Bab 3: Hujan dan kasih sayang

27 6 2
                                    

"Senyum palsu terkadang menggambarkan kita baik-baik saja. Tapi tidak, semua hanya topeng belaka menutupi kesedihan."

***

Pukul 15.35 langit Jakarta di guyur hujan deras. Dan parahnya lagi Mathea tidak membawa jas hujan atau pun payung. Saat ini hanya dirinya saja yang berada di halte setia menunggu angkotan umum. Tapi sayangnya, tidak ada satupun kendaraan beroda empat itu lewat di depan halte sekolah.

Tadi sebenarnya Joela dan Jinora mengajak Mathea pulang bersama mereka berdua. Namun dirinya menolak. Bukan jual mahal hanya saja ia tak enak dengan kedua kembar itu, Mereka saja baru kenalan.

Jangan tanyakan mana lelaki yang digadang-gadang menjaga Mathea setiap saat. Sosok laki-laki itu sudah pulang duluan. Makanya Mathea tak banyak berharap.

Tiupan angin yang kencang serta baju sekolahnhya yang basah akibat air huja masuk di tempat berteduhnya--Mathea menyatukan kedua tangannya dan mengusap agar badanya tidak terasa dingin, sayang tidak mempan memberikan rasa panas.

Pasti ia akan kena flu.

Melirik ke arah jam tangan yang ia pakai, Mathea membelalakkan mata. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00 dan hujan tetap deras tak mau redah. Dengan terpaksa ia harus pulang dengan berjalan kaki, untungnya Rumah dan jarak sekolah Mathea tak terlalu jauh.

Tas sekolah barunya harus ia relakan basah akibat menjadi payung dadakan demi menerobos hujan yang lebat.

Dengan hitungan ketiga Mathea berlari dengan kencang. Ya tuhan ia tak ambil pusing dengan dirinya entah itu mau masuk angin ataupun demam. Mathea hanya memikirkan tas sekolah dan sepatu pemberian dari ibu-nya.

Maafkan Mathea ibu. Kata Mathea dalam hati.

Akhirnya ia sampai di depan halaman rumah, membuka pagar dan belari mengetok pintu Rumah.

Tok...tok...tokk

"Bentar!." Itu suara teriakan ibu-nya, Tari.

Memeluk tubuhnya yang mengigil hebat--Mathea tak tahan dengan hujan makanya ia paling benci dengan nama-nya hujan.

Tari membuka pintu dengan wajah kagetnya."Ya Allah nak, kenapa basah kayak gini, abang kamu mana?." Tanya Tari dengan nada khawatir melihat penampilan Mathea.

"Abang-abang masih ada tugas bu'." Bohong Mathea."maafin Tea bu' tas sama sepatu sekolahnya basah gara-gara Tea." Ujat Mathea sembari menundukkan kepalanya.

"Sayang ngakpapa, mama ngak masalahin tas sama sepatu kamu. Tapi kamu Tea nanti kamu sakit." Tari tidak akan marah dengan tas dan sepatu yang basah. Dirinya khawatir dengan Mathea

Mathea bersyukur mempunyai ibu yang sayang terhadap dirinya. Kasih sayang yang tulus tak pernah membedakan anak-anaknya.

"Tea minta maaf ibu." Ujar Mathea.

Tari menghela nafasnya."iya, ayo masuk terus mandi air hangat. Nanti mama siapin teh sama minyak angin." Ujar Tari.

Mathea tersenyum hangat ke arah ibu-nya. Jika saja bajunya tak basah maka ia akan memeluk tari dengan erat menyalurkan kasih sayangnya.

Tin...tin..tin

Sebuah mobil memasuki garasi--seorang pengendara turun dari mobil-nya dengan tatapan tak suka. Tepatnya tatapan benci.

Siap-siap saja Mathea. Pasti dirinya akan mendapatkan kata-kata pedas dari laki-laki itu.

Tari menghampiri anak pertamanya itu sembari menarik telinga putra-nya."kenapa kamu pulang sendirian?." Tanya Tari.

Laki-laki itu meringgis kesakitan."aduh mah sakit! Dia-nya aja yang pulang duluan, udah di ajak ngak mau sok jual mahal." Ujar laki-laki itu.

Bohong itu bohong. Laki-laki itu tak mau pulang berasama-nya.

Mathea tersenyum ke arah Tari." Mathea mohon jangan marah sama abang bu'. Dia ngak salah Mathea yang salah." Pintah Mathea.

Tari melepaskan tangannya dari telinga putra-nya."pokoknya mama tau pergi sama pulang sekolah kalian berdua harus barengan." Setelah mengatakan itu Tari berjalan meninggalkan kedua anak-nya.

Mathea baru saja melangkah memasuki ruangan tamu. Namun, langkahnya terhenti mendengar suara bariton laki-laki itu.

"Bangsat! Gara-gara lo mama marah sama gue. Puas kan lo!." Hardik laki-laki itu melangkah kedepan Mathea sembari meremas dagu gadis itu.

Sakit ini sungguh sakit.

"Maaf bang." Bela Mathea.

Laki-laki itu meremas kuat dagu Mathea."jangan panggil gue abang! Gue bukan abang lo!." Sarkas-nya.

Ya tuhan sampai kapan ini berakhir. Laki-laki ini tidak pernah puas menyiksa Mathea. Diri-nya terlalu membenci Mathea di rumah ini.

"Sampai mati pun gue ngak akan terimah lo di keluarga ini! Camkan itu!." Ia melepas cengkraman dari dagu Mathea dengan kasar.

Bulir bening menetes begitu saja di pipi mulusnya. Ia juga tak menginginkan semua ini. Namun, takdir selalu mempermainkannya.

Takdir begitu kejam.

Jika saja ibu-nya mengizinkan Mathea keluar dari rumah ini, maka ia akan pergi sejauh mungkin sampai tak ada yang menemukannya. Namun Tari tak mengizinkannya.

Hanya Tari dan Bima yang sayang dengan diri-nya selain itu tak ada.

"Sayang kok ngak masuk? Ya Allah badan kamu panas nak." Ujar Tari dengan panik tangannya meraba kedua pipi Mathea yang panas.

Mathe tersenyum."ngakpapa ibu, cuman panas doang kok."

"Ngak sayang, cepat masuk dan mandi air hangat. Mama mau bikin bubur sama teh kamu." Ujar ibu-nya dan menarik Mathea masuk kedalam.

Seorang lelaki berada di atas balkon kamar-nya menggepalkan kedua tangan hingga kuku-kuku-nya memutih. Mathea selalu mengambil kasih sayang orang tua-nya, gadis itu harus di singkirkan dari keluarga ini!

"Gue bakal bikin lo menderita Mathea, lo udah ambil kasih sayang orang tua gue. Bitch kek lo cocok-nya di luar sana bukan di di tengah-tengah keluarga gue." Guman laki-laki itu.

Dan ia pastikan Mathea akan menderita jika berada terus di keluarga ini. Tunggu saja! gadis itu akan menderita secara perlahan-lahan.

Matheazil || On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang