...
Dengan senyuman manis, Dwi menyisir rambut Chantika yang berantakan akibat jambakan Siska. Kemudian memberi kecupan hangat di puncak kepala itu sebagai kode selesainya aktivitas.
"Makasih, Ma." Chantika mendongak, memberikan senyuman manis untuk Mamanya, di sisi kanan.
"Sama-sama, Sayang." Dwi membingkai wajah Chantika, kembali wanita paruh baya itu mendaratnya kecupan di kening anak malangnya, setelahnya mereka saling tatap dan berbalas senyuman.
"Makasih, Pa." Chantika menoleh ke kiri. Herman yang duduk di sisinya itu tersenyum, menarik tangan Chantika yang digenggamnya erat, mengecup punggung tangan, setelahnya mengusap kepala anaknya dengan lembut.
"Sama-sama, Nak."
Inilah yang membuat Chantika selalu kuat dalam menghadapi bully-an Kakaknya. Bukan hanya dia punya Allah SWT, tetapi juga orang tua yang baik. Walaupun anak tiri, Dwi tidak pernah sama sekali membedakan dalam memberi kasih sayang.
"Kamu yang sabar, ya, Sayang. Terus berdoa semoga sifat kakakmu berubah. Jangan benci. Dia masih terbawa suasana masa lalu," ucap Dwi.
"Iya, Ma."
"Kuat untuk harapan dan impian kamu dan kuat untuk kami yang sayang sama kamu. Jadikan Bully-an sebagai benteng diri. Semakin mendapatkannya, mentalmu akan perlahan kokoh dan kamu nantinya akan siap menghadapi kehidupan keras selanjutnya. Jangan hilang akal. Kamu punya Allah SWT dan kami."
Chantika mengangguk, air matanya menetes. Selalu terharu jika ditemani saat menguatkan diri setelah di-bully. Kakaknya membawa luka dan kedua orang tuanya membawa obat penawar. Menurutnya ini impas.
Setelah mengecup puncak kepala Chantika lagi, Herman keluar kamar. Dwi pun memanfaatkan moment berdua untuk sesi tanya jawab.
Dwi duduk di sisi Chantika, mengenggam tangan anaknya. Mereka saling berhadapan. Amukkan Siska sangat parah, mungkin ada sesuatu yang fatal terjadi.
"Mama boleh tanya?"
"Boleh, Ma," jawab Chantika sembari mengangguk.
"Apa kamu sama Arka masih ada komunikasi?"
Chantika mengeleng pelan. "Ngga, Ma. Kenapa?"
Dwi tersenyum tipis, kemudian menggeleng. "Ngga papa." Dalam hati, wanita paruh baya itu lega.
"Ma."
"Ya."
"Maksud kak Siska tentang 'sekarang anaknya mau ambil Arka dari aku!' Itu apa?" tanya Chantika. Ia ingin tahu pasti apa maksud kalimat itu. Apa Arka suka benaran sama dia? Sampai Kakaknya murka karena cemburu, tetapi bukannya cinta itu ....
Dwi tersenyum. "Arka suka sama kamu."
"Masa, Ma? Bukannya hanya karena skenario?"
"Ya. Sepertinya kebersamaan membuatnya melupakan skenario dan main pakai hati. Setelah pisah, baru hatinya terasa mati."
Chantika diam sembari memikirkan perkataan Mamanya. Apa benar Arka cinta dia? Rasanya mustahil. Andai cinta, kenapa masih saja melanjutkan 'prank' yang menyakitikan hati?
"Sayang," panggil Dwi membuyarkan lamunan Chantika. "Kenapa?" tanyanya setelah melihat wajah murung Chantika.
Chantika menggeleng.
"Kamu masih mencintai Arka, Nak?" Wajah Dwi berubah serius. Benar-benar merasa kasihan dengan nasib percintaan Chantika yang kandas dengan menyedihkan.
Chantika diam sembari menunduk, tidak lama, kepalanya mengeleng. "Ngga, Ma," jawabnya.
"Ngga?" Chantika mendongak, tersenyum tipis kemudian mengangguk. "Ngga salah lagi kalau cinta benaran sama Arka?" Godaan Dwi membuat mata Chantika membulat sempurna dengan wajah yang merah.