...
Dwi dan Herman berdiri bersisian di samping brangkar, menatap sedih Siska yang terluka parah atas musibah yang dialaminya.
Herman merangkul istrinya, menganggam tangannya, menguatkan ibu dari anak-anaknya itu untuk kuat menghadapi cobaan. Dwi menyeka air matanya dan menaruh kepalanya di bahu suaminya.
"Sabar, Ma. Ini cobaan," ucap Herman yang dianggukkan istrinya.
"Ma." Suara Siska membuat Dwi menegakkan kepalanya, melepas tangan suaminya dan menatap Siska.
"Nak, kamu udah sadar. Alhamdulillah." Air mata Dwi kembali mengalir. Kini air mata bahagia, anaknya sudah melewati masa kritis. Ia sangat bersyukur.
Pria paruh baya itu pun bersyukur anaknya masih diberi kesempatan kembali hidup.
"Ma--sttt!" Siska merintih. Mulutnya sakit sekali untuk digerakkan. Badannya pun rasanya sakit semua.
"Jangan banyak ngomong dulu. Istirahat saja, ya, Sayang." Dwi mengusap lembut rambut Siska. Hatinya sakit melihat kondisi anaknya yang mengenaskan.
"Kamu habis kecelakaan, Nak. Di serempet mobil. Pingsan selama dua jam," jelas Herman.
"Di serempet mobil kok separah ini, Pa, Ma?" Dengan susah payah Siska berucap. Otak dangkalnya mulai memikirkan, di serempet mungkin hanya akan jatuh biasa dan hanya luka lecet, kenapa ini parah? Dia merasa tubuhnya remuk, paling sakit di bagian mata kanan, bibir, dekat ketiak kiri dan jari-jari tangan dan kaki.
"Papa dan Mama juga ngga tahu. Yang menyerempet kabur. Masih dalam pencarian polisi, Nak. Kamu istirahat supaya cepat sembuh." Herman menenangkan.
"Ma, minta cermin." Siska ingin melihat wajahnya.
Dwi menatap Herman dengan wajah sedih. Mempertanyakan haruskan memberikan cermin? Herman mengangguk pelan. Kenyataan harus dihadapi anaknya.
Dengan tangan gemetar, Dwi mengambil cermin dari tasnya. Memberikan pada Siska dan lima menit kemudian suara teriakan tidak percaya, terdengar.
"Ngga mungkin!" teriak Siska.
Chantika sedikit berlari ke arah ruang rawat inap yang Siska tempati.
"Ada apa--" Ucapan Chantika tertahan saat dia melihat kondisi Siska. Dua jam membuat perubahan besar. Haruskah kini dia membalas perlakuan buruk Siska dengan tertawa terbahak-bahak karena kondisi kakaknya yang mengenaskan?
Mulut yang biasanya selalu membully, bengkak, sangat bengkak, efek luka jahitan di bagian dalam, hingga kulit luar terlihat mengkilat. Ada kain kasa penutup luka tiga jahitan di atas bibirnya.
Mata yang biasa selalu menatap dengan kebencian, sebelah kanan bengkak seperti separuhnya bola pingpong dan berwarna hitam keunguan.
Wajah yang mulus kini banyak lebam dan goresan luka yang masih berair. Area tangan dan kaki pun banyak luka goresan dan jahitan cukup banyak ada di dekat ketiak kiri.
"Mau apa kamu?!" teriakkan Siska mempertanyakan keberadaan Chantika di ambang pintu membuat Dwi dan Herman menoleh ke arah itu.
Chantika menghela napas. Dia masuk mendekati Siska yang terbaring. "Gimana keadaanmu sekarang, Kak?" tanyanya ramah dengan senyuman.
"Buruk! Semenjak ada kamu, aku yang sudah sakit tambah sakit!" Air mata Siska mengalir. Mulutnya benar-benar sakit. Melihat Chantika yang memandangnya prihatin membangkitkan emosinya. Menurutnya, adiknya itu mengejek.
"Sis, jangan begitu. Chantika yang ngurus kamu tadi." Dwi menceritakan ketelatenan Chantika dalam membersihkan luka, menjahit luka dan mengganti pakaian lama dengan pakaian pasien. Bahkan, air mata Chantika menetes kala melakukan aktivitasnya. Bentuk keprihatinan atas musibah yang kakaknya alami.