- a c t V I I I

465 79 44
                                    

FIKI AULIA & SHANDY MAULANA

Peristiwa itu benar mengejutkan semua orang di dalam bank. Seorang pemuda gila tiba-tiba maju dan berlari menyerang perampok itu.

Orang-orang pun sejenak melupakan rasa takut mereka, dan menujukan pandangan mereka ke arah pemuda itu, yang kini sedang mencengkeram kerah sang perampok erat-erat. Riuh rendah terdengar dari orang-orang yang berada di dalam ruangan ini, semuanya ricuh menanyakan hal yang sama: apa pemuda itu telah kehilangan kewarasannya?

Namun, meski kegaduhan itu menggema hingga ke atap ruangan, Fiki tak bisa mendengarnya. Alih-alih, fokusnya seakan terkunci pada pemuda yang baru saja menyerangnya ini. Dia menatap Fiki bengis, penuh dengan kobaran api amarah sampai-sampai Fiki dapat merasakan panasnya.

Kendati dia menatap Fiki seperti itu, dia adalah abangnya-Shandy Maulana, yang justru sedang berusaha Fiki selamatkan. Dan, setelah sekian lama, abangnya itu berada di sini, tepat di depannya.

"Ng-nggak, Bang...Fiki c-cuma..."

Ingin sekali Fiki menjelaskan semua yang telah abangnya lihat ini. Namun, entah kenapa, tenggorokannya serasa tercekat. Ada sesuatu yang menghalanginya untuk mengeluarkan kata-kata yang ingin ia ucapkan.

Alih-alih suara, yang keluar malah air mata yang sedari tadi Fiki tahan, perlahan mengalir dari sudut matanya.

Lalu, gumpalan cairan bening itu terus mengucur dengan deras, membasahi pipinya. Fiki pun membiarkan isak tangisnya keluar. Nafasnya sesenggukan, dihantam oleh sejuta rasa yang kini membuncah dari dalam dadanya. Fiki, mau tak mau, tidak bisa menahannya. Ia tidak bisa menahan betapa sesungguhnya ia merindukan Shandy.

Namun, di sisi lain, air mata yang Fiki keluarkan itu juga berasal dari rasa takut. Takut karena Shandy telah melihatnya saat sedang seperti ini. Sekarang, apa yang akan abangnya itu pikirkan tentang dirinya? Sekujur tubuhnya bergetar, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Seluruh rencana yang telah Fiki susun selama ini, hancur seketika di depan mata Fiki. Shandy telah mengetahuinya. Dan sekarang, ia tak dapat berbuat apapun.

Fiki dapat mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup sangat kencang, saat kembali memandang ke arah wajah Shandy.

Shandy masih menatap Fiki dengan tatapan yang sama dengan saat pertama kali mereka berjumpa kembali. Mata yang memandang bengis ke arah Fiki. Tangan Shandy pun masih mencengkeram kerah baju Fiki dengan kencang. Fokusnya hanya tertuju kepada Fiki.

Shandy benar-benar tidak menyangka. Setelah berbulan-bulan menghabiskan waktu untuk kesana-kemari mencari Fiki, ia malah mendapati adiknya itu dalam kondisi seperti ini. Hati Shandy sakit melihat Fiki, yang kini dibalut oleh jaket hitam anti peluru, dengan senjata api tersimpan di kantongnya. Jadi, ini yang Fiki lakukan selama ia menghilang? Sungguh, dari sekian banyak pengkhiatan yang pernah Shandy alami, ini yang paling menusuk. Bisa-bisanya Fiki mengkhianati seluruh usaha Shandy, serta rasa kasih sayang dan rindu terhadapnya, dengan melakukan hal rendahan seperti ini?

"Lo paham, nggak, sih, Fik," geram Shandy, "lo paham, nggak...lo ini lagi ngapain sekarang?!"

Shandy menggertakan giginya. Kemarahannya kini berada di puncak kepalanya, bercampur dengan rasa kecewa, sedih, dan berbagai perasaan lainnya, yang sulit ia jelaskan.

Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Shandy, Fiki hanya menunjukkan air mata yang terus mengalir. Fiki dapat merasakan tangan dan kakinya bergetar. Ia masih tidak berani untuk sekedar memandang wajah abangnya itu. Dirinya terlalu takut, dan juga marah. Marah akan semesta yang sebegitu tidak berpihak kepadanya, membuat kebetulan-kebetulan lucu yang sama sekali tidak Fiki inginkan. Marah akan dunia yang seakan mempermainkan takdirnya.

Heist | UN1TY (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang