'hilangkan aku dari bumi ini.'
- Lee Chaeryeong
| Licht Van Liefde |
Rasanya lebih baik mati saja jika sudah seperti ini, mati lebih baik dibanding dengan hidup yang terus tersiksa. Bukan hanya fisiknya yang sakit, tetapi juga mentalnya. Sakit sekali.
Sudah sering gadis itu memikirkan untuk mengakhiri hidupnya, tetapi ia selalu berhenti sampai di niat, tidak pernah dilanjutkan kedalam sebuah tindakan. Alasannya kasihan mamah, kasihan mamah jika harus hidup sendiri tanpa ada seseorang disisinya. Padahal ibunya sendiri yang menyebabkan dirinya berfikir seperti itu, kan?!
Ia hanya akan menangis dan melupakan apa yang terjadi sebelumnya, memaafkan sang ibu walau tidak minta maaf, menguatkan diri bahwa masih ada orang yang membutuhkan dirinya diluar sana. Memang sakit, tapi harus kau harus menahannya, tunggu sebentar lagi, suatu saat nanti mamah pasti akan berubah, begitulah pikirnya.
Dengan badan yang dirasanya hampir remuk itu Chaeryeong berjalan tertatih tatih keluar dari kamar mandi, merebahkan dirinya diatas ranjang besar itu tanpa berganti pakaian terlebih dahulu, persetan dengan pakaian, yang ada diotaknya hanyalah dia ingin tidur, meninggalkan alam sadar dan pergi ke alam mimpi dimana ia bisa tertawa sejenak.
Hari ini Chaeryeong kembali disakiti oleh sang ibu, karena Chaeryeong terlambat les selama lima menit dan terjebak macet saat akan pulang kerumah sehingga terlambat lima belas menit. Hanya telat pulang selama itu saja ia sudah dipukuli dan disiram air super dingin, apalagi jika ia tidak pulang, apa ibunya akan menguburnya hidup hidup? Hahhh, sudahlah, tidak akan habisnya membicarakan akal Sanaya dalam menyiksa putrinya sendiri.
Tok tok tok.
Baru saja Chaeryeong menutup kelopak matanya, sebuah ketukan didaun pintu menyapa pendengarnya, membuat dirinya membuka mata kembali. Pintu terbuka menampakkan seorang perempuan cantik berumur sekitar 30 tahunan, itu Lidya, asisten pribadi sang ibu. Lidya masuk dengan kotak P3K digenggaman tangannya.
Lidya mendekati Chaeryeong yang kini sudah terlelap dalam tidurnya, lalu duduk diatas ranjang sebelah gadis itu berbaring. Chaeryeong tau jika Lidya datang diperintahkan Sanaya untuk mengobati dirinya. Kadang Chaeryeong bergikir, kenapa disiksa bila setelahnya akan menyuruh orang untuk mengobatinya? Aneh. Atau mungkin ibunya masih punya kasih sayang? Entahlah, hanya Sanaya dan tuhan yang tahu.
"pergi saja." Lidya yang akan mengoleskan obat pada lengan Chaeryeong yang luka menghentikan kegiatannya saat mendengar Chaeryeong bergumam, Chaeryeong membuka matanya perlahan, menatap Lidya tepat dimatanya, "pergi saja, biarkan Chaeryeong mati." lirih gadis itu.
Namun Lidya tidak mengubrisnya, wanita itu tetap melakukan tugas yang diperintahkan atasannya, ibu Chaeryeong, untuk mengobati Chaeryeong, "diam saja."
Chaeryeong menarik tangannya yang Lidya obati, membuat wanita itu menatapnya penuh tanya, "biarkan Chaeryeong saja, Chaeryeong ingin mati. Jadi tidak perlu kau obati." kata kata itu lolos dari mulutnya begitu saja, biadanya ia akan diam dan menerima pengobatan dari Lidya, tapi sekarang, entah pemikiran dari mana hingga ia berucap seperti itu.
Lagi. Lidya tidak mengubrisnya, menarik tangan Chaeryeong dan kembali mengobatinya, "jangan berfilir untuk mati, ibumu pasti sedih jika kau tidak ada."
"untuk apa mamah menyiksa Chaeryeong jika akan diobati? Biarkan saja Chaeryeong mati, jadi mamah tidak akan susah susah untukenguris Chaeryeong lagi. Chaeryeong capek." ucapnya pelan namun masih terdengar oleh Lidya. Benar, dia sangat lelah dan ingin beristirahat.
Lidya tidak menjawab ucapan Chaeryeong, gokus pada tugasnya. Sebenarnya, hatinya juga sakit setiap saat mengobati gadis itu, bagaimana bisa seorang ibu menyakiti anaknya seperti ini? Tapi Lidya bukan siapa siapa, ia ingin menhentikan perbuatan bosnya itu, tapi tidak bisa, jika ia tidak ingin kehilangan pekerjaanya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Licht van Liefde | Lee Chaeryeong
Teen Fiction[COMPLETE] [HET VERHAAL IS VOORRBIJ] 🎼 "Misschien gewoon een gewoon verhaal, vertelt alleen het leven van een meisje genaamd Zharaina die als absurd en saai kan worden beschouwd." "Soms is het leven triest, maar...