Sebelas

651 77 5
                                    

Bandara Ngurah Rai tidak pernah sepi pada jam berapapun. Selalu saja ada banyak wisatawan yang hilir mudik di area bandara. Hawa panas langsung terasa di kulit saat berdiri di depan area bandara. Letaknya yang berdekatan dengan pantai membuat angin bertiup sedikit kencang. Andrew langsung berjalan menuju ke mobil yang sudah menjemputnya. Tanpa berkata apapun, driver juga langsung membawanya ke Ubud, tempat tinggal keluarganya.

Andrew menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Kepalanya terasa berat karena semalaman dia tidak bisa tidur. Banyak hal yang berkelebat di kepalanya. Dan semua pertanyaan yang muncul, menuntut jawabannya. Tapi, Andrew tidak bisa menemukannya, bahkan ketika mobil akhirnya berhenti di pelataran sebuah rumah dengan gaya khas Bali. Andrew melangkah turun dari mobil dan berjalan masuk. Tidak ada yang berubah dari rumah ini, meski sudah lama sekali dia tidak pulang. Dominasi warna putih dan jendela kaca besar serta tanaman hidup di dalam ruangan, memang ciri khas Mamanya. Ornamen-ornamen patung atau lukisan juga masih berada di tempat yang sama.

"Akhirnya kamu pulang juga, Drew." Mama langsung berjalan cepat ke arahnya dan memeluknya. Wanita berusia lebih dari setengah abad ini masih saja terlihat muda. Sekarang, rambutnya malah berwarna brunette. Yang terlihat berbeda adalah badannya saja yang semakin kurus.

"Kenapa enggak bilang Mama kalau mau pulang?" tanyanya lagi setelah melepaskan pelukan.

"Tidak ada rencana pulang juga."

"Mama siapkan makan siang, ya."

"Boleh. Aku mau ke atas dulu."

Tanpa mendengar respon Mamanya, dia langsung berjalan menaiki tangga, menuju ke ruangan yang berada di sudut, kamar kakaknya. Saat berada di depan pintu, Andrew merasa ragu-ragu. Dia menggerakkan tangannya perlahan, membuka kunci pintu. Dia mendorong daun pintu dan membukanya lebar. Tidak ada yang berubah dari kamar kakaknya. Semua barangnya masih tertata rapi di tempatnya. Sepertinya, Mama masih sering membersihkannya. Andrew berjalan menuju ke meja di sudut ruangan. Di meja ini, biasanya kakaknya akan bekerja atau memindahkan hasil jepretan kameranya ke dalam laptop. Dia bisa duduk di sini selama seharian setelah beberapa minggu pergi ke beberapa tempat. Kakaknya memang senang travelling. Dia bisa menghabiskan sebagian tabungannya untuk berkunjung ke beberapa negara.

Andrew membuka laptop milik kakaknya, lalu menyalakannya. Setelah menunggu beberapa saat, dia mulai membuka beberapa file yang tersimpan. Semua foto tersimpan rapi di dalam beberapa folder. Ada yang terasa sesak di dada Andrew melihat beberapa foto yang diambil kakaknya. Masa-masa indah kakaknya yang tersimpan di dalam laptop ini adalah masa-masa sulit Andrew menghadapinya. Saat itu, dia tidak menyangka takdir akan mempertemukan kakaknya dengan wanita yang Andrew cintai. Menyisihkan Andrew dari kehidupan wanita itu setelah mereka menikah.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Mama membuat Andrew menoleh.

"Tidak ada." Andrew langsung menutup laptop dan beranjak dari kursi. Dia merangkul Mamanya dan mengajaknya keluar kamar. Berada di kamar ini pun juga bukan perkara yang mudah bagi Mamanya. Mama sangat menyayangi kakaknya melebihi apapun.

"Mama masak apa?" tanya Andrew mengalihkan pembicaraan.

"Ayam betutu pedas."

Andrew tersenyum, meski hatinya sakit. Ayam betutu pedas adalah makanan kesukaan kakaknya yang sangat menyukai semua makanan pedas. Sementara dirinya adalah kebalikannya. Dia bahkan tidak suka pedas dan tidak tahan dengan rasa panas di perut karena terlalu pedas. Tetapi, Mama selalu masak ayam betutu pedas saat dia pulang. Kenapa? Karena Mama merindukan saat-saat ketika dia memasakkan masakan itu untuk kakaknya yang sudah pergi jauh.

-00-

Hawa dingin masih terasa di Ubud karena letaknya yang berada di dataran tinggi. Dan pada saat malam seperti ini, Ubud selalu terasa tenang karena tidak berdekatan dengan hiruk pikuk Kuta. Andrew berdiri di teras belakang rumahnya, menikmati dinginnya angin malam yang menerpa wajahnya. Tangannya menggenggam kaleng soda. Di meja sana, sudah ada beberapa kaleng kosong. Dia sampai tidak menghitung sudah berapa lama dia berada di sini.

"Kamu memikirkan sesuatu, Drew?" Mama tiba-tiba muncul dan berjalan mendekatinya.

"Ada yang ingin aku tanyakan pada Mama."
Mama diam. Dia menunggu Andrew melanjutkan kata-katanya. Sementara Andrew masih memilih kata-kata yang akan diucapkannya. Dia juga tidak mau menyakiti Mamanya di saat yang bersamaan.

"Mama mengirimkan barang Kakak ke Jakarta?" Andrew tidak menyebutkan secara spesifik kepada siapa barang itu dikirimkan, tetapi dia yakin Mamanya pasti sudah tahu.

Mama tidak langsung menjawab dan malah mengalihkan pandangannya pada air kolam yang bergerak pelan karena hembusan angin.

"Kenapa Mama mengirimkan barang itu padanya?" tanya Andrew lagi.

"Sejak kepergian kakakmu, Mama selalu hidup dalam kesepian. Mama sangat merindukan kakakmu. Dan setelah Mama tahu kalau perempuan itu hidup dengan santai tanpa mengingat sedikitpun kakakmu, Mama tidak rela. Dia yang membuat kakakmu pergi meninggalkan Mama dan pergi untuk selamanya. Lalu dengan semudah itu dia melupakannya?" Mama sudah berurai airmata saat mengatakannya.

Andrew menghela napas panjang. Dadanya terasa semakin sesak mendengar alasan Mamanya. Bagaimana bisa Mamanya berpikir sependek itu?

"Apakah Mama tahu apa yang sudah Lea alami setelah kepergian kakak?"

Mama tidak menjawab. Andrew yakin Mamanya tidak tahu. Mama tidak akan pernah tahu perjuangan Lea untuk bertahan hidup selama ini. Mama tidak akan mau tahu juga bagaimana Lea harus bekerja siang malam, menghasilkan uang lebih dan menghemat pengeluaran untuk cucu laki-lakinya. Bagaimana Lea berkeyakinan kalau dia adalah istri yang ditelantarkan suaminya. Janda dengan satu anak. Mama tidak akan pernah memikirkannya karena Mama terlalu membenci Lea.

"Apakah Mama masih berpikir Lea penyebab semuanya?" tanya Andrew lagi. Dia berusaha menahan amarahnya karena wanita di sebelahnya juga sangat terluka dengan kepergian kakaknya.

"Dimanapun seorang Ibu tidak akan pernah rela anaknya disakiti, Drew." Intonasi suara Ibu meninggi. Airmatanya sudah tidak bisa dikontrol lagi.

"Tidak ada yang menyakiti dia, Ma. Dia yang sudah menyakiti Lea karena terlalu sibuk dengan hobinya, membiarkan Lea dan Narayan selalu kesepian di rumah. Wajar kalau pada akhirnya Lea menggugat cerai."

"Perempuan itu harusnya tahu kalau kakakmu memang suka travelling. Dia juga sering pergi bersama dulu. Hanya karena tidak bisa pergi berdua lagi, dia protes. Dan semudah itu meminta cerai. Dia melukai kakakmu dengan sikap kekanak-kanakannya itu. Kecelakaan itu tidak akan merenggut nyawa kakakmu kalau dia tidak memaksa bercerai."

Andrew mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana memberikan pengertian pada Mamanya. Kecintaannya pada anak sulungnya sudah membutakan semua realita yang terjadi. Sejak dulu, Mama memang hanya mendengarkan apapun yang keluar dari mulut kakaknya.

"Kecelakaan itu tidak hanya merenggut nyawa kakak, Ma. Kecelakaan itu juga merenggut ingatan Lea. Sebagian hidup Lea hilang. Cucu Mama juga kehilangan Papanya."

Mama menangis semakin keras. Pundaknya sampai terguncang karena isak tangisnya. Andrew tentu saja tidak tega melihat Mamanya seperti itu. Dia mendekati Mamanya dan memeluknya. Hatinya juga sakit sebenarnya. Dia bahkan masih bisa merasakan sakit yang dirasakannya ketika melihat kakaknya terbujur kaku, sementara perempuan yang dicintainya tidak sadarkan diri selama beberapa hari.

-00-

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang