Jane saat ini duduk gelisah dengan kekesalan yang memuncak. Tidak ia sangka pagi harinya akan berjalan dengan mengesalkan seperti ini. Bayangkan saja, sepagi ini dia mendapatkan laporan dari tim marketingnya, jika strategi pemasaran milik timnya diplagiat oleh tim sebelah yang notabenenya selalu iri hati dan tidak tahu diri.
Jane sudah menghela napas berkali-kali untuk menahan diri agar ia tidak melakukan hal konyol sepagi ini. Meski sebenarnya, Jane sudah sangat ingin mendatangi Indira—leader tim tidak tau diri itu.
Anne—selaku teman dekat Jane—tak henti menenangkan temannya itu. "Jane, tahan diri ya. Kita bikin lagi strategi marketing terbaru yang lebih bagus dari tim sebelah. Otak kita kan cemerlang nih, gampanglah bikin strategi lagi," rayu Anne.
Lirikan tajam Jane langsung mengarah ke Anne.
Sedangkan, Anne yang mendapat lirikan itu langsung menciut nyalinya. Ia tak lagi berani merayu Jane jika wanita itu dalam mode bahaya begini. Bisa runyam jadinya. Anne kini merinding sendiri saat melihat Jane menatapnya tajam.
"Apa katamu? Kita bikin lagi? Yang seharusnya bikin lagi itu tim mereka! Bukan tim kita!" bentak Jane. Jane pun berdiri. "Di mana Indira?!" tanya Jane dengan nada menakutkan. Jane rasa ia sudah tak sanggup lagi menahan diri. Ia ingin menemui Indira itu untuk menyelesaikan masalah ini.
"Di-dia di pantry deh kayaknya." Jawab Anne.
Sedetik kemudian, kaki Jane langsung beranjak dan mengarah ke tempat yang disebutkan Anne tadi. Anne, Bram, dan Dio langsung mengekor di belakang Jane yang kini sudah meremas erat tangannya. Persis seperti preman kampung yang akan tawuran.
"Indira! Keluar lo!" Jane menggebrak pintu kayu pantry dengan tangan kanannya.
Seketika, semua karyawan yang sedang ngopi santai di pantry langsung menyorot kedatangan Jane. Mereka menganga melihat Jane yang kini sudah melengkuk kedua lengan bajunya sambil menaruh kedua tangannya di depan dada. Benar-benar preman. Menakutkan.
"Ngapain pada ngeliatin gue?" sinis Jane. "Mana leader kalian? Kalian sembunyiin dia??"
"Eng-enggak Jane," jawab gagap Dian—salah satu manusia yang masuk dalam tim tidak tau diri itu, yang berarti, dia adalah anggota dari tim Indira.
"Ngapain nyari gue? Mau pamer kalau lo kepilih ke Bali?"
Suara Indira yang serak-serak becek langsung merusak pendengaran Jane.
Jane langsung menyorot Indira yang datang dari dalam pantry. Jane menggeleng. "Nggak. Gue nggak mau pamer hal itu," jawab Jane berani.
Indira maju perlahan mendekati Jane.
Anne, Bram, dan Dio, mereka harap-harap cemas saat Indira seperti berani menantang Jane. Ini sungguh gawat. Sangat gawat.
Indira pun kini sudah berada tepat di depan wajah Jane sambil memasang ekspresi seperti meremehkan Jane. "Terus, ngapain lo cari gue? Lo mau ngajakin gue berantem?" ujar Indira.
Jane tersenyum tipis menanggapi. "Ya. Gue mau ngajakin lo berantem. Mau di sini apa di lobby kantor, Bitch?"
Mendengar itu, Indira langsung melotot. Ia sangat geram mendengar Jane memanggilnya begitu. "Apa kata lo? 'bi—bitch'?" kesalnya.
"Kenapa? Bukannya wanita nggak tau diri kayak lo gini pantes ya di panggil 'bitch'?" cibir Jane. "Oh ya, By the way, lo nggak punya otak ya sampai harus ambil strategi marketing tim gue? Kasihan banget ya anggota lo, punya leader nggak punya otak kayak lo gini. Strategi marketing tim aja nggak bisa mikir, bisanya cuma mau instant dan ngerebut punya tim lain. Kasihan," to the point Jane.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dan Kehilangan
RomanceBastian mengira, hidupnya yang sudah memiliki satu wanita seperti Nara Nayaka itu sudah lebih dari cukup. Ia merasa sudah cukup bahagia memiliki Nara dalam hidupnya. Setidaknya, itu adalah yang Bastian rasakan selama dua puluh tahun mengenal wanita...