9

112 11 1
                                    

...

6 Tahun kemudian.

Dwi dan Herman menyambut suka cita anak bungsunya yang pulang membawa sebuah kebanggaan. Mengucapkan, 'Selamat, Nak. Kami bangga padamu' untuk keberhasilan Chantika yang kini adalah seorang Dokter.

Selama enam tahun dia kuliah di luar kota. Mendaftar, menjadi mahasiswa kedokteran, menjalani Koas, bersaing dengan banyaknya rekan seperjuangan, kerja kerasnya itu membuahkan hasil yang memuaskan. Chantika lulus dengan nilai terbaik.

Dokter Chantika adalah nama kebanggaannya saat ini, tetapi dengan berat hati gadis itu harus kembali ke kota asal demi menjalankan tugas sebagai dokter umum di Rumah Sakit yang sudah ditetapkan.

"Besok mau istirahat dulu atau mau langsung dinas?" tanya Dwi sembari menyendokkan nasi beserta lauk pauk makanan kesukaan Chantika. Tumis kangkung, ayam goreng dan sambel tomat level sedang. Wajah wanita paruh baya itu berbinar, bahagia. Sengaja memasak menu istimewa untuk menyambut kedatangan anaknya.

"Makasih, Ma. Kayaknya langsung, Ma." Chantika tersenyum manis. Kemudian menyuapkan makanan ke mulut.

Awalnya dia kaget saat pulang, rumahnya nampak sepi, padahal hari minggu. Harusnya Mama dan Papanya ada di rumah. Akhirnya, tanpa diduga saat gadis itu melangkah masuk ke dapur, dua orang yang dia cari sedang duduk manis di kursi makan, menatapnya dengan senyuman. Di meja makan pun dipenuhi hidangan kesukaan yang tertata rapi. Luar biasa rasa haru di hati Chantika. Air mata bahagia pun menetes.

Semalam, dia menelepon, mengatakan sore akan tiba di rumah dan tidak menyangka penyambutan akan sangat mengharukan seperti ini. Dia hanya anak dari istri kedua, tetapi mereka menunjukan bahwa status itu bukan penghalang kasih sayang.

"Sekali lagi selamat, ya, Sayang." Dwi mengelus surai Chantika yang kini terurai panjang, menambah kecantikan gadis itu. Enam tahun berlalu, Chantika semakin tangguh dan membanggakan. Selama masa pendidikan, tidak pernah sama sekali mengeluh akan keadaan. Dwi tahu, jurusan kedokteran itu berkali-kali lipat lebih susah dari jurusan lainnya.

Saat gadis itu menelepon, selalu kabar dulu yang ditanyakan, setelahnya pesan untuk orang tuanya untuk menjaga kesehatan.

Saat Video Call, senyuman selalu terpancar walaupun wajahnya terlihat lelah. Gelar yang dia raih, membuktikan kebangkitan seorang Chantika dari keterpurukan akibat bully-an dari Kakak dan orang tercinta, Arka.

Bully-an jika terkena untuk orang yang lemah, akan sangat berakibat fatal, bisa membuat orang itu depresi dan bunuh diri, tetapi untuk mereka yang tangguh, akan menjadi motifasi untuk lebih baik lagi, tapi tetap, dukungan orang banyak, orang tersayang sangat dibutuhkan. Ibaratnya, pohon tumbuh subur, besar, kokoh dan rindang itu berkat beberapa faktor, diantaranya, Nutrisi, cahaya Matahari, air, kelembaban, suhu, tanah juga Gen dan hormon. Manusia juga butuh pendukung agar menjadi tangguh dan maju.

"Masakan Mama selalu enak. Ngga berubah," puji Chantika.

Dwi mengangguk. "Makasih."

"Dimas, gimana kabarnya?" tanya Herman. Pria paruh baya itu tahu, Dimas adalah sahabat sekaligus penyemangat Chantika. Saat anaknya mengatakan ingin kuliah di luar kota, awalnya tidak rela, tetapi karena ada Dimas, Herman merasa tenang dan mengizinkan.

"Baik, Pa. Kita sama-sama terus. Ngga pas kuliah, pas koas dan penempatan pun kita sama." Chantika berucap dengan ringan. Namun, raut bahagia terpancar nyata. Gadis itu benar-benar beruntung punya sahabat seperti Dimas yang mau di ajak dalam situasi susah apalagi senang.

"Semoga kalian berjodoh." Ucapan Herman itu membuat Chantika berhenti mengunyah. Ia langsung menelan isi dalam mulutnya dan minum. Kalimat Papanya menusuk hatinya. Berjodoh dengan Dimas ... gadis itu tersenyum miris.

CHANTIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang