Chapter 7

312 62 74
                                    

friendly warning: chapternya...... panjang. terlalu banyak yang mau aku muatin di satu chapter jadi beginilah hasilnya

Danbi tidak bisa tidur. Rasanya seperti kecemasan sedang mengunyah-ngunyah organ dalamnya dan membuatnya mual sepanjang malam.

Chanyeol tidak membalas pesan "Apa kau akan pulang?" yang Danbi kirimkan sekitar satu jam yang lalu, dan Danbi terlalu tegang untuk menelepon; khawatir Chanyeol tidak menjawab panggilannya, tapi juga khawatir kalau Chanyeol akan menjawab-ia tidak yakin mana yang lebih membuatnya gugup.

Apakah Jinhye melihat mereka? Apakah Jinhye tidak melihat?

Di tempat lain, Chanyeol juga tidak bisa tidur. Ia diam saja di bawah langit, sementara warna gelap memudar menjadi kelabu sampai matahari yang malas di musim dingin mengintip malu-malu dari balik gumpalan awan tebal. Chanyeol sendirian, walaupun ia sebenarnya tidak ingin sendiri.

Chanyeol tidak melihat pesan "Apa kau akan pulang?" yang Danbi kirimkan berjam-jam yang lalu. Ponselnya baru saja kehabisan baterai dan ia meninggalkannya seperti itu. Bagaimanapun tidak ada yang benar-benar peduli.

Bernapas membuat seluruh tubuhnya sakit. Chanyeol tidak tahu apakah itu sekadar karena dingin atau karena pilu di dadanya berdenyut-denyut seperti duri dalam daging.

Ketika ia akhirnya pulang dan menemukan Danbi tidur dalam posisi duduk di sofanya-entah sejak kapan tepatnya Chanyeol mulai mengklaim sofa itu sebagai milik Danbi-dengan kepala terdongak, mendengkur pelan, ponselnya menggantung berbahaya di tangannya yang terkulai di atas pangkuan seolah ia tertidur sambil menunggu telepon, Chanyeol menegakkan pundaknya dan menarik napas dalam-dalam.

***

"Selamat pagi."

Ketika Jinhye menyapanya lebih dulu dengan seulas senyum ramah, Danbi tidak bisa bereaksi cukup cepat hingga ia hanya gelagapan selama beberapa detik sebelum berhasil menjawab, "Se-selamat pagi."

Ini pertama kalinya Danbi berdiri di dekat Jinhye; benar-benar dekat untuk melihat permukaan wajahnya yang halus tanpa pori-pori terlihat. Jinhye mungkin tidak pernah punya masalah dengan gingsul. Wajahnya pasti lebih kecil daripada luas tangan Danbi. Rasanya gadis itu terlalu cantik, terlalu tinggi, dan terlalu kurus untuk disandingkan dengannya.

Danbi membayangkan seperti inilah perasaan kurcaci di sisi putri salju.

"Eh..." Jinhye mengerutkan dahinya ragu-ragu. "Apa kau tidak suka kopi?"

Danbi baru menyadari Jinhye sedang mengulurkan secangkir kertas kopi dengan krim yang masih mengepul. Ia cepat-cepat menerimanya dan berkata, "Terima kasih."

Gadis itu sendiri minum kopi hitam. "Aku tidak pernah bertemu manajer perempuan sebelumnya," katanya. "Pasti tidak mudah, apalagi kau bekerja sendirian. Aku salut padamu."

"Bukan apa-apa." Danbi mengangguk dengan canggung, lalu menyesap kopinya. Ternyata Jinhye tidak hanya menambahkan krim, tapi juga gula, yang sebenarnya tidak Danbi sukai, tapi ia tetap meminumnya demi sopan santun.

"Kau bekerja dengan siapa sebelumnya?" tanya Jinhye.

"Model. Model Han Juri."

"Ah, Juri eonni." Jinhye mengangguk-angguk. "Aku melihat peragaannya di Seoul Fashion Week tahun lalu. Dia punya wajah persegi yang sangat tegas. Cantik sekali."

Danbi mengangguk setuju.

Jinhye menatap Danbi beberapa lama. "Dari yang kudengar, Chanyeol memilih untuk bekerja denganmu." Ada setitik nada merajuk dalam suaranya. Bukan cemburu, hanya mungkin iri. "Kau pasti luar biasa."

Dead Ringer [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang