it's a long time no see for us. hehe. maap maap ni tapi ada sedikit kesalahan teknis dengan otakque jadi gak bisa up. yaudah lah dimaafin aja.
"kata dokter kamu harus dirawat inap mulai besok, Sa."
Runtuh. Semua mimpi Aksa seperti jatuh dan hancur secara bersamaan. Semua yang Aksa rencanakan bersama teman-teman dekat mereka, batal. Tidak ada kemah dan duduk melingkari api unggun bersama. Tidak ada momen bantu-membantu satu sama lain saat mereka mendaki. Semua acara, semua kegiatan, semua rusak. Hanya karena penyakit sialannya ini.
Diruangan putih coklat inilah sekarang Aksa berbaring. Seandainya saja Aksa dan teman-temannya melaksanakan rencana tersebut lebih awal. Seandainya saja setiap kali ia ingin bermain bersama teman-temannya, ia tidak harus pergi kerumah sakit untuk terapi. Seandainya saja penyakit ini tidak memilihnya. Tidak memilih tubuhnya untuk dijadikan tempat bersarang. Aksa yakin dirinya kini masih berada disekolah mendengar bacotan Mason yang tidak ada habisnya, melihat tingkah usil Taruna yang selalu membuat Gara kesal setengah mati.
Lamunan Aksa buyar seketika saat Mamanya mendekat dan duduk di samping bangkar tempat Aksa berbaring. Wajahnya menampilkan senyum tulus yang mengisyaratkan pada Aksa bahwa ia mengerti apa yang Aksa sedang rasakan saat ini.
"jangan natap Aksa kaya gitu, Ma. Serem." Aksa memalingkah wajahnya kesamping untuk meraih handphonenya yang tergeletak di nakas. Perkataan yang dilontarkan Aksa membuat Trisa tertawa kecil.
"Maafin mama sama papa ya, sayang" Trisa membangkitkan tubuhnya dari kursi tempat ia duduk tadi dan mengusap pelan rambut Aksa yang sudah mulai menipis karena rontok.
Trisa merasa sangat bersalah. Trisa merasa tidak becus dalam mendidik dan menjaga anak lelakinya ini. Trisa merasa sangat tidak pantas dipanggil sebagai Mama saat melihat kondisi Aksa saat ini. Anak lelaki pertama yang mengantarnya pergi ke super market sekaligus membantunya mendorong troli belanjaan. Anak pertama yang membelikannya mixer duduk sebagai hadiah ulang tahun. Anak pertama yang mampu mengisi hari-hari Trisa yang dulunya kosong.
"Apaan sih, ma. Ngapain minta maaf sama Aksa? Udah terlanjur, ma."
Aksa terdiam, tak mampu melanjutkan kata-kata yang akan ia ucapkan kepada Mamanya. Handphone yang tadi ia ambil, ia taruh kembali ditempatnya semula. Matanya menatap mata Trisa yang daritadi sudah menatap Aksa dengan sorot bersalah. Bagaimana bisa kesalahan yang murni dilakukan oleh Aksa, malah membuat Trisa merasa bersalah?
"seharusnya Aksa yang minta maaf sama Mama. Aksa gak bisa jadi anak yang mama pengen, gak bisa jadi anak yang mama harapkan. Aksa gak bisa jadi penerus perusahaan papa seperti yang mama impikan. Aksa gak bisa banggain mama sebagai anak."
Trisa tak menyadari air yang kini berkumpul di pelupuk matanya tanpa ijin. Dadanya sesak mendengar kalimat demi kalimat yang Aksa lontarkan. Trisa tak dapat menahan tubuhnya untuk tak memeluk putra kesayangannya ini.
"Kamu udah banggain mama dengan cara kamu sendiri. Kamu udah buat mama bahagia."
Aksa balas memeluk Trisa. Mamanya ini selalu ada disisinya saat semua orang pergi, selalu memberinya nasehat tanpa terselip nada tinggi senakal apapun perbuatan yang sudah Aksa lakukan.
---
"kamu itu anak tidak tau diri!"
plak!
"Papa cuma minta kamu jaga sikap, belajar yang rajin, jangan buat onar. Itu aja kamu gak bisa lakuin?!"
Anak remaja itu hanya diam. Ada berjuta-juta emosi yang ia ingin luapkan saat ini. Bahkan ingin rasanya ia pergi dan hidup sendiri, bebas tanpa ada tuntutan dan larangan dari sang papa. Ingin rasanya saat ini juga ia membalas ucapan-ucapan yang papanya lontarkan.
"kamu itu akan jadi penerus perusahaan besar papa dan kamu malah berulah?! bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Apa yang kamu pikirkan, hah? Kamu ga mikirin segimana malunya papa sama mama? Jawab!"
"maaf, pa."
Hanya dua kata itu yang terlontar dari mulut si anak. Meski tak akan merubah keadaan yang sudah terjadi, ia cuma ingin mengungkapkan bahwa dirinya merasa bersalah. Bahwa dirinya menyesal sudah berbuat tak benar yang membuat kedua orang tuanya malu.
"Sekali ini saja papa akan tolerir kenakalan kamu. Sekali lagi kamu membuat onar sampai mama dan papa mendapat surat panggilan dari sekolah, kamu akan papa titipkan ke panti asuhan. Ngerti kamu?"
Anak tersebut mengangguk. Kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Pikirannya berkecamuk. Kepalanya seperti berputar terus menerus sampai membuat sang empu ingin membanting kepala tersebut di tembok. Ia tak pernah bisa mengelarkan sedih dan amarahnya dalam bentuk air mata dan itu sangat menyiksa.
Pintu kamarnya ia tutup perlahan dan ia kunci. Ia tak ingin perbuatannya yang ini terpergok lagi oleh sang papa. Ia tak ingin sang papa melarangnya untuk berhenti melakukan sesuatu yng membuatnya lupa akan masalah-masalah yang terjadi.
Dihisapnya satu batang rokok yang berada disela jarinya lalu menghembuskan asapnya melalui bibir dan hidungnya seakan semua masalahnya hari ini ikut keluar bersama asap rokok tersebut. Matanya menatap bintang-bintang yang memenuhi langit malam ini. Bahkan langit saja tak mau berada dipihaknya.
YOU ARE READING
darlin'
Short StoryBagaimana rasanya memiliki tetangga yang cakepnya itu diatas rata-rata? Asik kan? Bisa cuci mata tiap hari tanpa harus nyari lagi.