SEPERTI KOHESI

13 9 5
                                    


"Kohesi didefinisikan sebagai gaya Tarik menarik di antara molekul sejenis dalam suatu benda."


Tak seperti pagi biasanya, Stanza sudah memakai baju seragam sekolahnya dengan rapi. Rompi abu yang menjadi ciri khas sekolah juga dasi yang melilit di lehrnya tak sedikit pun acak-acakan. Raburnya klimis, juga baju sekolah yang dimasukan ke dalam celana, menyisakan ikat pinggang yang dapat dilihat dengan jelas. Sempurna.

Ada rasa haru dengan kejadian yang sangat luar biasa ini. Dari balik pintu, lelaki dengan seragam jas putih mengusap bulir air mata dari ujung matanya. Sungguh sangat lama menyadarkan Stanza betapa sangat pentingnya sekolah. Semangat belajar Stanza yang turun disadari lelaki itu setelah masuk SMA. Dari Sekolah dasar sampai sekolah menengah, anaknya itu berprestasi dan selalu mendapat juara umum.

"Kenapa, Pah?" Ibu muda dengan seragam baju PNS menegurnya dari balik punggung. Rutinitas pagi, semua bersiap berangkat. Bedanya, pagi ini tidak terdengar teriakan doketr Hartono dan Bu Hartini, ayah dan ibu Stanza. Tidak ada drama Tarik-ulur selimut di kamar Stanza atau suara music yang sengaja diputar dengan suara di atas normal.

"Pah, Stanza baik-baik saja, kan?" Bu Hartini khawatir melihat Stanza yang tiba-tiba seperti menjadi pribadi lain.

"Itulah, yang tadi papah tangisi, dapat ilham dari mana anak bandel itu jadi sebaik ini." Masih dengan rasa haru, Pak Hartono, dokter spesialis obgyn sesenggukan. Ada harapan yang ia sematkan pada anak tertuanya. Ia ingin Stanza mengikuti jejaknya menjadi dokter.

Bu Hartini mengelus bahu seuaminya. Ia tahu apa yang sangat diharapkan oleh suaminya itu, dan perubahan yang terlihat dalam diri Sanza seperti oase di padang tandus.

"Pah, Mah, mengapa berdiri di sana? Ayo makan!" panggilan suara Stanza membuyarkan rasa syahdu. Stanza tidak tahu jika semua keterdiaman Pak Hartono dan Bu Hartini adalah karena sikapnya pagi ini yang berbeda.

"Bang Stanza! Tumbenan udah duduk rapi di meja makan dengan memegang sendok di depan nasi goreng yang dibuat Bik Inah dengan tersenyum manis juga pakaian sekolah yang rapi tak kusut bakan rambut klimis gak dibentuk aneh-aneh." Tanpa jeda Arleta berbicara tanpa titik koma, tak memperhatikan napasnya yang mulai ngos-ngosan, ia lupa dengan pelajaran bahasa Indonesia, tanda baca itu perlu supaya pembaca tidak membaca dengan ngos-ngosan.

Arleta menggeserkan kursi meja makan, ia duduk di samping Stanza yang sudah memulai adegan makan pagi. Meja makan yang terbuat dari kayu jati terdiri dari empat kursi, sesuai dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Terletak dekat tangga yang terulur panjang dan di sebelah kiri terdapat piano. Piano yang diwariskan neneknya Stanza yang dikenal sebagai pencipta lagu terbaik se-Tasikmalaya di zamannya.

Dengan santai seperti di pantai, Stanza menjawab pertanyaan adiknya, yang lebh tepat sindiran adiknya. "Emang manusia gak boleh insyaf apa? Lagian abang tuh hanya suka tepat waktu. Inget, ya dalam bahasa Inggris itu ada on time, ada in time. Dan abang itu orang yang tipikal on time. Tepat waktu."

"Terus harus ada drama dibangunin sampai satu jam lebih gituh, wahai abangku yang katanya orang yang sangat on time?" Arleta tak mau berkalah berargumen, dialog dengan konflik yang tidak begitu penting ini selalu terjadi. Jarak usia yang hanya beda dua tahun, menjadikan merelka seperti teman sebaya yang mudah tersulut emosi. Untungnya, sekolah mereka berbeda. Bermula dari penolakan Stanza yang tidak ingin adiknya sekolah di tempatnya, ia terus berusaha memengaruhi hingga sang adik luluh dan memeilih masuk sekolah lain.

"Hari ini abang anterin, ya?"

"Gosah! Adik bisa sendiri! Abang kena angina muson, ya, tiba=tiba jadi so baik gini?"

"Dih, mulai curigaan lagi, gak boleh ya seorang kakak berbuat baik dan menyayangi adiknya dengan sepenuh hati?"

"Gosah drama! Abang ada kecengan di sekolahku, ya?

Arleta terus mendesak abangnya sampai mendapatkan jawaban pasti. Ia mengendus aroma lain dari perbedaan kelakuakn abangnya yang selama ini dikenal dengan orang yang malas bagun pagi.

Pak Hartono dan Bu Hartini menghampiri kedua pemaian yang sedang terlibat konflik sengit. Inilah momen yang paling mereka bikin gereget, tapi juga bikin kangen dan nyaman di rumah. Bukan tentang pertengkarannya, tapi tentang kebersamaan dan selisih paham yang biasa terjadi di antara dua kakak beradik. Kakak beradik bertengkar udah biasa kan? Asal masih wajar.

"sudah, jangan gangguin Bang Stanza, kamu sekarang peri bareng aja, ya?" Bu Hartono menengahi pertengkaran. Duta perdamaian yang selalu bijak mengambil titik tengah yang memebuat kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.

"Ayo sarapannya kita lanjut, keburu siang. Papah ada jadwal praktik pagi." Pak Hartono menarik kursi meja makan dan mulai mengisi perutnya yang minta diisi.

"Tapi, Pah, Mah ... Arleta kan bawa motor sendiri, Bang Stanza juga. Kenapa harus dianter? Terus kalua pulang, Arleta naik angkot gituh?" protes Arleta, semua terhenyak. Memang benar, mengapa harus meributkan ia diantar atau tidak, kan tiap orang bawa kendaraan masing-masing. Dan tawa pun pecah.

***

Sesuai dengan kesepakatan meja persegi, Arleta besedia dianter abangnya, Stanza. Tapi, dengan cara Stanza bawa motor sendiri, Arleta bawa motor sendiri, hanya mereka beriringan berangkattnya, kadang diselipi perbincangan kecil di atas motor masing-masing.

Arleta memasukkan motornya ke pintu gerbang, belok kiri kea rah parkiran, dan ia hilang dari pandangan Stanza. Sedangkan Stanza, ia masih mematung di atas jok motor. Satu per satu murid berdatangan, berlalu menghiraukan Stanza yang seragamnya berbeda.

Lonceng sudah berbunyi, Stanza beranjak pergi. Pagi ini, ia tidak menghasilkan apapun. Gadis yang kemarin ia buntututi tak kunjung kelihatang penampakannya, padahal pagi ini ia begitu rapi, pasti masuk kriteria anak-anak yang dulunya aktif di organisasi ekskul kelompok ilmiah remaja.

Stanza melihat jam tangan hitam yang melngkar di tangan kanannya. Ia menghitung singkat waktu yang diperlukan untuk sampai di sekolahnya tanpaa terlambat. Setelah kalkulasi itungan dalam otaknya selesai, ia tancap gas dengan kebisingan suara motor yang ditimbulkan motor ninjanya. Sekolahnya berdekatan, jadi gak perlu khawatir terlambat, biasanya waktu memecet bel di skolah Stanza lebih lama daripada sekolah adiknya. Percobaan itu ia telah buktikan pada saat kelas 10, saat motor adiknya dirawat di bengkel terdekat dengan rumah, dan ia punya kewajiban untuk mengantar- jemput adik satu-satunya yang sangat menyebalkan karena sering mengajak ia beradu mulut.

Tapi sayang, itungan Stanza kali inimeleset. Saat motornya tepat masuk gerbang pertama sekolah, Pak Sukri, gurukimia yang selalu menemukan jejak kejahatannya berkacak pinggang menyambutkedatangan Stanza. Stanza luoa, hari ini jadwal piket Pak Sukri yang suka intime. Bahaya menghampiri Stanza, waspadalah!

Stanza (Anak IPA Garis Kiri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang