***Suasana di ruang tamu keluarga Herman sunyi mencekam. Lima orang itu memiliki ekspresi masing-masing.
Siska tersenyum manis. Chantika memejamkan mata dengan buliran bening yang terus mengalir. Arka yalng terus menatap Chantika. Entah, dia merasa sangat bersalah telah melukai hati gadis itu. Sedangkan Herman dan Dwi saling bertatapan dengan wajah kaget. Mereka berdua tahu, Arka menjalin kasih dengan anaknya yang mana dan sekarang pria mapan itu melamar siapa. Banyak pertanyaan yang menganggu di benak kedua orang tua itu.
"Nak Arka ngga salah?" tanya Herman dengan alis bertaut.
Arka mengalihkan tatapan dari Chantika ke Herman. Dengan berat hati pria itu menggeleng.
"Arka serius, Om."
"Bukannya hubunganmu dengan Chantika? Kenapa malah melamar Siska?" Kini yang bertanya Dwi. Wanita paruh baya itu masih mencoba mencerna situasi.
"Saya--"
"Kekasih asli Arka itu sebenarnya Siska, Ma, Pa." Siska angkat suara.
"Loh! Ini sebenarnya gimana, sih? Mama kok bingung." Dwi punya firasat tidak enak. Apa mungkin Siska ....
"Prank!" Siska berdiri. Senyum manis penuh kemenangan itu terukir indah di bibir tipisnya. Anak kandung dari pasangan Herman dan Dwi Amelia itu berjalan mendekati Arka, kemudian duduk bersisian.
"Prank?! Lelucon? Maksud kamu apa, Nak?" tanya Dwi. Perasaannya semakin tidak enak
"Siska ngerjain anak pelakor itu."
"Siska!" Herman yang sudah mulai memahami situasi mengerikan ini, membentak. Anak pertamanya itu sangat keterlaluan. Masalah hati malah di buat lelucon.
Dwi langsung berpindah duduk di sisi Chantika. Menarik tubuh lemas anaknya dalam pelukan. Mengusap pundak, menguatkan. Ternyata benar firasatnya, Siska kembali berulah. Namun, ulahnya kali ini benar-benar fatal.
"Kenapa kamu sekejam itu, Nak?! Dia adekmu." Dwi ikut meneteskan air mata. Memeluk lebih erat tubuh Chantika yang bergetar. Gadis itu menangis tanpa suara.
"Aku ngga punya adek. Ngga sudi mengakui anak pelakor sebagai adik," ucap Siska santai. Gadis itu menyatukan jemarinya dengan Arka. "Intinya, Arka pacar aku. Dia datang untuk melamar aku. Sweet sekali. Makasih ya, Sayang."
Ucapan itu sukses membuat Chantika membuka mata, menatap pasangan jahat di depannya. Nyeri kembali menyerang hatinya, apalagi melihat jemari yang bertaut dan wajah bahagia Siska. Yah! Sakit hatinya kali ini sepuluh kali lipat dari bullyan kakak tirinya sebelum-sebelumnya. Saat matanya beradu dengan mata elang Arka, entah ... mata pria itu meredup, terlihat sorot penyesalan. Abaikan! Penghianatan membuat Chantika benci. Matanya kembali menutup.
"Bapak ngga menyangka kalau Nak Arka ikut andil dalam bullyan ini. Nak Arka tahu, akibat dari semua yang kalian berdua lakukan? Chantika akan sangat terpukul. Dia--"
"Jangan salahkan Arka, Pa. Siska yang minta. Lagian, 'akibat' itu yang membuat Siska memilih prank ini."
"Kenapa kamu sejahat itu, Nak. Kenapa kamu merusak mental Chantika? Kenapa mempermainkan rasa cintanya? Kamu tahu cinta bisa mempengaruhi seluruh tubuh? Seluruh tubuh, Nak! Jangan main-main dengan mematahkan cinta orang seperti ini!" Dwi kecewa dengan yang Siska lakukan.
"Bagus dong, Ma. Chantika pantes merasakannya. Itu karma untuk anak pelakor." Siska masih santai dalam berucap.
"Siska!" Herman membentak dengan suara yang naik satu oktaf. Makin dewasa, pikiran Siska malah makin dangkal.
"Pa," lerai Dwi. Saat Herman menatap, istrinya itu menggeleng, mengingatkan untuk menahan emosi.
"Chantika bukan anak pelakor, Ka," ucap Dwi pelan sembari menatap anaknya.
"Bela aja terus." Siska mulai emosi. Orang tuanya selalu membela Chantika, padahal menindas adik tirinya itu karna membalas dendam.
"Bukan membela ... kenyataan."
Siska berdiri. Menatap nyalang Mama dan Papanya. "Perempuan ketiga dalam rumah tangga itu pelakor. Perempuan sialan, perebut laki orang. Perempuan kayak itu harus dapat karma, karna orangnya udah mati, karma beralih ke keturunannya."
"Astagfirullah! Nyebut, Ka." Dwi kaget dengan penuturan anaknya.
"Ma, Siska melakukan semua ini untuk Mama. Siksa mau balas dendam untuk air mata Mama yang menetes saat Papa bermalam di kamar Mamanya dia!" Siska menunjuk Chantika yang masih di pelukan Dwi. "Harusnya Mama dukung dan bela aku!" Napas Siska memburu. Emosinya tidak terkontrol lagi. Tangan Arka yang ingin menggenggam tangannya saja terus ditepis.
Herman memijit pelipisnya yang berdenyut, sedangkan Dwi menyeka air mata dan menghela napas.
"Untuk yang keempat kalinya mama jelaskan sama kamu, Siska. Hadirnya mama Dyah--mama Chantika-- itu hasil kesepakatan mama dan Papa. Kesalahan mama yang nabrak nenek Chantika. Mama Dyah ngga punya keluarga lagi. Mama memutuskan bertanggung jawab dengan Papa menikahinya."
"Tapi, tiap giliran Papa nginap di kamar--"
"Siska, istri mana yang ngga sakit hati dan cemburu jika suaminya bersama wanita lain, tapi di sini mama yang salah dan mama ikhlas menebus dengan cara itu."
"Tapi air mata--" Air mata Siska pun mengalir. Anak mana yang tidak sedih Mamanya menangis karna Papanya lebih memilih perempuan lain.
"Itu hanya karna cemburu, setelahnya mama ikhlas. Cukup sakitin Chantika. Dia ngga salah."
"Ma--"
"Siska--" Dwi menyeka air matanya. "Cukup bullyan-nya. Ini sudah keterlaluan. Ini cinta pertama adikmu, kebahagiaannya langsung menjadi kesedihan mendalam karna skenariomu. Kamu ngga mikir adekmu akan trauma karna cinta? Dia mau Ujian, bisa sangat menganggu konsentrasinya." Dwi mengelus surai hitam Chantika yang memeluknya erat. Hatinya iba. Punggung gadis itu masih bergetar.
"Biarin! Dengan trauma cinta dia tidak akan menjalin hubungan dengan pria manapun, biar dia hidup sebatang kara sampai ajal menjemputnya dan biarkan dia stres dan ngga lulus ujian!"
"Siska!" Bukan cuma Herman dan Dwi yang kaget dan membentak Siska, Arka pun melakukan hal yang sama.
Siska yang kesal langsung melenggang pergi ke kamar. Meninggalkan suasana panas dengan perasaan puas. Bullyan sukses, unek-unek beres.
"Ma, Chantika mau masuk kamar," ucap Chantika pelan sembari melepas pelukan.
"Iya, Nak. Mama antar, ya."
Chantika menggeleng pelan. Ia ingin sendiri.
"Kamu ngga akan melakukan hal aneh, kan, di kamar?" Dwi takut. Seperti katanya 'cinta bisa mempengaruhi seluruh tubuh' dan sekarang anaknya itu sedang patah hati, terpuruk karna cinta, takut saja melakukan hal aneh, seperti tangan memegang pisau dan menancapkan ke dadanya yang terasa nyeri itu.
"Ngga akan, Ma. Chantika punya Allah. Punya Mama, Papa dan Dimas yang menguatkan." Gadis itu tersenyum tipis sembari menyeka air matanya.
Chantika berdiri dan berjalan pelan. Lima langkah, suara Arka membuatnya berhenti.
"Chantika, Mas minta maaf."
Tanpa menjawab dan menoleh, Chantika melanjutkan langkah.
***
Mohon krisan.