Titik terendah ku

32 4 2
                                    

Sudah 6 bulan aku mengenalnya. Semakin aku mengenalnya, rasa itu semakin terang - terangan hadir. Kadang menyakitkan kadang membahagiakan.

Setiap sikap, atau apapun yang ku ketahui darinya semakin membuat ku mengagumi atau bahkan semakin membuat ku mencintainya.

Aneh tapi nyata, untuk pertama kalinya aku mencintai orang yang belum pernah ku temui, belum pernah bertatap muka secara langsung.

Tapi akhir - akhir ini sikapnya berbeda.

Dia menjadi lebih dingin dan semakin menjauh dariku. Dan yaa sikapnya itu sukses membuatku terluka, berkali-kali negatif thinking muncul dipikiran ku tentangnya.

"Apa kah dia sudah mempunyai seseorang? Atau dia sudah mencintai seseorang yang dia pilih? Apa aku melakukan kesalahan?" beberapa pertanyaan itu muncul di kepalaku terus menerus, datang menghantui tanpa ku ketahui jawaban dari pertanyaan itu semua.

Terjaga di sepanjang malam, memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi, sampai tak terasa air mata sudah jatuh membasahi pipi.

Aku mencoba berfikir positif, mungkin dia sedang sibuk. Tapi tetap saja pikiran negatif ku mengalahkan itu, tetap hadir dan semakin menjadi.

Kringg...kringg... ponsel ibu berbunyi. Tanpa basa-basi aku langsung mengangkatnya.

"Assalamualaikum, halo," ucap bibiku.

"Waalaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa bi?" tanyaku.

Bibiku terdiam cukup lama, dengan nafas berat dan tangisan, bibiku menguatkan diri untuk berbicara kepadaku.

"Ibu mana?" tanyanya setelah cukup lama diam.

"Ibu lagi kepasar bi, ada apa? Bibi ko nangis?" tanyaku kembali.

Tangis bibiku tak bisa di tahan lagi, dia menangis. Aku yang kebingungan, bertanya - tanya apa yang terjadi mencoba menenangkan bibiku.

"Bii, istighfar, tarik nafas, tenangin dulu baru ngomong ya bii," ucapku mencoba menenangkan.

"Abah... Abah Ra," ucapnya sambil masih menangis.

"Iya.. abah kenapa?" tanyaku mencoba untuk tetap tenang.

"Abah meninggal Ra," ucapnya sambil menangis sejadi-jadinya.

Aku hanya terdiam, saat itu rasanya sekujur tubuhku lemas, aku duduk menyender di tembok sambil menangis tak percaya.

"Tadi jam 10 Ra, meninggal di rumah sakit," ucapnya lagi.

Aku tak mampu berbicara apapun, aku hanya diam mendengarkan bibiku berbicara sambil menangis.
Ibu membuka pintu rumah, langsung menghampiri ku yang sedang menangis sambil memegang ponsel di tanganku.

"Raa, kamu kenapa hah?!" tanya ibu panik, sambil mencoba menghapus air mataku.

Aku langsung memeluk ibu, menangis sejadi-jadinya sambil memberikan ponsel.

"Halo, kenapa ini si Ira sampe nangis gini?" tanya ibu bicara di telepon sambil tangannya mengusap-usap punggung ku.

"Si Abah meninggal," ucap bibiku masih dengan tangisan.

Badan ibu menjadi lemas mendengar nya, air matanya mulai mengalir membasahi pipinya.

Aku berusaha menahan tubuh ibu, mendudukkan ibu disampingku dan mendekap ibu sangat erat. Tangisan kami memenuhi seisi rumah.

"Telpon ayah nak, ibu ga kuat ngomong," ucap ibu dengan suara lemas.

"Iyaa Bu," ucapku singkat.

Antara Cinta dan Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang