Daniel dikenal sebagai anak yang irit bicara. Di panti maupun disekolah. Ia bahkan tak ikut satu eskul pun. Tak ada yang tau alasannya.
Namun, akhir-akhir ini anak itu sedang dekat dengan teman sekamarnya, Kim Yoonwon. Akhir-akhir ini mereka selalu bersama. Seperti sekarang, mereka duduk bersebelahan di meja makan.
"Jadi, kau akan pergi?" Daniel mengangguk sambil sedikit mengaduk supnya.
Dengan raut penasaran, Yoonwon bertanya lagi."Dengan siapa?" Bukanya apa-apa, seluruh anak panti tidak diperbolehkan bepergian sendiri. Harus ada yang menemani. Alasan keamanan, katanya.
"Sendiri." Jawaban Daniel membuat Yoonwon melotot tak percaya.
Lalu ia memukul pelan bahu kiri anak yang satu tahun lebih muda darinya itu, "Kau gila?! Sudah pasti kau tak akan diperbolehkan untuk pergi!"
Daniel menatap jengah Yoonwon, "kau tidak usah beri tahu mereka." bisik Daniel penuh penekanan.
Yoonwon menggeleng, "Tidak, tidak. Tidak akan aku biarkan." ucapnya dengan pose sok menyeramahi Daniel.
"Aku bisa kena imbasnya juga!" lanjutnya, lalu melahap sup.
"Sudah aku bilang, kau tidak usah beri tahu mereka. Kita saja yang tahu."
Yoonwon menghela nafas. Sungguh, ia tak tau Daniel sekeras kepala ini. "Terserah kau sajalah."
••• Mother •••
Ini pukul sepuluh pagi. Waktu yang tepat untuk pergi ke danau. Matahari hampir berada di atas kepala, namun udara diluar masih saja dingin. Seolah Cahaya matahari pun tak mampu menghangatkan udara. Seperti halnya Daniel, yang tak mampu membuat suasana menjadi hangat.
Entahlah, mungkin itu bukan bakatnya.
Daniel sudah mengantongi uang, ponsel, kartu bis serta kartu keretanya. Dengan jaket tebal dongker, Daniel berjalan keluar dengan santai. Tak tau saja dia Yoonwon sedang cemas dikamar karena anak itu.
Tepat saat Daniel akan membuka pintu, seseorng memaganggilnya. "Daniel."
Daniel menoleh dan ternyata itu Seon. Salah satu pengurus panti. "Iya?"
Dengan tatapan yang penuh kecurigaan, ia mendekat dan bertanya, "Mau kemana?"
"Ah, ke mini market depan." jawab Daniel. "Ada yang harus aku beli."
Mendengar jawaban Daniel, Seon menghela nafas lega. "Baiklah, cepat kembali diluar dingin." Daniel hanya mengangguk kaku, seperti biasa.
Lalu ia berbalik dan hendak membuka pintu, sampai Seon lagi-lagi bersuara. "Hyung kira kau akan pergi ke danau." Daniel mengepalkan tangannya saat mendengar itu.
"Daniel ... " panggilnya lagi. Daniel menoleh. "Jika kau ada masalah, kau bisa bercerita kepada hyung. Atau Kei hyung, atau hyung-hyungmu yang lain. Kita semua keluarga."
Daniel terdiam. Memikirkan kembali kata-kata Seon yang sedikit menggerakkan hatinya. Lalu ia menghela nafas dan menatap Seon. "Aku pergi."
Dan Seon hanya bisa melihat Daniel menutup pintu dengan perasaan yang campur aduk.
••• Mother •••
Tujuh menit yang lalu, ia berbohong kepada Seon. Tujuh jam yang lalu ia mulai tahu arti kebersamaan. Tujuh hari yang lalu, ia mulai terbuka pada Yoonwon. Tujuh minggu yang lalu, semesta memberinya kesempatan. Tujuh bulan yang lalu, semua semakin hancur. Tujuh tahun yang lalu, saat kehancuran yang sesungguhnya dimulai.
Apa angka tujuh sebegitu sialnya bagi Daniel?
Anak berumur empatbelas tahun itu duduk di pojok kiri bus. Bus yang akan menghantarkannya pada tempat yang beberapa minggu lalu ia kunjungi. Tempat dimana Ibunda pergi dan tak akan pernah kembali.
Setelah menempuh waktu limabelas menit tambahan untuk sampai di subway terdekat, ia akhirnya hanya tinggal menunggu kereta berhenti dan segera masuk. Kali ini ia sangat bersemangat, entah kenapa. Apa sesuatu tengah menunggunya di dekat danau? Tapi, apa itu?
Selagi Daniel berkutat dengan pikirannya, seseorang sedari tadi memerhatikan Daniel dan agak ragu untuk menyapa anak itu. Ia sedari tadi berbisik bisik dengan orang yang berada disampingnya.
"Aduh, sapa jangan ya?" gumam orang itu ragu. Sementara orang yang berada disebelahnya hanya diam selagi memperhatikan Daniel.
"Sapa saja, lagi pula kau kenal dengan dia kan?" orang itu mengangguk, tapi ia sendiri masih ragu.
"Takutnya nanti dia tidak kenal siapa aku." ucap remaja itu yang membuat orang disampingnya bingung.
"Maksudmu apa?"
Remaja itu menghela nafas, "Kami tak terlalu akrab. Bahkan waktu dipanti." lalu ia memandang punggung Daniel. "Aku jarang melihatnya berinteraksi dengan orang lain."
Orang yang berada di samping remaja itu mengelus pundaknya. "Mungkin dia selama ini tahu, hanya saja ada yang membuatnya tidak ingin berada disekitar orang lain. Aku juga dahulu seperti itu, sebelum aku menemukanmu, aku sangat terpuruk dan bahkan hampir bunuh diri."
"Taewon ... "
Mata Taewon mulai berkaca-kaca, mengingat ketika ia kehilangan saudara kembarnya. "Jadi, aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu lagi."
"Sudah, jangan menangis disini." Orang itu menepuk pundak Taewon. "Malu." lanjutnya membuat keduanya terkekeh.
"Baiklah, Taeyong-ah ... " ujarnya lalu lanjut terkekeh.
Daniel yang berada tepat didepan mereka kini berusaha keras agar tidak goyah. Sebelum Taeyong bertemu saudara kembarnya, ia adalah sah satu orang yang selalu berusaha membuat Daniel nyaman. Namun, Taeyong harus meninggalkan panti karena saudara kembarnya menemukanya.
Jujur saja, disaat itu Daniel iri pada Taeyong. Dia bisa bertemu keluarganya setelah sekian lama, sementara dirinya hanya mempunyai ibunya yang kini telah berada di surga.
Setelah beberapa saat berfikir, akhirnya Daniel memutuskan untuk berbalik dan menyapa orang yang selama ini menjaganya dari jauh. Kedua orang itu terkejut tatkala orang yang mereka bicarakan berbalik
"Halo, Taeyong ..." sapanya dengan kikuk, namun berusaha membentuk senyum.
"hyung ..."
••• Mother •••
Note:
Huhuhu, jadi kangen Taeyong😭💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother
Short Story[discontinued] Daniel tak pernah mengira bahwa semua berlalu begitu cepat. Seakan baru saja kemarin semua terjadi dan sekarang sudah tujuh tahun sejak tragedi itu. "I love you, Mom ..." -au, angst -Daniel I-LAND kimheuning, 2020 zachwafr