...
Bel panjang berbunyi, pertanda pelajaran terakhir usai. Waktunya pulang sekolah. Semua murid bersorak, tetapi tidak untuk Chantika. Pulang adalah hal yang paling dia hindari seminggu ini.
"Masih mau menghindar?" tanya Dimas yang sudah berdiri, tas sudah di pundak. Nampak sangat siap untuk pulang.
Chantika ikut berdiri dan mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Dimas.
"Ya udah. Ayo," ajaknya.
Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju parkiran. Ada motor gede Dimas terparkir apik di sana.
"Mau sampai kapan?" Dimas menoleh pada Chantika yang menjawab dengan gelengan. Gadis itu memutuskan berjuang dengan metode menghindar, berharap bisa merenggangkan hubungan bahkan cinta.
"Sudah seminggu."
"Ngga perduli."
"Hatimu gimana?"
"Sakit."
"Yang sabar. Badai pasti berlalu."
"Ya."
Percakapan singkat dan padat itu berakhir setelah sampai parkiran. Dimas segera mengambilkan helm untuk Chantika. Saat tangan gadis itu terulur ingin mengambil, panggilan dari arah belakang membuatnya menoleh.
"Mas Arka," ucapnya pelan. Ketika mata mereka bertemu, Arka tersenyum manis sembari melambai, Chantika malah buang muka, kembali menatap Dimas.
"Dimas, ayo!" Chantika terlihat panik. Dia mengambil cepat Helm tapi Dimas menahan benda pelindung kepala itu membuat Gadis itu menatap penuh pertanyaan.
"Dim--"
"Temui. Lari terus ngga akan menyelesaikan masalah. Hadapi. Kalau kamu kuat, bertahan. Kalau ngga kuat ... kamu bebas melakukan apapun. Tetap baik ataupun jahat, aku akan menjadi sahabatmu, Tik." Dimas tersenyum manis. Mengelus pundak kanan sahabatnya. Menarik kembali helm. Lima menit kemudian, motor gede warna merah itu pun pergi.
Chantika masih diam di tempat. Tubuhnya terasa kaku. Dia harus apa?
Gadis itu tersentak kaget saat tangannya digenggam. Menoleh, wajah Arka yang tersenyum manis membuat debaran cinta bertalu-talu.
"Mas panggil dari tadi, Adek malah diam di sini aja. Apa ada yang jatuh?" tanya Arka sembari ikut melihat ke bawah, ke arah tatapan Chantika.
Gadis itu menatap wajah kekasih di atas skenario itu. Wajah tampan, senyum menawan, baik budiman dan sangat perhatian. Empat poin yang membuat cinta Chantika tumbuh untuknya. Selama lima bulan perkenalan, Pria itu begitu membuatnya bahagia, berada di langit dan nyatanya ... ujungnya akan di jatuhkan dengan sangat tidak manusiawi ke bumi.
"Dek." Panggilan Arka membuat lamunan Chantika buyar. Gadis itu segera melepas pegangan tangan Arka dan memaksa tersenyum.
"Iya, Mas."
"Kamu kenapa?"
"Kenapa? Emang Chantika kenapa?" Mata Chantika bergerak gelisah. Tangannya kini berkeringat dengan jemari yang saling bertaut.
Arka menatap serius gadis di depannya. Chantika yang sekarang berbeda jauh dengan yang dulu.
"Kita bicara sambil jalan, ya."
"Ya."
Arka dan Chantika pun berjalan beriringan keluar gerbang sekolah, menuju mobil silver milik Arka di tepi jalan.
Suasana masih saja hening padahal sudah sepuluh menit mereka di dalam mobil yang melaju pelan. Tidak ada yang membuka suara.
Dreet!