...
Dimas dan Chantika melarikan diri dari teman-teman mereka yang bahagia merayakan kelulusan dengan aksi corlet-coret seragam kemudian konvoi yang pasti akan menyebabkan macet. Chantika meminta Dimas untuk mengantarnya ke makam Mama kandungnya. Gadis itu ingin berbagi kabar bahagia.
"Kamu tunggu sini, ada cerita rahasia yang mau aku bagi sama mama, kamu ngga boleh dengar," ucapnya pada Dimas ketika mereka telah sampai di TPU.
Pria itu hanya mengangguk. Chantika pun meninggalkan Dimas di pinggir jalan, depan pintu masuk TPU, di bawah pohon rindang.
Langkah Chantika berhenti tepat di makam yang sudah rata, ditutupi rumput hijau, rapi terawat. Gadis itu berjongkok, mengusap nisan dan tersenyum sembari mengucapkan, "Assalamualaikum, Ma. Chantika datang."
Chantika menabur campuran beberapa jenis bunga di atas makam Mamanya dan mulailah gadis itu mengutarakan isi hatinya.
"Chantika lulus, Ma. Dengan nilai terbaik. Mama pasti doain dari atas sana, kan? Makasih," ucapnya.
"Doain lagi Chantika supaya bisa mencapai cita-cita jadi seorang Dokter ya, Ma. Chantika ingin berguna untuk orang banyak. Mendengar keluhan dan mengobati penyakit para pasien yang mungkin, nanti salah satunya adalah pembully Chantika dulu." Gadis itu terdiam sesaat.
"Ma, anak mama ini sedang patah hati," ucapnya lirih.
Di sisi lain, Arka yang menghilangkan penat dengan jalan-jalan tetapi naik mobil, entah mengapa ingin sekali melewati kawasan Makam dan tidak sengaja matanya melihat Dimas--sahabat Chantika, duduk di motor yang terparkir di depan pintu masuk TPU.
"Dimas." Arka menghentikan mobil tepat di sisi Dimas. Saat membuka kaca mobil, dua orang itu bertatapan.
"Mas Arka." Dimas berdiri.
"Ngapain?"
"Antar Chantika ke makam mamanya."
Hati Arka teriris. Harusnya dia yang ada di posisi Dimas, mengantar wanita tercinta menemui alm. calon mertuanya.
"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Arka.
"Mas mau ke mana?" tanya balik Dimas.
"Jalan-jalan saja. Tenangin pikiran." Ucapan itu sontak membuat Dimas punya ide. Mungkin, apa yang dia lakukan kali ini bisa meringankan beban sahabatnya maupun Arka.
"Kalau Mas ada waktu, kita bicara sebentar, bisa?"
Arka menautkan alis mata. Senyum Dimas membuatnya berpikir positif, mungkin dia akan mendapat beberapa jawaban atas banyak pertanyaan dibenaknya.
"Di sini?"
"Ya."
"Oke. Tunggu. Saya parkir mobil dulu." Arka memarkirkan mobilnya di sisi jalan. Kemudian dia berjalan ke arah Dimas.
"Mau bicara apa? Btw, selamat, ya, lulus." Arka berdiri berhadapan dengan Dimas yang tersenyum dan mengangguk.
"Makasih, Ma. Ngga ngucapin ke Chantika? Dia lulus dengan nilai terbaik, loh!"
Mendengar ucapan Dimas, Arka hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak bisa bertemu Chantika karena larangan Tante Dwi.
"Oya, kita mau bahas apa?" Arka ingin segera menyelesaikan obrolan dan segera pergi. Matanya melirik ke arah punggung Chantika. Entah, bagaimana reaksi gadis itu nanti saat melihatnya di sini.
"Tenang, Mas, Chantika lama jika sedang bercerita di sana." Dimas seperti membaca kecemasan Arka. "Ini tentang Chantika. Tentang kejadian--"
"Ya! Saya mengaku salah." Arka menunduk. "Siska selalu bercerita tentang Chantika yang merebut segalanya. Kasih sayang orang tua, kamar bahkan hal-hal kecil lainnya. Saat itu, sedih sekali melihat orang tercinta terpuruk, dan ketika diminta bantuan untuk membalas dendam, dengan bodohnya saya setuju. Nyatanya ... sudahlah," jelas Arka panjang lebar.