Chapter 9

262 52 35
                                    

Danbi terkejut—tegang—di depannya ada begitu banyak darah mengalir, mayat Jinhye di dalam bak mandi, Chanyoung yang tergeletak di lantai, Chanyeol yang masih menangis. Gadis kecil di dalam dirinya ingin melarikan diri, tapi kedua kakinya bergeming seolah pasak dipasangkan di sana.

"A-aku mem-b-bunuhnya," kata-kata Chanyeol putus-putus bersama bahunya yang berguncang. "A-aku me-membunuh Ch-Chanyoung."

Danbi menekuk lutut dan meraih tangan Chanyoung. Pergelangan tangannya dingin, tapi Danbi bisa merasakan denyut nadinya yang hidup, pelan dan teratur. Chanyoung tidak mati. "Apa yang terjadi?"

"Chanyoung men-menelepon," Chanyeol bicara terbata, "bilang dia b'sama Jinhye dan menyuruhku ke sini—saat aku datang dia sudah—Jinhye—"

Danbi menatap Jinhye, lalu Chanyoung. Ia harus memanggil bantuan. Ini bukan perkara yang bisa ia sembunyikan dan lupakan seolah tidak pernah terjadi.

Prioritas, batinnya. Yang penting dulu. Danbi bergeser ke hadapan Chanyeol dan mencengkeram lengannya. "Chanyeol-ssi," bisikannya terdengar mendesak di sela-sela suara isakan. "Chanyeol-ssi. Dengarkan aku."

Danbi mengangkat kedua tangan dan merangkup wajah Chanyeol yang pucat dan dingin. "Cepat lari. Ke mana saja," katanya cepat, nyaris tanpa menggerakan bibir. "Masalahnya akan jadi lebih rumit kalau kalian terlihat bersama. Aku bisa membereskan ini. Kau pergi dari sini, dengar?"

Kedua bola mata Chanyeol merah dan bergetar. Dalam rangkuman tangan Danbi, Chanyeol mengangguk-angguk seperti orang bingung. Danbi melepaskan wajahnya dan berganti memegang tangannya, meremasnya sebagai ganti kata-kata penghiburan yang tidak bisa ia rangkai.

"Pergilah. Aku akan menghubungimu nanti." Kata-kata itu pahit di telinga Danbi, seperti ucapan perpisahan. "Kau tidak membunuh siapa-siapa. Jangan khawatir. Cepat pergi!"

Chanyeol terbengong-bengong selama beberapa detik, bingung, kemudian ia mengerjapkan matanya dan mengangguk-angguk lagi, sebelum berdiri dengan linglung. Ia berputar di atas tumitnya dan Danbi melihat punggungnya menghilang di balik pintu.

Danbi menyentuh ikon panggilan darurat pada aplikasi yang terhubung langsung ke pusat bantuan darurat. Petugas patroli dari kantor polisi terdekat akan datang dalam hitungan menit.

Danbi menghela dirinya bangkit. Ia tahu tidak perlu, tapi ia mendekati bak mandi dan menyentuh lengan Jinhye yang terjulur dengan ujung-ujung jarinya. Badannya sudah kaku dan sedingin es. Darah sudah berhenti mengalir dari luka yang menganga di atas urat nadinya. Kulitnya yang putih bersih sekarang pucat kebiruan seperti keramik, seolah warna tubuhnya merembes habis bersama seluruh darahnya.

Sepasang kelopak mata Jinhye membeku dalam keadaan setengah terbuka. Dari dekat, kedua irisnya yang terarah kosong ke udara membuat ulu hati Danbi berdenyut nyeri. Danbi menggigiti bagian dalam pipinya agar tidak muntah. Jarinya bergerak menuju mata Jinhye untuk menutupnya, tapi di tengah jalan tangannya terhenti. Kenyataan bahwa Baek Jinhye hanya berupa mayat setengah telanjang di dalam bak mandi yang penuh air bercampur darah seolah baru masuk ke dalam kepalanya. Gadis ini sudah mati.

Napasnya tercekat di tenggorokan. Bola matanya ditusuk-tusuk rasa perih. Gadis cantik ini sudah mati. Enam jam yang lalu? Dua belas jam? Dua puluh empat? Danbi tidak tahu. Tidak ada bedanya dua puluh empat jam atau menit. Gadis itu sudah mati.

Danbi berbalik dan lututnya membentur lantai dengan bunyi keras saat ia berlutut di dekat Chanyoung yang telungkup di lantai. Tangannya menyentuh leher Chanyoung yang hangat, meraba nadinya di sana yang berdenyut dengan kuat.

"Chanyoung-ah." Danbi mengguncang bahunya pelan. "Chanyoung-ah, bangun."

Dengan susah payah, Danbi memutar badan Chanyoung dan meletakkan kepala laki-laki itu di atas pahanya. Bibirnya pucat karena dingin. Sejumput rambut di dekat telinganya kaku dan lengket karena darah dari pelipisnya.

Dead Ringer [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang