PART 8

760 75 21
                                    

Setelah tiga hari didalam penjara yang disebut rumah. Junghwan kembali bersekolah. Ya dengan konsekuiensi dia harus naik ojek atau bus untuk menuju ke sekolahnya.

Haru sebenarnya ingin menolong adeknya namun tatapan tajam Papanya membuatnya takut.

Sesampainya disekolah Junghwan duduk, pasang air pod lalu mulai membaca bukunya. Dia udah males untuk berinteraksi dengan mahkluk lainnya. Bahkan Haru Mas kembarannya dicuekin.

Usai istirahat Junghwan berencana untuk bolos pelajaran Pak Kyuhyun dan ngadem di rooftop sekolah.

Junghwan duduk disana ditemani terik matahari. Dia berfikir kalau dia lompat dari Gedung itu akankah dia mati atau hanya akan cacat.

"Ju, hidup capek, bunuh diri takut dosa" kata Junghwan sambil menghela nafas beratnya. Capek dia tu, capek dikatain bodoh, capek dikatain nggak pake otak. Rasanya ingin teriak, ingin kembali ke Korea hidup bertiga bersama kakek neneknya.

Junghwan tiba-tiba menangis karena saking capeknya, bahkan capek aja tu capek. (Aish ngetik apaan deh)

Sesekali Junghwan menarik nafas panjang dan berusaha untuk mengantur nafasnya, kebiasaan Junghwan kalau kelamaan nangis pasti sesek. Untung dia udah sedia inhaler, jaga-jaga kalau dia sesek nafas. Dan benar kali ini sesak nafasnya kembali setelah empat tahun pergi dia sekarang datang kembali.

Sesak nafas Junghwan makin menjadi, bahkan sekarang Junghwan pasrah aja kalau dia nanti diketemukan hanya tinggal nama. Bukankah ini yang diinginkan Junghwan.

Junghwan disisa kesadarannya dia mendengar suara langkah kaki yang mulai mendekat, dan semakin mendekat.

"Junghwan, astaga Junghwan" suara yang sangat dia kenal, dia Kakak tingkatnya yang sekarang udah lulus. Dia mantan ketua ektrakulikuler taekwondo dua tahun yang lalu, dia yang satu-satunya teman yang sering dia jadikan tempat curhat. Dialah Ha Yoobin, atau biasa dipanggil Kak Ben.

"Ju, sadar Ju please. Ju atur nafasnya Ju, yuk pelan-pelan jangan nangis" Ben duduk bersimpuh dihadapan Junghwan lalu mulai menuntunnya untuk mengantur nafasnya.

Perlahan nafas Junghwan tidak seberat tadi, akhirnya Junghwan bisa bernafas dengan lega kemabali.

Ben segera menarik Junghwan dalam pelukannya, lalu menenangkan Junghwan yang masih menangis.

"tumpahi Ju, yuk nangis jangan ditahan" Ben mengelus punggung Junghwan untuk menenangkan Junghwan.

Junghwan melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya "makasih ya Kak Ben, lo kok ada di sekolah? Nggak kuliah"

"sama-sama gue libur, biasa gue gabut terus ya udah main ke sekolah. Gue kangen rooftop juga. Tumben lo bolos Ju"

"capek gue Kak"

"banyak pikiran ya? sampe lo sesek kek tadi. Jujur Ju gue takut Ju"

"ya mayan lah Kak"

"gara-gara Om Hanbin?"

Junghwan menundukan kepalanya lalu mengangguk "Ju, kalau butuh orang buat sandaran datang aja kali Ju. Gue bakal dengerin kok, lu udah gue anggep adek"

"iya Kak"

"good boy, turun kuy, jam istirahat nih, gue jajananin bakso sama ayam geprek deh"

"bener?" mendengar kata makanan semangat Junghwan kembali berkorban.

"iyaaa, buru"

"gendong" inilah Junghwan kalau sedang bayi ya bayi banget tapi kalau udah dewasa ya jadi dewasa banget. Sungguh duality yang sangat bertolak belakang sekali dedek Junghwan ini.

Home ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang