Bab 4: Dia, bukan Ozil yang dulu

33 5 0
                                    

"Sebuah masa lalu membawa perubahan dan perubahan itu, melukai hati."

***


Kegiatan MOS untuk para siswa dan siswi SMA Saka akan selesai hari ini. Selama dua hari melaksanakan MOS--Mathea merasa senang karna bisa mendapatkan teman-teman yang baik walaupun ada yang melukai hatinya. Namun, ia harus kuat akan itu.

Berkumpul di Aula mendengarkan penyampain dari Ketua Osis dan Wakil ketua Osis. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa Mathea sangat bahagia hari ini. Entah apa yang membuat ia sebahagia ini.

Mungkin bertemu dengan masa lalu.

"Oke, mohon perhatian untuk semuanya--hari ini kegiatan MOS hari ketiga akan selesai, berhubungan dengan itu, kita para OSIS memberikan kalian kesempatan membuat sebuah surat empati untuk para OSIS. Entah itu surat isinya tidak suka dan suka." Ujar ketua osis panjang lebar."sampai disini paham?," Tanya Narendra sang ketua osis.

"PAHAM KAK!." Jawab mereka serentak.

"Oke, silakan buat suratnya."

Wah, ini kesempatan untuk Mathea menyalurkan isi hatinya. Dan surat yang akan ia buat spesial untuk laki-laki di masa lalunya.

Menulis surat itu dengan penuh penghayatan--ia menyusun setiap rangkai kata dari hati yang paling dalam.

Semoga laki-laki itu suka dengan surat ini.

Tersenyum simpul melihat bait setiap bait kata-kata--Mathea menghela nafas dan melangkah ke depan memberi surat itu di tangab ketua Osis.

Narendra--mengambil surat itu dengan kasar, membuat Mathea terhentak kaget.

Tak ingin membuat suasana menjadi lebih rumit, sebab Narendra akan mempermalukan ia di depan semua orang dan Mathea tau itu.

Duduk dengan tenang--Mathea sebisa mungkin mengatur detak jantungnya. Oh ayolah, ia sudah tak sabar dengan surat itu.

Narendra membaca setiap surat para siswa dan siswi baru. Ada yang mengatakan bahwa para OSIS baik dan ada juga yang mengatakan mereka semua Menyeramkan.

Kertas dengan gambar Panda di bagian atas itu, dibuka oleh Narendra. "Sepertinya ini menarik." Ujarnya

Itu suratnya. Surat dari Mathea.

Narendra sang ketua osis maju kedepan mengambil microfon dan membaca surat di tangannya.


Hallo apa kabar masa lalu? Aku harap kamu baik-baik saja selama ini. Senang rasanya bisa bertemu lagi denganmu, walaupun banyak perubahan yang ada pada dirimu, tak apa-apa mungkin itu hanya sebentar. Jangan pernah berubah kumohon tetap jadi lelaki di masa lalu. Dan kuharap kamu masih mengingatku R.A
Dari aku untuk kamu:)

M.T

"R.A?." guman laki-laki itu."oh, Ravionzil Argadana toh." Matanya melihat ke arah Vion, sedang yang di lihat hanya terdiam sembari menahan amarah.

Narendra tersenyum miring."cuih berharap banget jadi orang." Dia tau siapa pemilik surat ini.

Mathea Theresa--pemilik dari surat itu. Kepalanya terus menunduk takut melihat ke arah Ravionzil.

Sialan! Dirinya benar-benar malu dengan surat dari perempuan di deretan bangku paling belakang. Apa maksudnya menulis surat tak berfaedah itu? Awas saja Mathea.

"Maju Mathea!." Perintah Narendra

Ketiga temannya melirik kasihan ke arah Mathea, pasti temannya akan menjadi bahan bulian para Osis di depan sana.

Masih dengan menundukkan pandangan--Mathea maju ke depan dengan perasaan malu dan juga takut. Apalagi ada Ravionzil di depan sana di tambah juga Narendra--sang ketua Osis galak.

"Oh, jadi dia masa lalu lo, ngarep banget sih mbak." Ledek Narendra diikuti suara ketawa mengejek.

"Jangan berharap banyak deh, jadi cewek." Tambah Fauzia.

Mathea hanya bisa menunduk malu. Ya tuhan kenapa semuanya jadi begini.

Di belakang sana Jinora, Joela, dan juga Leoni tak bisa berbuat apa-apa selain melihat drama di depan sana. Bukan tak mau membantu Mathea, hanya saja mereka bertigs tak punya kuasa apa-apa.

mereka Senior sedangkan, Junior bisa apa? Yang ada di serang balik.

Pengecut! Selalu menggunakan Jabatan.

Fauzia maju ke depan mengangkat dagu Mathea dengan kasar." Angkat kepala lo! Jangan nunduk bodoh." Sarkas Fauzia mencengkram kuat dagu Mathea hingga sang empuh meringgis kesakitan.

Dan hal itu membuat Narendra senang bukamain melihat wajah kesakitan Mathea.

Tak tahan dengan semua yang ia lihat--Ravionzil menarik tangan Mathea keluar dari ruangan tersebut. Sudah cukup kali ini amarahnya tak bisa di tahan.

Mathea diam saja mengikuti langkah lebar Ravionzil. Tak bisa berbuar apa-apa selain mengikuti kemana laki-laki ini membawanya pergi.

Menghempaskan Mathea ke bangku taman belakang sekolah dengan kasar,"apa maksud lo?! Ha?! Jawab gue bangsat!." Tanya Ravionzil suaranya naik satu oktaf.

Ia terlonjak kaget mendengar suara pekikan Ozil. Mulutnya seperti di lem sehingga tak bisa mengeluarkan sepatah kata.

"Jawab gue!!."

Mendongkak kepala ke atas melihat Mata Ravionzil."kenapa kamu berubah? Ada apa sama kamu, Zil? Kasih tau zil! Biar semuanya aku perbaiki." Ujar nya setelah terdiam lama.

Dia tersenyum remeh."jangan naif, lo tau kenapa gue bisa kek gini! Ini semua gara-gara lo! Gue benci! Benci, bahkan kebencian gue mendarah daging, udah terlambat ngak ada yang perlu perbaiki!." Peduli setan dengan perasaan Mathea! Disini ia yang terluka bukan perempuan itu.

Benci? Katanya benci? Apa yang membuat laki-laki di depannya ini membenci dirinya. Bahkan Mathea tak mempunyai kesalahan satupun, tapi kenapa Ravionzil membencinya.

Tanpa di minta air matanya luruh begitu saja."benci? Kesalahan apa yang aku lakuin sampe kamu sebenci itu, zil? Aku-aku minta maaf jika memang ada salah."

"Udah terlambat." Ujar Ravionzil berbalik badan meninggalkan Mathea."-jangan pernah muncul di depan mata gue karna hal itu semakin buat gue benci sama lo, camkan itu!."

"Ngak, aku ngak mau! Aku bakal ada terus di samping kamu kayak dulu." Tolak Mathea dirinya tak mau jauh dari hidup Ravionzil seperti dulu.

"Terserah lo! Siap-siap diri lo bakal jatuh lebih dalam, dan hal itu akan buat lo terpuruk." Peringat Ravionzil--kakinya pergi dari tempat itu.

Tidak peduli jika itu kosenkuensinya! Yang penting Mathea bisa ada di dekat Ravionzil.

Terkadang perubahan seseorang bisa menyayat hati kita. Berubah tanpa sebab adalah hal yang tak wajar. Hadapi semuanya dengan tegar.

Menahan sakit hati tidaklah mudah bagi Mathea seorang. Namun, ia tak boleh menyerah begitu saja. Masih ada waktu mengejar Ravionzil yang dulu.

Namun, tak semudah membalikkan telapak tangan

Matheazil || On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang