Tujuh Belas

2.1K 102 8
                                    

“Bisa kita bicara sebentar, Drew?”

Suara Lea memecah konsentrasi Andrew yang sedang memeriksa laporan akhir tahun. Meski hari ini adalah malam perayaan akhir tahun, tetapi dia harus lembur karena ada begitu banyak laporan dan neraca keuangan yang harus diperiksa.

“Ya.” Andrew menutup laporan yang sedang dibacanya.

“Tapi tidak di sini. Kita bicara di rooftop.”

Andrew melihat ke jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam lebih.

“Bukannya jam segini akses ke sana sudah ditutup?”

Lea tersenyum. “Aku sudah minta akses ke security.” Dia mengacungkan kunci di tangannya.

“Baiklah.” Andrew akhirnya beranjak dari kursinya dan meninggalkan semua laporan keuangan yang memusingkannya sejak tadi. Mungkin, angin malam yang dingin bisa menyegarkan kepalanya yang panas.

Tidak ada yang bicara di dalam lift. Kantor pun juga sudah sepi karena kebanyakan mereka sedang merayakan malam akhir tahun. Setelah pintu akses ke lantai atap dibuka, angin malam langsung menerpa wajah mereka. Rambut Andrew yang sudah kehilangan efek pomade juga jadi acak-acakan.

“Ini.” Lea mengulurkan kaleng soda favorit Andrew.

“Terimakasih.” Dia langsung membuka pengaitnya dan seketika buih-buih soda mengeluarkan bunyi mendesis. Rasa segar langsung terasa di dalam tubuh Andrew setelah meneguknya.

“Bagaimana?”

“Apanya?”

“Rasanya. Angin malam dan coke favoritmu.”

“Dan kamu.”

Lea tertawa mendengarnya. Sejak kemarin, Andrew disibukkan dengan laporan keuangan dan selalu pulang malam. Wajahnya pun kusut. Lea pun akhirnya punya ide untuk mengajaknya ke lantai atap. Menikmati angin malam yang segar dan soda kesukaannya. Sebentar lagi, langit malam yang gelap itu juga akan semarak dengan pesta kembang api.

Tidak ada yang bersuara lagi. Mereka sama-sama diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Sesekali, suara letusan kembang api di langit memecah keheningan di antara mereka.

“Aku dengar, Nara sudah memanggilmu Papa.” 
Lea memilih untuk memulai pembicaraan lagi.

“Ya. Dan aku sangat senang mendengarnya.”

“Kamu pantas dipanggilnya Papa. Selama ini kamu menjaganya dan menyayanginya seperti anakmu sendiri. Dia pun juga sangat menyayangimu.”

“Sudah selayaknya aku menyayanginya seperti itu. Dia keponakanku.”

Mereka lalu diam lagi. Membiarkan keheningan mengisi kekosongan di antara mereka. Masing-masing, larut lagi dalam kegalauan hati.

“Lea, boleh bertanya satu hal?”

Lea menoleh dan menatap Andrew. Dia menunggu Andrew melanjutkan pertanyaannya.

“Apakah waktunya sudah cukup?”

Jeda. Lea tidak langsung menjawab. Dia tahu cepat atau lambat, Andrew pasti akan menanyakannya. Dia pasti butuh kepastian seberapa lama dia harus menunggu, meski dia selalu mengatakan kalau dia akan menunggu berapa lamapun itu.

Lea masih tidak menjawab meski jedanya sudah terlalu lama. Yang dilakukannya justru melepas cincin yang melingkar di jari manisnya.

“Aku pikir sudah waktunya aku melepas ini dan menerima yang baru darimu.” Dia memasukkan cincin pernikahannya dengan Benny ke dalam saku celananya.

Melihat itu semua, Andrew sampai tidak bisa berkata-kata. Dia masih terpaku menatap Lea.

“Bolehkah aku melangkah lebih dekat denganmu?”

“Ya, tentu saja.”

Bibir Lea mengembangkan senyum saat menatapnya. Hatinya pun sudah mulai berbunga kembali. Dia bahkan merasakan jantungnya berdegup tidak karuan saat Andrew mendekatkan wajahnya pada wajah Lea. Lalu, saat kedua bibir mereka bertemu, suara degup jantung mereka nyaris mengalahkan suara letusan kembang api yang mewarnai langit dengan bara apinya.

Langit memerah. Bunyi terompet menggema dari berbagai tempat. Dentuman kembang api juga terus membahana di angkasa. Namun semua itu, tidak menggoyahkan kebahagiaan yang sedang dirasakan Andrew dan Lea. Hati mereka akhirnya bersatu, bersamaan dengan bibir mereka yang berpagut dan tidak mau terlepas.

-END-

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang