...Gadis berambut sebahu itu---Chantika--- keasyikan melamun hingga kaget saat mobil yang dia tumpangi bersama Arka Sanjaya---kekasihnya--- berhenti tiba-tiba di pinggir jalan.
"Kenapa, Mas?" tanyanya sembari menoleh. Wajahnya terlihat sedikit cemas. Bukan hanya karna mobil berhenti mendadak, tetapi juga kejadian yang dia temukan lima belas menit lalu di rumahnya.
"Ngga tahu, Dek. Mas lihat dulu."
Chantika mengangguk. Arka pun turun, mengelilingi mobil dan kembali ke pintu depan sebelah kiri, tempat Chantika duduk. Pria itu mengetuk kaca pintu.
"Kenapa, Mas?" tanya Chantika saat mata mereka bertemu tanpa penghalang kaca.
"Ban belakang bocor. Mas ganti dulu, ya."
Chantika kembali mengangguk. Dia yang ingin turun dari mobil dilarang oleh Arka.
"Adek di dalam aja. Dingin. Mas bentaran aja, kok."
Chantika mengangguk. Dia kembali menutup pintu yang hampir saja terbuka.
Lima menit sendirian dan sunyi membuat Chantika kembali mengingat kejadian janggal yang dia dapati.
Tadi, saat gadis itu keluar kamar dan tidak mendapati Arka yang biasa menunggunya di sofa ruang tamu, dia memutuskan mencari di luar dan cukup kaget melihat kekasihnya dan kakak tirinya berdiri di sudut rumah, terlihat berbicara tapi berbisik-bisik.
Setelah melihat keberadaan Chantika, Siska tersenyum manis pada Arka kemudian masuk ke dalam rumah dengan insiden menyengol kasar lengan adik tirinya, sedangkan Arka seperti salah tingkah dan langsung mengajak berangkat jalan-jalan tanpa memberi penjelasan pertemuan mencurigakan itu.
Kejanggalan itu membuat Chantika punya dua kemungkinan. Siska mungkin menyuruh Arka untuk meninggalkannya atau mungkin menyuruh menjaganya dengan baik. Sayangnya kemungkinan terakhir itu sungguh mustahil andai dilihat dari riwayat hubungannya dengan kakak tirinya.
Mata Chantika mendapati ponsel Arka di atas Dashboard. Tiga bulan berpacaran, dia sama sekali tidak pernah mengutak atik ponsel kekasihnya itu. Arka cukup terbuka dan tidak mencurigakan, tetapi malam ini ... gadis itu begitu ingin. Mungkin dia bisa membunuh jenuh dengan melihat foto-foko kekasih tampannya.
Chantika tersenyum melihat Arka dari kaca spion yang tengah asyik dengan dongkrak, kunci-kunci dan ban serep. Perlahan tangannya mulai mengambil ponsel. Entah kenapa, tiba-tiba jantungnya berdetak kencang.
Detakkan kencang itu mempengaruhi seluruh tubuhnya. Badannya gemetar, darahnya berdesir, dan seketika pikiran berkecamuk. Padahal hanya memegang ponsel kekasihnya saja.
"Ada apa ini?" monolognya.
Ponsel membutuhkan kata sandi. Diketiknya tanggal lahir Arka ... salah. Tanggal lahir dirinya ... salah. Tanggal jadian mereka ... salah.
"Berapa sandinya, ya." Chantika nampak berpikir keras.
Terbesit kejadian janggal tadi di benaknya, seketika tangannya gemetar mengetik tanggal lahir Kakak tirinya dan ... terbuka. Mata Chantika membulat....
"Adek, kenapa?" tanya Arka. Menoleh pada Chantika yang sedari tadi hanya diam. Dari mereka masih di mobil, sampai taman dan kini duduk menatap keramaian, gadis yang duduk di sampingnya hanya diam sembari menunduk.
"Ngga papa, Mas." Menyeka cepat air matanya dan mendongak, mengeleng, memamerkan senyuman manis pada Arka yang tampan.
"Matamu merah ... kamu menangis?" Arka memusatkan perhatian pada wajah Chantika. Mata gadis itu merah dan sedikit sembab.
Chantika menggigit pipi bagian dalam. Dia mencoba tersenyum walaupun hatinya menangis. Kebenaran telah terbongkar. Pria tampan, baik hati, lembut dan perhatian itu ternyata ....
"Kalau ada masalah--"
"Ngga ada, Mas. Hanya tadi kelilipan." Chantika menggosok matanya.
"Jangan digosok, Dek. Nanti merah dan luka matanya. Sini, Mas tiup." Arka memegang tangan Chantika membuat mereka bertatapan.
Wajah Arka yang perlahan maju dengan dua jari jempolnya berada di atas dan bawah mata Chantika membuat gadis itu merasakan getaran cinta makin menggila. Pria tampan yang sudah menemaninya selama lima bulan ini ternyata menjalankan skenarionya dengan sangat baik. Bisa membuatnya nyaman dan benar-benar cinta.
Tiupan napas berbau mint ke area matanya membuat gadis itu sadar, bahwa semua kebahagiaan ini hanya sesaat dan akan segera berganti dengan kesedihan mendalam. Seperti tiupan angin yang menerbangkan dedaun kering, begitulah kisah cintanya nanti. Terhempas.
"Gimana?"
"Udah mendingan, Mas. Makasih."
Duduk mereka kembali berjarak. Mata keduanya mulai asyik menatap depan. Taman kota begitu ramai dengan para pasangan kekasih atau keluarga bahagia yang wajah-wajah mereka nampak berbinar, bahagia.
"Dek, dua bulan kita dekat dan tiga bulan kita berstatus pacaran, mas merasa nyaman sama kamu. Bagaimana kalau hubungan kita berlanjut ke jenjang lebih lanjut." Arka kembali menatap Chantika dan membuka suara lagi.
Chantika tersenyum. Ucapan itu sesuai dengan Chat yang dia baca di ponsel Arka, Gadis itu menggigit pipi bagian dalam dan merapalkan mantra penguat dalam hati 'jangan nangis. Kamu kuat, Chantika!' terus menerus.
"Dek," panggil Arka. Pria itu menggenggam tangan kanan Chantika. Menarik ke arah wajahnya dan mengecupnya lembut.
"Mas mau melamar kamu."
Chantika menoleh. Air matanya menetes. Dia mengangguk sebagai jawaban yang langsung dibalas pelukan hangat dari Arka.
"Makasih. Seminggu lagi mas datang melamar kamu." Suara pria itu terdengar tegas dan terkesan bahagia.
Chantika mengangguk tanpa membalas pelukan kekasihnya. 'Andai aku belum tahu kebenarannya, Mas, mungkin malam ini adalah malam terindah buatku, dan air mata ini adalah air mata kebahagiaan.' batin Chantika.
...
Mohon krisannya.