Ingin Menetap

395 46 0
                                    

Untuk siapa pun teman-teman yang sudah membaca sampai bab ini terima kasih...
Banyak salah dan buruknya, tapi pasti ada baiknya...😉😉😊
_______________________

“Ma, mama sehat?” Ai mengirim pesan pada mamanya, karena setelah malam semakin larut matanya masih sulit terpejam. Ada banyak pikiran yang mengganggu waktu istirahatnya. Tentang kesehatan papanya yang sebenarnya sudah ditangani, Ai memikirkan jika kondisi papanya tidak baik, bagaimana dengan kontrak kerja yang terlanjur disetujui bersama perusahaan terkait, sanggup saja dia membawa papanya pulang ke jakarta dan memenuhi kehidupan kedua orang tuanya yang sudah berpisah itu, atau barangkali jika perlu dia mengajukan diri pada perusahaan tempat papanya bekerja untuk menggantikan semua tugas dan harus bolak balik jakarta jeddah. Yang tak kalah mengganggunya lagi adalah tentang omelan orang-orang pada keputusannya memberhentikan Dira.
“Iya sayang, kamu giamana?” Balas mamanya.
“Sehat, ma. Tapi sedikit banyak pikiran,” kata Ai. “Ma, nitip doa buat papa, ya, dia sedang sakit,” lanjutnya pada pesan berikutnya.
Sedikit lama pesannya tak terbalas, hingga tiga menit kemudian mamanya melakukan panggilan video pada Ai.
“Papa kamu sakit apa? Di rumah apa dirawat di rumah sakit?” Tanya mamanya, bertubi-tubi.
“Di rumah sakit, tapi sudah ditangani dengan baik,” jawab Ai.
“Hahhh,” mamanya pun bernapas lega, “Ai, selama kamu di sana perhatikan baik-baik makannya, jangan sampai telat, minum obatnya juga. Minta Pak Mo untuk mengantarnya kontrol dan konsultasi ke dokter,” ucap mamanya panjang.
“Mama, masih sekhawatir itu, sama papa? Bukannya seingat Ai, kalian sudah tidak bersama di sebagian besar umur Ai!” Komentar Ai, gemas melihat mamanya yang ternyata masih sepanik itu mendengar mantan suaminya sakit.
“Dan, sampaikan salam mama,” setelah beberapa detik terdiam mendengar komentar Ai, kata itu yang muncul dari lisannya. Kemudian panggilan pun berakhir.
Tak lama kemudian mamanya mengirim pesan.
“Ada banyak permintaan maaf dan terima kasih yang ingin kusampaikan padanya. Dengan usia kami yang sudah semakin tua, sebentar saja sebelum salah satu dari kami mati, aku ingin bertemu dan menyampaikan itu padanya.” Membaca pesan tersebut tanpa Ai sadari rasa sesak memenuhi dadanya. Kata mati dari orang tua membuatnya ketakutan, takut kehilangan yang melebihi rasa takut pada apa pun. Ai mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan memejamkan mata, menghirup napas dari hidung dengan dalam, lalu mengeluarkannya dari mulut dengan tenang, namun sepi malam menyeruakkan bayangan seorang teman yang pernah ia tinggalkan tanpa penjelasan, seorang gadis tanpa orangtua yang sendirian, gadis itu bahkan bisa bertahan hidup tanpa siapa pun. “Azura...”
Beberapa waktu lalu dia berjanji untuk singgah di aparteman Azura, dan saat ini Ai merasa sangat ingin menemui sahabatnya itu, entah untuk apa. Mungkin karena ternyata semenakutkan ini kata mati yang terlontar dari orang tua. Dan dia butuh teman untuk berbagi cemas dan bercerita tentang ketakutan. Meski sudah pukul sebelas malam ia tak peduli, Ai bergegas pergi menemui Azura. Sampai di depan pintu apartemen Ai menekan tombol bel dan Azura segera membukanya, kali ini Ai benar-benar tak dapat menahan air mata, juga tak kuasa menahan diri untuk memeluk erat sahabat yang pernah dia tinggalkan.
“Maafkan aku untuk kepergianku tanpa penjelasan, maafkan aku telah membuatmu sendirian, maafkan aku yang tak pernah sanggup menetap, maafkan aku untuk semua kesulitan yang kutinggalkan padamu,” kata maaf itu terucap gemetar diiringi air mata dalam pelukan Azura.
“Ai,” panggil Azura, memecah lamunan Ai yang masih berdiri mematung di depan pintu. Ternyata pelukan tersebut hanya ilusi Ai. Dia bukan orang yang mudah melakukan sesuatu yang manis semacam itu.
“Oh, ya,” ucap Ai. Lalu dia memalingkan tubuhnya untuk pergi, Azura pun menghentikan langkah Ai dengan segera menarik lengan Ai, sehingga mengembalikan Ai pada posisi menghadap Azura, dan lebih dekat berhadapan.
“Sudah sampai depan pintu, masuk, yuk,”  kata Azura, sembari menarik lengan Ai untuk masuk ke rumahnya, Ai mengikuti saja lalu duduk di sofa.
“Mau minum apa?” Tanya Azura.
“Air putih saja,”
“Ok,” balas Azura, sambil membuka lemari pendingin.
“Maaf soal Dira, tapi sepertinya dia akan kembali dalam beberapa hari,” kata Ai, menutupi tujuan utamanya menemui Azura, atau barangkali dia mengubur kembali permintaan maaf yang sebenarnya.
“Oh, soal itu. As you told me, that is not of my business, right?”
“Ya,” kata Ai, singkat dengan sedikit senyum.
“Ai, look at me,” Azura menatap lekat mata Ai, yang pada saat itu berusaha memberanikan diri untuk tidak berpaling. “I see someting to say in your eyes, please say it,” lanjut Azura.
“Aku sudah terbiasa menyimpannya. Jadi tidak ada yang bisa kukatakan,” kata Ai, masih dengan menatap tajam, dengan senyum yang sedikit tersungging.
Azura membalas senyuman itu dengan membuang muka dan tersenyum lalu mengatakan, “Kamu juga terbiasa berpura-pura. Ok, aku tidak akan mengusiknya.”
Pling. Ada pesan masuk dari Pak Mo, “Mbak, malam ini bisa tidur di rumah sakit, ya?” Ai langsung membalas “Bisa,” dan kemudian pamit pulang pada Azura.
“Ai, thanks for coming,” kata Azura, saat Ai sudah berada di dekat pintu. Ai hanya tersenyum menanggapinya.

Menatap lekat matamu pada detik itu.
Memberiku jawaban akan sesuatu.
Sepertinya nyaris hilang rasaku, namun tidak denganmu.
Jika tersisa mungkin hanya rasa bersalahku padamu.
Karena pernah meninggalkanmu.
Bukan kata maaf itu ambigu.
Namun aku memang selalu canggung untuk jujur pada perasaan bersalah semacam itu.
***
Pagi yang cerah, Ai pamit berangkat kerja pada papanya.
“Good morning, Pak,” Azura muncul dari balik pintu.
“Hei, apa kabar, kamu?” Sapa Pak Toha, pada Azura. Kemudia seperti biasa dia langsung mendekat dan memberi perlukan akrab pada papa sahabatnya itu, Azura memang selalu seperti itu.
“Baik, pak. Bapak sudah makin baik, kelihatannya,” kata Azura.
“Ya, alhamdullilah. Sekarang sudah jelas lihat wajah kalian,” gurau Pak Toha.
“Pa, saya pergi kerja dulu, ya,” pamit Ai, sambil menyalami papanya, lalu tak lupa memberikan kecupan di kening.
Kemudian mereka berdua keluar dari kamar pasien bersamaan.
“Ra, aku bereng, ya,” kata Ai. “Hari ini kita ke lokasi, kan?” Lanjutnya.
“Yup,” jawab Azura bersemangat dan seperti biasa Azura selalu merasa senang ketika Ai meminta sesuatu padanya.
Perjalanan langsung ke lokasi proyek untuk bertemu dengan mister khalid dan beberapa investor. Mereka ingin melihat progres kerja pada proyek yang sedang berjalan. Jadwalnya adalah pukul 10:00 sampai waktu makan siang, Ai dan Azura datang lebih awal untuk memeriksa beberapa hal, di lokasi sudah ada beberapa orang dan petugas keamanan, arsitek utama proyek ini juga hadir, dia dari korea. Salah satu hal yang menyenangkan bagi Ai dengan pekerjaannya adalah bertemu dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia yang berbeda bahasa darinya.
Hotel itu terdiri dari 30 lantai, hotel bintang lima dengan berbagai fasilitas seperti gim untuk laki-laki dan perempuan terpisah, kolam renang keluarga, restoran dan caffee shop, persewaan sepeda untuk keliling di area pantai, serta beberapa kamar yang memiliki akses langsung ke pantai. Beberapa kelas kamar juga tersedia pada hotel tersebut. Tak lama kemudian rombongan Mister Khalid datang, ada tiga pria dari dubai, india dan jepang, lalu dua perempuan dari australia dan malaysia. Mister Khalid mulai memperkenalkan satu persatu orang penting dalam proyek ini, tentu saja di antaranya adalah Ai dan Azura, setelah itu mereka berkeliling dengan mengenakan helm proyek berwarna oranye karena helm pengaman dengan warna tersebut memang diperuntukkan tamu-tamu yang akan meninjau lokasi, namun untuk Ai yang terlibat langsung dalam proyek bersama arsitek dan para mandor serta beberapa insinyur mengenakan helm keamanan berwarna putih. Berkeliling sambil membicarakan kerja sama ke depan hingga mengomentari hal-hal yang harus diperhatikan, tak terasa waktu satu jam berlalu, agenda berikutnya adalah makan siang di restoran ternama langganan perusahaan. Seluruh peserta pertemuan hari itu mulai melangkah keluar gedung, Ai berjalan paling belakang bersama Hasin dan salah satu mandor, sementara itu tiga langkah di depannya adalah Azura yang mengobrol seru bersama dua investor, sepertinya pilihan Mister Khalid pada karya lukis Azura mendapatkan apresiasi positif dari para pemilik modal itu. Karena proyek belum sepenuhnya selesai maka saat berjalan harus berhati-hati, sebenarnya  seluruh keamanan sudah diperhatikan dengan baik, namun ada saja kejadian celaka yang tak diharapkan, Ai melihat sebungkus semen terjatuh dari atas, dan lurus dengan Azura, tanpa berteriak lebih dulu Ai langsung menyingkirkan orang di depannya dan melindungi Azura dengan memeluknya dan merunduk kan tubuhnya dari belakang Azura, alhasil bungkusan semen seberat 40 kilo itu menimpa punggung dan kepala belakangnya hingga terjatuh ke lantai dan membuat panik semua orang terlebih Azura. Ambulance yang memang selalu ada di lokasi proyek segera membawanya ke rumah sakit.
***
Pagi yang gelisah bagi Dira, entah dari mana kegelisahan itu berasal, mungkin pula karena dirinya sudah berhari-hari tak tahu kabar keluarganya, ada rindu yang cukup dalam juga pada Hikam, sang suami. Uang yang dia bawa juga kian hari kian menipis. Dia butuh tambahan uang setidaknya sampai yakin untuk segera kembali ke jeddah menemui Ai, atau sekadar beli ponsel dan sim card untuk menghubungi keluarga di rumah. Usai salat dhuha tanpa sadar ia memperhatikan seorang perempuan yang sudah dua kali setelah kembali dari krumunan orang tawaf menghitung lembaran REAL SAUDI sambil ngos-ngosan. Merasa penasaran Dira pun bertanya.
“Orang indonesia, kan?”
“Eh, iya, kak,” balas perempuan itu.
“Maaf, kalau boleh saya tahu itu uang tips banyak sekali, di masjidil haram kerja apa?” Tanya Dira tanpa basa basi.
“Shuut, jangan keras-keras, saya adalah jasa pengantar ke hajar aswad, tips nya lumayan,” jelas perempuan itu berbisik.
“Terus, sekali jalan berapa duit?” Tanya Dira mulai tergoda.
“Lihat yang pakai jasa kita, kadang tidak perlu minta kalau orangnya terlihat kasihan. Kadang kita bisa minta banyak,” jelasnya, berhati-hati. Dira mengangguk setuju, sepertinya dia semakin tertarik untuk mengikuti pekerjaan itu. Apa lagi dia juga butuh uang, namun Dira berusaha menepis sendiri keinginan itu, dia tahu bahwa pekerjaan itu ilegal. Lagi pula dia tahu persis bahwa mengecup hajar aswad adalah takdir semua orang yang menginginkannya, dan semua orang bisa mendapat kesempatan itu dengan menyerahkan seluruh diri dan hati sang pemilik segala.
“Hey... You, don’t move...!” Terdengar suara bentakan dari arah belakang, Dira dan perempuan itu terkejut, Dira hanya mematung tercengang, namun perempuan itu justeru menyerahkan sejumlah uang pada Dira lalu berlari kencang menghindari petugas keamanan masjid, rupanya ada yang melaporkan pekerjaannya pada petugas. Namun sialnya justeru Dira dituduh sebagai salah satu dari mereka, dan petugas membawanya ke kantor keamanan di kota makkah, berkali-kali Dira mencoba menjelaskan dengan bahasa inggris juga bahasa arab, namun petugas itu bersikeras untuk tetap membawanya.
“Saya bisa buktikan bahwa saya bukan salah satu dari mereka,” jelas Dira. “Ini pasport saya, ini visa saya, saya bekerja di saudi untuk sebuah perusahaan hotel sebagai tenaga profesional, dan ini adalah kartu pekerja milik saya,” lanjut Dira, sambil mengeluarkan segala sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
“Ok, tapi siapa kafil (penjamin) kamu di sini?” Tanya salah satu petugas.
Sejenak Dira berpikir tentang beberapa orang yang dia kenal di sana, mukimin (penduduk asli) yang bisa dihubungi, lalu muncul lah nama Ami Usman. “Ada, dia warga negara asli saudi,” ucapnya memberanikan diri, pasalnya dia juga tak tahu pasti apakah Ami Usman bisa bantu.
“Kalau begitu telepon dia, kalau kamu berbohong,” ucapan askar (petugas kepolisian) itu terputus.
“Saya tidak mungkin berbohong di tanah haram, tapi saya tidak punya ponsel, ponsel saya tertinggal,” dengan cukup panik namun berusaha sok tenang Dira menjelaskan kondisinya.
“Intadhir lahdhoh (tunggu sebentar). I saved his phone number in my book,” ucapnya, sambil mengambil sebuah buku harian dari dalam tasnya. Dira memang memiliki kebiasaan menulis kembali nomor ponsel orang-orang yang dia anggap penting di buku hariannya, padahal di zaman sekarang mudah saja jika ingin sinkronisasi nomor ponsel ke alamat email, tapi faktanya di saat genting seperti ini tulisan tangan dan buku harian masih sangat membantu. Setelah menemukan nomor ponsel Ami Usman dia langsung melakukan panggilan dengan menggunakan telephone milik kantor keamanan, ada sedikit kekhawatiran jika orang yang bersangkutan tak bersedia menerima panggilan dari nomor yang belum dikenal, namun Dira berusaha yakin saja pada usahanya.
“Assalamualaikum... Ami, ana Dira, hal anta masyghul? (Paman, saya Dira, apakah anda sedang sibuk?)” Tanya Dira.
“La, ma tha jaro? (tidak, apa yang terjadi?)”
“Ahtaaj ila musa’adatik (saya butuh bantuan anda).” Dira menjelaskan secara singkat yang terjadi padanya, beruntung Ami Usman bisa datang untuk membantu, meski harus menunggu hingga sepulang kerja. sampai sore hari Dira masih tertahan di kantor kepolisian, namun saat waktu shalat tiba Dira diizinkan untuk melaksanakannya. Dan kemudian Ami Usman datang bersama istrinya, Dira pun bisa bebas.
“Syukron jaziilan (Terima kasih banyak),” ucap Dira, tulus dipenuhi rasa syukur tak terbendung.
“Ma fi musykilah (Tidak masalah),” balas Ami Usman. Sempat terpikir di benak Dira untuk kembali ke penginapan sambil cari kerja, dan entah kapan dia bisa pulang, namun kemudian dia tersadar bahwa dirinya tak mampu lagi bertahan dalam kondisi seperti itu, dia pun mulai kembali berpikir waras untuk menyelesaikan masalahnya dengan Ai, lalu kembali bekerja hingga tuntas dan bisa pulang dengan aman, atau setidaknya dia bisa minta ongkos pulang pada perusahaan, meskipun pada awalnya dia sudah terlanjur gengsi untuk menerima pesangon.
Dengan sedikit perasaan takut merepotkan Dira minta diantar ke penginapan untuk mengambil barang-barang lalu menumpang untuk kembali ke kota jeddah.
“Amah, may i borrow your phone, I want to video call to my family?” Tanya Dira penuh rasa sukan.
“Ya, tafaddlal... (silakan).” Kata Amah Salma. Dan Dira pun melakukan panggilan pada suaminya.
Saat panggilan terangkat Dira kehilangan kata, wajah penyayang itu sudah berhari-hari ia rindukan.
“Alhamdulillah...” spontan kata itu yang keluar dari Hikam, “Akhirnya kamu telepon, kamu ke mana saja, Yang? Dan kenapa nomor kamu tidak bisa dihubungi sama sekali?” Tanya Hikam, berentun.
“Iya, mas, aku minta maaf, beberapa hari ini aku ke makkah, dan ponselku tertinggal,” jelas Dira.
“Ok, aku minta maaf karena tidak tahu apa yang terjadi sama kamu. Aku juga minta maaf karena tidak bisa di sisi kamu, sekarang. Tapi aku mau bilang, tadi rekan kerja kamu  menghubungiku dengan ponsel kamu, dan sepertinya dia sedang butuh sekali kehadiran kamu, terjadi kecelakaan kerja pada Mbak Ai, dan langsung masuk ICU” kata Hikam, panjang.
Sontak kabar itu membuat Dira sangat terkejut, tangannya gemetar, dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika terjadi sesuatu pada atasannya itu, dengan suara gemetar Dira berkata, “Terima kasih infonya, mas, aku segera ke sana.”
“Dira,” panggil Hikam.
“Iya, mas?”
“Jangan meninggalkan hape kamu lagi, itu membuatku khawatir,” kata Hikam.
“Maafkan aku, mas,” kata Dira penuh sesal.
Setelah itu Dira memberi kabar pada Ami Usman, dan tanpa berpikir panjang ia bersedia pergi ke rumah sakit bersama Dira. Ai dirawat di rumah sakit yang sama dengan papanya, hanya saja berada di ICU, dikarenakan setelah benda berat itu menimpanya, dia terjatuh cukup keras, kepala bagian samping kanannya membentur lantai dan mengalirkan darah. Di depan ruang ICU ada Pak Mo dan Azura, tentunya. Jafar, asisten Mister Khalid juga ada di sana.
“Azura...” sapa Dira, pelan dengan memegang punggung Azura yang merundukkan kepala.
“Dira,” balas Azura, dan sepontan langsung memeluk Dira dengan tangisan tak terbendung. “I don’t want to lose her, again,” ucapnya dalam suara sangat berat.
“Hey, please don’t cry,” Dira mencoba menenangkan Azura, dengan menepuk-nepuk punggungnya.
Lalau beberapa saat kemudian dokter keluar, dan buru-buru mereka berdua juga Pak Mo mendekatinya.
“Bagaimana Dok?” Tanya Dira.
“Benturan di kepalanya menyebabkan pendarahan, dan sudah bisa dihentikan, namun untungnya dia mengenakan helm, jadi cedera di kepalanya masih tergolong ringan karena hanya di bagian luar saja, tidak sampai mengoyak tempurungnya, kepadatan tulang tengkoraknya cukup bagus. Sedangkan untuk tulang punggung atas dan leher, mengalami memar dan cedera akibat benda berat menimpanya dengan keras,” jelas dokter.
“Lalu kapan dia bisa pindah ke kamar pasien?” Tanya Pak Mo.
“Besok pagi,” jawab Dokter. “Tapi harus selalu ada yang menemani, untuk terus memantau perkembangan cedera kepala yang dialami. Tadi dia tidak pingsan juga tidak muntah, insya Allah kondisinya akan membaik setelah beristirahat.”
“Terima kasih, dok,” kata Azura. Kemudian dokter itu segera pergi.
“Dira,” panggil Jafar,
“Iya, Hei, kef halak (apa kabar?)”
“Kher, alhamdulillah (baik, alhamdulillah),” jawab Jafar.  “Mumkin natahaddats lahdhoh? (bisa bicara sebentar?),” Jafar mengajak Dira membicarakan perihal administrasi dan asuransi jiwa yang diberikan oleh perusahaan dikarenakan kecelakaan kerja yang menimpa Ai. Perusahaan akan menanggung semua biaya pengobatan, tentu saja itu sudah semestinya diberikan, namun karena perusahaan juga tak mau rugi, ada kemungkinan kontrak kerja akan dibicarakan lagi, jika terjadi cedera parah yang menyebabkan tergangguanya kinerja Ai.
“Untuk sekarang saya tidak bisa memikirkan apa-apa, beri kami jeda waktu sampai atasan saya pulih,” kata Dira, sambil menahan kesal pada Jafar.
“Iya, tentu saja. Sebenarnya sejak awal saya kurang setuju dengan Mister Khalid terkait kerja sama ini,” komentar Jafar, menyakitkan.
“What do you mean?”
“Melibatkan perempuan dalam proyek pembangunan, bahkan melindungi diri sendiri saja mereka gagal,” kata-kata Jafar itu membuat Dira semakin kesal.
“Silakan pulang, sesegera mungkin saya akan memberikan jawaban kesanggupan melanjutkan kontrak,” balas Dira, sambil berusaha membuang muka dari Jafar.
Masih dengan perasaan kesal Dira pergi mengambil air minum dari dispenser yang tersedia.
“Saya senang kamu sudah kembali,” kata Pak Mo, menyapa.
Dira tersenyum lalu berkata, “Pak Toha apa kabar, pak? Sudah pulang?”
“Besok dijadwalkan pulang. Eee malah Mbak Ai nya masuk rumah sakit,” komentar Pak Mo.
“Iya, ya. Tapi Pak Mo kan bisa temani Pak Toha di rumah, biar saya yang jaga Mbak Ai di sini, kan ini pekerjaan saya,” kata Dira.
“Kamu tidak menyesal kembali bekerja sama Mbak Ai?” Tanya Pak Mo. Dira hanya tersenyum ambigu membalas ucapan Pak Mo itu.
“Pak, saya temui Pak Toha besok saja, ya,” kata Dira. Lalu keduanya berjalan ke arah berlawanan. Pak Mo ke kamar Pak Toha, dan Dira kembali ke ruang tunggu ICU.

Keinginan untuk menetap dan kemauan untuk kembali.
Terkadang ada banyak alasan bagi manusia untuk hanya mensyukuri.
Tanpa perlu merasa tersakiti.
Tanpa perlu membicarakan segala sesuatu yang terlihat manusiawi.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang