STOIKIOMETRI

1 0 0
                                    



"Stoikiometri adalah ilmu yang mempelajari dan menghitung hubungan kuantitatif dari reaktan dan produk dalam reaksi kimia."

Seperti biasa, sore hari Stanza duduk di jendela kamar, melihat bunga mawar yang baru disiram ibunya. Taka ad kegiatan lain, semenjak ia dipanggil BK, tak ada acara main. Bimbel telah berakhir ditandai dengan selesainya tes SBMPTN. Stanza mencoba beberapa kunci di gitarnya. Kertas dan juga pulpen yang terpasang di papan dada di gantung dijendela. Jaraknya sangat dekat, dengan mudah Stanza bisa menambah atau mencoret anada yang kurang pas. Hari ia ingin membuat lagu yang special untuk memperkuat persahabatan BASIS. Tidak dapat dipungkiri, perpisahan pasti terjadi.

Zelo Oktavianus, ia akan kembali ke Bandung melanjutkan study di sana. Entah jurusan apa yang akan diambilnya, yang pasti dia akan kuliah di perguruan tinggi swasta. Konon katanya, saudara ayahnya adalah ketua Yayasan di kampus tersebut. Pasti ia akan dimasukkan ke sana. Dan untuk jurusan, sekali lagi, para BASIS terbiasa dengan pilihan yang dibuat oleh orang tua. Entah mereka berpikir apa pada anak-anaknya. Suanya seperti tidak terdengar.

Gracio Nordictus, masiha ada tali saudara dengan Zelo. Tapi untuk maslah hal yang disuka, sangat timapang, yah kembar identic aja ada aja yang bedanya apalagi saudara jauh. Ia mengikuti tes masuk kedokteran perguruan negeri swasta di Bandung juga. Dari awal, Cio sangat seriu dengan pelajaran, tapi karena teman-teman sekelas tidak ada yang dekat dengannya. jadilah ia bergabung dengan tim BASIS, bersama saudaranya yang suka seni, Zelo. Eist, tapi bukan berarti ia terpaksa ikut BASIS. Ia selalu masuk lima besar meski kenakalannya tak jauh beda dengan teman segengnya. Entah terbuat dari apa otaknya, ia selalu bisa menjawab saat guru mengetesnya. Ulangan apalagi, ia selalu dapat nilai besar. Hmmm, bisa jadi ia 1% otak Einstein beregenerasi di otak Gracio.

Meza Rahadian, teman paling jomlo akut, selama di SMA taka ada satu pun cewek yang berhasil digaet. Sungguh miris. Tapi untuk masa depan, ia sudah merancang dengan benar, meski ia harus menerima rasa kecewa. Cita-citanya untuk menjadi insinyur kandas, ayahnya yang hanya kuli bangunan, tak mampu membiayai kuliah, mungkin ia akan mengikuti jejak ayannya menjadi kuli bangunan, membantu perekonomian keluarga.

Birama Herlambang, gambar yang dibuatnya selalu bagus. Ia pernah menjadi perwakilan sekolah ke provinsi untuk lomba pembuatan karikatur kementrian Pendidikan dan kebudayaan karena lolos di tingakat kabupaten. Ia tersesat masuk IPA karena ingin mengejar gengsi. Ya, mau dibilang apa juga, anak IPA seperti lebih istimewa dan lebih dihargai di sekolah. Kabar yang didengar Stanza, ia akan pergi ke kota mengadu nasib. Menjadi pelayan toko atau office boy, yang penting ia menghasilkan uang halal, itu pesan ayahnya.

Sedangkan Stanza sendiri, ia takt ahu ke depan ia akan seperti apa. Gambaran hidupnya buram. Tidaka da semangat hidup. Apalagi setelah kemarin ia tidak jadi ikut tes SBMPN, pasti ia akan dimarahi lagi oleh kedua orangtuanya saat tahu di daftar pengumuman taka da namanya. Anggap saja ia tidak lolos, meski sebenarnya tidak mengikuti ujian. Dan peruntungan event music kemarin? Ia tak tahu, apakah akan lolos atau tidak. Ia hanya pasrah pada nasib, biarkan saja takdir membawanya ke mana. Biar saja angina meniupkan jiwa dan raganya ke tempat yang ia tidak tahu. Baginya, cita-cita hidup tak berarti sejak ia dipaksa masuk jurusan IPA oleh papanya.

"Stanza, apa benar kamu tidak mengikuti ujian SBMPTN?" Pak Hartono mmebuka pintu kamar Stanza dengan kasar secara tiba-tiba. Seragam dokter dibadannya masih melekat, wajahnya merah menahan amarah.

Stanza hampir saja terpelanting keluar jendela mendengar pertanyaan ayahnya yang tiba-tiba. Ia lalu berdiri dengan tegak dekat jendela, dengan gitar disandarkan ke tembok.

"Jawab Stanza Vaganza!" Pak Hartono mengangkat dagu Stanza supaya bisa melihat kejujuran di raut muka anaknya. Tetapi Stanza hanya terdiam, ia menunduk lagi.

Kemarahan Pak Hartono mengundang BuHartini datang ke kamar Stanza, dimatikannya kompor gas yang sedang menyala. Ini kali kedua suaminya memarahi Stanza dengan penuh amarah.

"Kenapa, Pah? Ayo tenangin dulu, jangan marah-marah seperti itu." Lerai Bu Hartini menenangkan suaminya.

"Tanyalah pada anakmu, apa yang dilakukan saat tes SBMPTN kemarin!" Pak hartono memalingkan muka dari Stanza.

"Nak, kamu ikut tes kan?" tanya Bu Hartini lembut pada Stanza, tetapi Stanza masih tergugu.

"Sudah! Cukup! Papa akan mengirimmu ke rumah nenek di perbatasan kota, papa tidak main-main dengan perkataan papa tempo hari." Pak Hartono berkata, lalu setelahnya meninggalkan kamar Stanza.

"Pa, tunggu dulu. Kita dengarkan apa yang diamu Stanza," ucap Bu Hartini pada suaminya, tetapi terlambat. Pak Hartono hanya menibaskan tangan kanannya ke atas. Bu Hartini menghela napas panjang.

Bu Hartini tahu apa yang diinginkan Stanza, anaknya. Tepai suaminya bersikeras ingin menguliahkan Stanza di jurusan kedokteran.

"Sudah, ya, Nak. Ibu paham apamaumu." Bu Hartini memeluk Stanza, berharap anaknya bisa tetap tegar, dankembali ceria seperti dulu.

Stanza (Anak IPA Garis Kiri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang