v

2.9K 364 155
                                    


Gema dari engsel yang bergesek, memantul di tengah ruangan besar yang hening, menembus gendang telinga Zhanzhan yang masih pengang. Dia menahan nafas seiring dengan daun pintu yang terbuka perlahan, di depannya terlihat ranjang besar terletak di sebelah jendela bertirai putih yang sedikit melambai tertiup angin, ranjang itu ditutupi seprei abu-abu muda sedikit kusut  yang membuat ruangan dengan dinding bercat abu-abu gelap ini jadi tampak suram. Tak jauh dari ranjang, ada nakas yang di atasnya ada segelas air, yang isinya tinggal setengah, serta kaca mata baca yang tergeletak di atas buku tebal yang terbuka dengan sudut tertekuk.

Jantung Zhanzhan bertalu, kepingan ingatan berterbangan menjejali otaknya layaknya puzzle membentuk satu nostalgia utuh yang membuat hatinya nyeri.

Kamar ini, adalah kamar miliknya dulu, tempat ia dan Yibo sering menghabiskan waktu, bercanda dan bercinta. Yibo sering menyelinap kesini di tengah malam dengan dalih mimpi buruk, begitu juga ketika bocah itu kembali dari perjalanannya, tempat pertama yang ia tuju adalah ruangan ini.

Bagi Zhanzhan ini adalah dunia tempat ia bisa menunjukkan perasaannya pada Yibo tanpa perlu takut akan tatapan mencemooh penuh penghinaan dari orang-orang yang menghakiminya.

Di ruangan ini juga, ia merasakan indahnya pemujaan dari orang yang dia cintai, di tengah malam-malam panjang mereka saat Yibo tak berhenti memanggil namanya dengan sorot menghamba di tengah pergumulan serta pelepasan yang nikmat.

Dan kini, saat ia kembali kesini bertahun-tahun kemudian, ruangan ini masih sama. Tidak ada yang berubah, gelas di atas nakas, kaca mata baca yang lupa ia bawa karena saat itu dia terlalu buru-buru melarikan diri, semua masih ada di tempat terakhir kali ia meletakkannya. Seolah, lima tahun bagai neraka itu tidak pernah ada, seolah dia hanya pergi sehari lalu kembali lagi.

“Gege, kenapa tidak masuk? Kau tidak suka kamar ini?”

Zhanzhan terhenyak, rasa terkejut membuat dia lupa kalau di sebelahnya masih berdiri sang penguasa Yeuhua, yang menatapnya tajam dengan senyum licik menunggu jawaban. Zhanzhan menggenggam erat gagang pintu dengan tangannya yang mulai berkeringat lalu menggeleng, dan menjawab. “Aku menyukainya.”

“Bagus, aku mengatur ruangan ini sendiri agar terlihat sama seperti milikmu dulu, kalau kau tidak menyukainya aku akan sedikit bersedih.” Ujar Yibo sambil tersenyum manis, memamerkan deretan giginya yang rapih. Dia lalu melirik ke arah pelayan dengan kepala tertunduk yang  berdiri diam tak jauh di belakang mereka. “Dia tamuku, layani dengan baik!”Titahnya tegas, dan disambut dengan anggukan sang pelayan yang segera mengambil alih koper dalam genggaman Zhanzhan sebelum kemudian ia bergegas masuk, meninggalkan dua pria tampan itu mematung dipeluk keheningan yang mencekam.

Zhanzhan menahan nafas, jarak mereka serta tatapan penuh dendam Yibo yang seolah ingin menelannya bulat-bulat, membuatnya tak nyaman. Untung saja hal ini tidak berlangsung lama, ponsel pemuda itu berdering nyaring menampilkan foto seorang wanita cantik di layar. Yibo mendengus pelan, lalu melangkah pergi dengan suara semanis madu.

“Ya, Baobei aku akan segera kesana sekarang.”
Entah apa yang kekasihnya katakan di ujung sana, tapi Sean masih mendengar sayup-sayup Yibo merayu dengan genit, “Ah, kau basah? Bukankah semalam aku sudah cukup membuatmu kenyang? Haruskah kita ulangi lagi kali ini? Tentu saja kau tidak diizinkan untuk menangis.”

Superstar tampan itu bergidik ngeri mendengar deretan kalimat panjang penuh arti ambigu dari orang yang selama ini selalu memiliki citra polos, lugu dan suci di benaknya. Kini semua kenangan manis mereka menguap dan terasa seperti ilusi yang diciptakan oleh otaknya yang sakit.  Lima tahun berlalu, tak ada lagi yang tersisa, semuanya berubah bagai khayalan tak nyata kecuali cintanya untuk bocah itu yang akan selalu sama.

==++==

Malam menjelang, di luar hujan turun deras disertai angin yang bertiup kencang membuat ranting pohon yang tumbuh tak jauh dari jendela kamar Zhanzhan berderak, dahannya bergoyang, mengetuk kaca jendela menimbulkan suara berisik.
Sementara di dalam, di tengah remang cahaya dari lampu tidur yang menyala di sudut ruangan, Zhanzhan berdiri mematung, memandang kearah pintu gerbang yang berdiri kokoh menjulang di kegelapan, di tangannya ada segelas wine yang ia sesap sedikit demi sedikit, sementara tak jauh dari sisinya ada asbak berisi puntung rokok yang  menggunung. Tapi, meski begitu jemari lentiknya kembali menggapai sebatang lagi dari dalam kotak bersampul merah putih dengan peringatan foto tenggorokan hancur yang mencolok.

Dia menyalakan pemantik, lalu menghisap candunya dalam-dalam kemudian menghembuskan asapnya, perpaduan nikotin dan alcohol merayap di setiap pembuluh darahnya mengantarkan rasa tenang dari kegilaan yang  mulai menelan.

Getar lembut dari gawai yang ia letakkan di atas nakas membuat Zhanzhan menoleh, dia sedikit menyipitkan mata karena asap yang menari ketika melihat  nama Ji Acheng tertera di layarnya yang redup.

“Halo.” Sapa Zhanzhan dengan suara serak karena terlalu banyak merokok.

“Zhanzhan, kau baik-baik saja?”

Dari nada suaranya yang gugup, Zhanzhan bisa membayangkan betapa khawatirnya sang manejer itu saat ini. Tentu saja, ini adalah pertama kalinya mereka terpisah, setelah Yibo menolak tegas ide memboyong serta sang manajer. Menurut penguasa Yeuhua itu di rumahnya ada lebih dari sepuluh pelayan wanita yang bisa melayani Zhanzhan, telebih sang artis saat ini tengah dalam masa hiatus berkedok liburan panjang hingga waktu yang belum ditentukan, sehingga tidak membutuhkan manajer. Tapi, mengingat kebiasaan mengerikan Zhanzhan, Ji Acheng tak bisa untuk tidak khawatir karena bukan tidak mungkin sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Namun, efek alcohol dan nikotin tampaknya bekerja dengan baik, membuat Zhanzhan mampu menjawab dengan tenang. “Aku baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir.” Ujarnya.

“Benarkah?” Tanya Ji Acheng penuh keraguan.

“Hm.”

“Baiklah, kau harus segera beristirahat. Ini sudah nyaris dini hari.”

“Hm.”

Telepon terputus menyisakan keheningan, sementara di ujung gerbang megah cahaya dari lampu sorot Aston Martin yang ditunggangi Yibo bergerak membelah kegelapan. Di atas, dari balik tirai yang bergoyang Zhanzhan menatap datar, kearah dua sejoli yang berciuman panas sebelum turun dengan tergesa.

Di luar masih hujan, anginpun masih berhembus kencang, begitu juga dengan derak ranting yang mengetuk jendela. Namun, tidak seperti tadi, ketenangan semu yang Zhanzhan pertahankan kini lenyap tak berbekas, seolah hilang tersapu rintik air yang membanjir di luar.

Setengah jam sudah berlalu.

Zhanzhan meneguk sisa wine dalam gelas dengan rakus, ia mencoba menjaga kewarasannya agar tidak berlari keluar dan mempermalukan dirinya sendiri.  Tapi, rasa penasaran mengalahkan segala teori tentang logika.

Perlahan-lahan dia melangkah  ke arah pintu, jemarinya yang pucat gemetar meremas tuas  dari lapisan baja yang dingin.

Jantungnya berdebar, seiring dengan celah yang sedikit terbuka menampilkan pemandangan erotis tak jauh dari tempatnya berdiri. Di sofa, Yibo orang yang selama lima tahun ini selalu ia tangisi, ia cintai hingga gila kini sedang sibuk membelit tubuh setengah telanjang tunangannya. Lidah mereka beradu, desahan mereka berkumandang nyaring merobek gendang telinga Zhanzhan, mengalahkan deru badai yang masih mengamuk di luar.

Zhanzhan mematung, menatap kosong ke arah Yibo yang tengah menggerakkan pinggulnya, maju mundur, menghujam penuh semangat.

Zhanzhan masih di sana, menatap nanar pada dua insan yang tengah bercinta bahkan hingga mereka bertukar posisi, gadis itu kini menunggangi Yibo dengan gagah berani. Tubuh sintalnya meliuk seperti ombak, sementara dada bulatnya berayun dalam genggaman tangan lebar Yibo.

Zhanzhan masih di sana melihat semuanya hingga selesai dengan perasaan tak menentu, tidak ada air mata juga tidak ada kemarahan. Dia hanya merasa ada sesuatu yang hilang, bersamaan dengan kegelapan yang makin melebar, siap menelannya kapan saja.




Untitled Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang