindukan sosok yang selalu mendekapnya dengan hangat. Sosok yang selalu menemaninya belajar di waktunya yang sempit. Dan sosok yang begitu besar melindungi kami berdua dari marabahaya.

Aaahh.. andai saja aku sepolos Janika. Tentu beban yang kurasakan tak sedemikian berat. Apabila ingin menangis, Janika tinggal menangis. Apabila ingin mengeluh, Janika tinggal mengeluh. Sedangkan aku? Aku sudah dewasa. Sudah memiliki tanggung jawab besar. Aku tak bisa sembarangan menangis, walaupun aku sangat ingin menangis. Aku juga tak bisa sembarangan mengeluh, walaupun sebenarnya jiwaku memberontak ingin sekali mengeluh. Aku harus bisa menahan segala gejolak emosi negatif yang terus menyeruak ke permukaan.

Kadang, kutatap wajah polos Janika yang tertidur. Kadang dia juga menangis hingga tertidur. Aahh.. malaikat mungilku yang malang. Masih sekecil ini, kau sudah ditinggalkan oleh ayahmu. Kadang aku juga merenungi diri sambil menatap wajahnya yang tenang saat tertidur. Akankah aku bisa mengemban tanggung jawab yang begitu besar ini? Akankah aku sanggup menjalani semuanya tanpa kehadiran mas Agus? Apakah aku mampu membesarkan dan mendidik Janika seorang diri? Segala pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu sukses membuat kepalaku pening luar biasa.

Kalau sudah banyak sekali beban dalam jiwa, biasanya aku langsung melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Aku pun bermunajat habis-habisan di hadapan Ar-Rahman. Menangis sejadi-jadinya. Bermuhasabah diri.. instropeksi diri tentang cobaan yang begitu berat ini. Ya Alloh.. akankah hamba kuat dengan ujianmu yang sangat berat ini? Namun aku yakin, bahwa Alloh tidak akan memberikan ujian melampaui batas kemampuan hambanya. Hal inilah yang selalu menguatkanku. Membuatku tegar, membuatku sabar, membuatku tabah. Karena yang dibutuhkan oleh seorang hamba ketika ditimpa musibah hanya sabar dan sholat. Aku sering menghabiskan waktuku untuk bermunajat kepada Alloh. Siapa lagi tempatku bergantung sekarang kalau bukan Alloh?

Kini aku sedang dalam masa idah. Masa idah adalah sekitar 40 hari. Sebenarnya masa idah harus dihabiskan di tempat tinggal sang pemilik masa idah tersebut. Jadi aku harus kembali ke Jogja.

Mendekap CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang