...
Menumbuhkan rasa cinta itu mudah, melupakan sakitnya terpuruk karena cinta, itu yang susah. Bukan sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi bisa mencapai tahunan bahkan seumur hidup, tergantung perjuangan move on orang tersebut. Layaknya Chantika, gadis malang itu telah melewati dua minggu masa menenangkan diri yang belum juga membuat hatinya tenang.
Tok-tok!
"Nak, mama bawa sarapan." Sudah dua minggu juga, Dwi membawa sarapan, makan siang dan makan malam ke kamar Chantika. Hanya segitu bantuan yang bisa ia lakukan. Wanita paruh baya itu sangat mengerti anak keduanya sedang menghindari kakaknya.
Ceklek!
"Masuk, Ma."
Pintu kamar terbuka. Dwi melihat Chantika yang sudah siap dengan seragam dan tas sekolah. Senyum gadis itu mulai terlihat tulus bukan terpaksa seperti hari-hari sebelumnya.
"Sarapan dulu, Nak."
Chantika mengangguk. Mereka berdua pun berjalan ke ranjang dan duduk di tepinya, berhadapan. Seperti biasa, Dwi akan menyuapi.
"Gimana perasaanmu?" Pertanyaan yang setiap hari selalu ia tanyakan.
"Alhamdulillah. Cukup baik, Ma."
Dwi menghela napas lega. "Mama ulangin lagi, maafkan kakakmu, ya. Mama dan papa gagal mendidiknya dan ... kamu anak mama," ucapnya sembari mengusap pipi Chantika.
Chantika tersenyum, mengangguk sembari memegang pergelangan tangan Mamanya yang berada di pipi. Hatinya tenang jika ada di sisi wanita paruh baya yang merawatnya tanpa pilih kasih sejak kecil ini.
Chantika, anak dari Herman dan Dyah Ayu. Seperti penuturan Dwi, Dyah menjadi orang ketiga di keluarganya itu atas persetujuannya. Bukan merebut, tetapi diminta dengan baik-baik.
Dwi yang belajar mengendarai mobil mengalami insiden menabrak Mama Dyah dan sebagai pertanggung jawaban, ia ingin menggantikan posisi Mama untuk menjaga dan menemani Dyah yang saat itu masih berumur 19 tahun.
Siska yang waktu itu sudah berumur enam tahun, ternyata memiliki dendam pada Dyah karna seringnya melihat Mamanya yang menangis setiap sang Papa bersama istri keduanya. Dwi tidak menyangka dendam itu sampai pada Chantika, gadis malang yang tidak tahu apa-apa.
"Terus minta kesabaran dan ketabahan sama yang Maha Kuasa. Kamu harus kuat untuk mama, Papa dan orang-orang yang sayang sama kamu. Mama Dyah di atas sana pasti ingin melihat kamu baik-baik saja di bumi," ucap Dwi dengan air mata yang mengalir. Tangan yang berada di pipi Chatika beralih di tengkuk, menarik untuk mendekatkan kening anak rapuh itu ke bibir gemetarnya.
Kecupan hangat penuh kasih sayang mendarat dengan sempurna.
"Chantika-nya mama kuat!" ucapnya lagi menyemangati ketika mereka sudah bertatapan.
"Ya, Ma. Makasih." Chantika tersenyum, mengangguk dan buliran bening pun menetes, mengaliri pipi chuby-nya.
***
Chantika bukan hanya dapat semangat dari Mama dan Papanya saja, melainkan dari Dimas pula.
"Hay," sapa Dimas sembari menyerahkan helm pada Chantika.
Chantika memberikan senyuman manis pada Dimas sebagai jawaban dari sapaan pria itu. Mengambil helm, memakai dan naik di boncengan. Motor gede Dimas pun melaju pelan menuju ke sekolah.
Sudah dua minggu juga, Dimas berlaku sebagai ojek Chantika. Mengantar jemput sebagai bentuk support untuk gadis rapuh itu.
Dua puluh menit, mereka berdua sampai sekolah. Berjalan beriringan menuju kelas, kemudian duduk bersisian. Dimas bernapas lega ketika melihat kemajuan Chantika semakin bagus tiap harinya.