BAB 3. Mimpi Buruk itu Ternyata Nyata

129 10 0
                                    

Aku menatap liang lahat itu dengan pandangan nanar. Otakku masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Semuanya terjadi begitu cepat, lebih cepat daripada neuron otakku dalam mengirimkan sinyal informasi ke neuron lainnya. Pandanganku kosong. Hatiku hampa. Aku tak tahu apakah ini nyata atau hanya sekedar mimpi buruk belaka. Mimpi yang teramat buruk. Yang bahkan aku sendiri untuk membayangkannya. Apabila ini mimpi, aku berharap agar bisa segera bangun. Bangun dan meneruskan hidup yang normal seperti sedia kala.

"Ayaaahhhh... ayaaahh.. ayaaah jangan pergi, Yaah..huhuhuhu..." tangisan Janika di sampingku sukses membuatku kembali tersabar di dunia nyata. Dunia di mana aku menginjak bumi dan beratapkan langit. Aku menengok kepada buah hati kecilku itu. Pandangannya juga sama seperti aku. Tertuju pada sesosok tubuh berbalut kain kafan putih yang hendak dimasukkan dalam liang lahat. Aku terhenyak. Ya.. aku ini adalah nyata!! Ini bukan mimpi!! Ini adalah kenyataan terpahit yang kualami seumur hidupku!!

Mas Agus sudah meninggal!! Aku harus berani menerima kenyataan ini. Ya.. mas Agus sudah tidak ada. Sudah pergi dari dunia yang fana ini. Pergi. Pergi menuju dunia yang abadi. Menuju dunia indah yang sudah menunggunya di sana. Dunia indah yang dijanjikan oleh sang Khaliq pada hamba-hamba-Nya yang wafat di atas dua kalimat syahadat!!

Mas.. perjalananmu sungguh indah. Kau mengakhiri semua kisahmu di dunia ini dengan husnul khotimah. In syaa Alloh, hidup setelah tidur panjangmu ini akan lebih mudah, Mas. Aku.. Anneke Nirmala.. hanya bisa mengikhlaskan kepergianmu yang begitu mendadak ini!! Sangat mendadak! Bahkan kau tidak memberiku kesempatan bernafas sebelum kau pergi.

Kupeluk putri kecilku yang menangis histeris. Sedangkan aku??? Aku terlampu shock dengan seluruh kejadian ini sehingga air mataku tak mampu keluar lagi. Hanya sedikit genangan air mata di pelupuk, namun ia tak mampu menetes. Karena di pojok relung hatiku yang terdalam, aku masih berharap bahwa ini hanyalah mimpi.

Sedikit demi sedikit tanah ditimbun ke dalam liang lahat suamiku. Sedikit demi sedikit, sosoknya menghilang tertutup tanah. Seluruh keluargaku dan orang tuaku berusaha menguatkanku. Dipeluknya diriku. Dan dipjiti pundakku. Aku tak tahu.. apakah aku bisa tegar atau tidak. Aku tak membayangkan.. kemarin kami berlima tertawa bahagia merayakan Lebaran bersama. Mengobrol ini itu.. membahas ini itu.. Tapi kini.. kami menangis bersama. Suamiku meninggal mendadak karena serangan jantung. Begitu kata dokter. Aku heran, padahal suamiku tak punya riwayat penyakit jantung. Aahh.. tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Ini memang takdir Alloh yang harus bisa aku terima. Harus bisa legowo. Harus bisa ikhlas. Aku hanya bisa mengelus kepala putriku. Berusaha menenangkannya.

Prosesi pekaman sudah hampir berakhir. Aku masih termangu kaku berdiri di posisi semula. Memandangi pusara suamiku yang kini sudah sempurna tertimbun tanah. Para pelayat menaburkan bunga di atasnya. Hatiku sakit. Sakittt sekali seperti disayat sembilu. Orang-orang berlalu lalang di sekitarku. Memberit support dan dorongan kepadaku agar aku bisa sabar. Bisa ikhlas. Aku hanya dapat mengangguk lemah.

"Sabara ya, Ne.. mungkin ini adalah jalan terbaik bagi Agus. Yang ikhlas ya.." begitu kata orang-orang.

Ikhlas??? Ya.. aku harus bisa ikhlas ditinggal mas Agus dengan sedemikian cepat. Di enam tahun pernikahan kami, ia telah pergi lebih dahulu meninggalkanku, meninggalkan Janika, dan meninggalkan orang-orang yang menyayanginya. Cepat. Semua terjadi dengan sangat cepat.

Akhirnya prosesi pemakaman sudah selesai semua. Pak ustadz telah selesai membacakan ayat suci. Kini waktunya kami, para pelayat, pulang dari pemakaman. Satu persatu orang-orang melangkahkan kakinya menjauh dari pusara. Mereka meninggalkanku yang masih kekeuh berdiri di samping pusara basah suamiku. Pikiranku masih kosong. Pandanganku menerawang entah ke mana. Aku benar-benar tak sanggup berpikir. Kejadian ini bagaikan hujan meteor yang menohok jantungku.

"Ayo pulang, Ne.." sebuah sentuhan lembut membuatku tersadar. Ternyata orang itu adalah mamaku.

"Aku masih ingin di sini, Mah.." kataku lirih. Aku seperti orang linglung. Air mataku yang tak mampu mentes, masih menggenang di pelupuk.

"Anneke..kamu jangan begitu. Kasihan Janika. Kamu harus tegar. Kamu harus kuat!! Demi Janika!!" Ibu mertuaku, atau ibu mas Agus, menguatkanku. Mas Agus memang dimakamkan di kota kelahirannya. Semarang. Ibu dan bapak mas Agus berusaha untuk terus menguatkanku. Ditepuk-tepuknya bahuku. Terkadanga dielusnya kepalaku. Dorongan dari mereka sangat berarti bagiku.

"Bundaaaa.. bundaaa.. Ayah ke mana Bund?? Ayah pulang lagi nggak, Bund? Janika kangen ayah... huhuhu..."

Aku menoleh kapada Janika. Untuk anak sekecil dia, konsep meninggal dunia memang masih terasa asing dan menakutkan. Aku berusaha menghiburnya sekuat tenaga.

"Janika sayang.. sekarang ayah sudah tenang. Sudah tidur panjaaaaang sekali. Ayah nggak akan pulang lagi ke rumah. Di sini sekarang ayah tidur. Tidur yang sangat indah. Jadi Janika jangan sedih ya. Kalau Janika sedih, nanti ayah nggak tenang tidurnya.." aku membelai kepala putri mungilku itu. Aku berusaha menguatkannya semampuku. Padahal aku sendiri juga berada di posisi yang paling rapuh.

"Huaaaaaaa..nggak mauuu..nggak mauuu.. Janika mau sama ayaaaahh.. Mau tidur lagi sama ayaaaahh.. huhuhuhu..." gadis mungilku itu terus menangis.

Melihat Janika menangis tersedu-sedu, kekuatanku menjadi goyah. Aku pun tak kuat melihatnya. Akhirnya, air mataku yang tadi hanya menggenang di sudut mata, tumpah juga. Aku benar-benar tak sanggup dengan kejadian ini. Kejadian yang bagaikan disambar petir di siang bolong. Anakku menangis semakin menjadi-jadi. Aku pun ikut menangis.

"Sabar, sayangg.. sabaar yaaa cantikk.. Ayah sekarang sudah tenang. Jadi Janika nggak perlu sedih. Ayah sudah senang di alam sana. Janika kuat ya. Kalau Janika kuat, Bunda juga kuat. Kalian saling mengutkan ya sayang.." mamaku memeluk Janika. Matanya basah oleh air mata.

Aku hanya sanggup menangis. Aku tersadar, perjalananku di depan masih sangat panjang. Tapi sekarang aku akan menjalani kehidupanku seorang diri hanya dengan Janika. Sudah tidak ada lagi kekasih hatiku yang selalu menguatkanku di kala aku lemah. Sudah tak ada lagi sosok yang begitu hangat memeluk kami di kala hujan yang dingin. Sudah tak ada lagi sosok yang rela mengorbankan segalanya demi kebahagiaan kami. Sosok besar itu sudah 'hilang'. Sudah pergi. Sudah tidak ada. Kini aku hanya berdiri sendiri di atas dua kakiku. Melangkah sendiri. Berjuang sendiri. Terpuruk dan bangkit sendiri. Ya Alloh.. Ya Robb!!! Akankah aku kuat menjalani semuanya seorang diri tanpa mas Agus??

"Anneke.. ayo, Nak.. pulang ya. Ini sudah sore. Kasihan Janika. Mulai dari kemarin kalian kuran tidur. Ayolah Nak.. kamu harus kuat. Demi anakmu." Papaku memelukku erat sekali.

Aku bergeming. Masih berdiri di posisi semula. Sedikit demi sedikit otakku bisa bekerja. Ya.. aku masih punya Janika. Aku masih punya tanggung jawab yang sangaaaat besar. Janika masih membutuhkan aku, bundanya. Janika masih butuh bimbinganku. Masih butuh perlindunganku. Masih butuh pelukan hangatku. Mungkin ayahnya sudah tiada, tapi aku masih ada. Kini tanggung jawabku terhadap Janika menjadi lebih berat.

Kupandangi gadis mungilku yang sedang memangis tersedu-sedu itu. Wajahnya begitu polos tanpa dosa. Masa depannya masih panjang. Kematian ayahnya bukanlah akhir dari hidupnya. Kini tampuk tanggung jawab mas Agus sebagai ayah berada di pundakku. Aku terkesiap. Aku tersadar bahwa aku harus kuat!! Harus tegar!! Harus tabah!! Demi masa depan Janika. Langsung kupeluk gadis kecilku itu.

"Janikaaaa.. Janikaaaa.. Kita berjuang bersama ya, Nak!!! Kita pasti bisa!! Bunda sudah kuat, sekarang Janika juga harus kuat!!! Ayah sudah senang, Nak.. sudah tenang.. sekarang giliran kita yang harus kuat!!" Aku memeluknya sambil menangis. Mengelus rambutnya yang lurus. Hatiku benar-benar pedih.. pedih.. ngilu.. Aku tak pernah membayangkan bahwa di usianya yang baru 5 tahun, gadis keciku ini telah menjadi anak yatim. Hatiku benar-benar tak kuat menerima kenyataan tersebut.

Aku lantas menggendong Janika. Aku, Janika, mama, papa, ibu mertua, dan ayah mertuaku mulai berjalan pulang. Menjauhi pusara kekasih hatiku. Kami adalah orang terakhir yang meninggalkan lokasi tersebut. Di tengah perjalanan pulang, aku kembali menengok ke tempat peraduan terakhir mas Agus. Terdapat rasa 'kehilangan' yang amat besar di dadaku.

Kehilangan yang menyisakan luka dalam. Luka sayatan yang mengeluarkan banyak darah. Aku teringat hadits Rasulullah bahwa orang yang sudah meninggal akan ditanyai oleh malaikat penjaga kubur setelah tiga langkah kaki pelayatnya pulang dari pusara. Aku langsung berdoa agar mas Agus selamat dari fitnah kubur. Dia adalah orang baik. Teramat baik. Dan meninggal dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku yakin, In syaa Alloh perjalanan mas Agus di keabadian akan lebih mudah. In syaa Alloh..

Mendekap CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang