Chapter 2

575 49 1
                                    

"Kau lebih baik sekarang?" tanya Mean setelah akhirnya Plan mengangkat kepalanya dan mengusap sisa air matanya di pipi.

"Kau jelek sekali! Lihat hidungmu merah seperti badut," kata Mean mencoba menghibur. Plan terkekeh sebentar.

Ia mengambil tisu dari tangan kiri Mean sebab tangan kanan Mean memegang Hp dan mengarahkan kepadanya.

Mereka kembali ke mobil dan Plan masih membersihkan wajahnya.

"Ada apa sebenarnya?" tanya Mean lagi. Ia belum puas dengan jawaban dari Perth dan Yacht.
Insting pengacaranya mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perebutan apartemen mereka yang sangat mewah itu.

"Joss mengambil alih hak apartemenku," jawab Plan pendek.

"Aku tahu itu. Tapi, kurasa bukan itu yang membuatmu mengalirkan air mata, bukan? Kau bukan seorang pemburu materi. Aku tahu, Plan. Ayolah! Kita berteman sudah lama!" Katakan, ada apa?" tanya Mean lagi dengan tatapan mata yang teduh.

Mean benar. Plan bukanlah seorang pemburu materi. Ia tak peduli ia tak mendapatkan apapun harta gono gini meski itu artinya ketidakadilan atau ia kehilangan banyak uang. Ia jarang mempersoalkan masalah itu. Prinsipnya adalah bahwa kebahagiaan dirinya sama sekali tak berkaitan dengan uang.

Plan diam. Ia mengatur napasnya sebelum ia bersuara lagi.

"Dua hari yang lalu aku kembali ke apartemen untuk mengambil beberapa dokumen, tapi kode rumah sudah diganti dan aku melihat foto pernikahan kami sudah hangus setengah dibakar di tempat sampah. Aku tak bisa masuk. Jadi, aku menghubungi Joss, ia tak angkat. Lalu aku pergi ke pengawas apartemen dan mereka tak bisa membuka sebab apartemen itu sudah atas nama Neena," suara Plan tercekat. Air matanya mengalir lagi.

Mean terkejut saat mendengar cerita Plan dan ia menganggap bahwa Joss lebih dari sekadar menyebalkan.

Plan mengambil tisu dan mengusap air matanya yang tidak berhenti mengalir.

"Aku menunggu mereka di lobi dan mereka datang dan Neena tengah hamil," sahut Plan lagi di sela-sela tangisannya.

"Aku masih bisa menahannya, tapi aku tak bisa menahan saat Joss bilang kepadaku bahwa aku mandul. Delapan tahun kami menikah dan kami masih belum dikaruniai keturunan," ujar Plan. Dan ia kemudian menangis keras.  Wajahnya ia tutupi dengan kedua tangannya yang mungil. Air mata mengalir dari sela tangannya itu.

Mean mengepalkan tangannya. Ia benar-benar marah saat mendengar cerita itu. Dia tak banyak pikir, melajukan mobilnya ke apartemennya dan Plan kaget saat ia sadar bahwa dirinya ada di halaman apartemen Mean.

"Kenapa kita ke sini?" tanya Plan sambil mengusap air matanya.

"Kutemani kau minum sepuasnya," ujar Mean. Plan tak merespons. Ia turun dari mobil dan mengikuti Mean memasuki apartemennya.

Tak lama kemudian, ia sudah menjatuhkan dirinya di sofa biru di ruang tengah dengan satu kaleng bir di tangannya.

"Kenapa aku selalu jatuh cinta kepada orang yang salah? Aku tak akan jatuh cinta lagi. Aku tak akan menikah. Kurasa bahagiaku sendiri saja. Semua lelaki brengsek!" racau Plan dalam mabuknya. Air matanya tak berhenti mengalir.

Beberapa jam sudah berlalu. Belasan kaleng bir kosong sudah berhasil membuat kepala Plan pusing. Mean mengambil kaleng-kaleng kosong itu dan membawanya ke tempat sampah di dapur.

Ia kembali dan mendapati Plan sudah tertidur lelap di sofanya. Mean diam sejenak, duduk di depannya dan mengamatinya selama beberapa waktu. Beberapa kali, Plan bergerak, mengganti posisi tidur dan kemudian mengigau, memaki Joss atau menangis sambil bilang 'apa salahku?'.

Mean terenyuh. Selama berteman dengan dirinya, Plan adalah orang yang sangat antusias. Ia memang diam, tetapi ia sangat pekerja keras dan rajin. Gaya hidupnya senada dengan cita-cita hidupnya yang sederhana. Kalau Mean lihat dengan saksama, ia harus akui bahwa perempuan yang berlabel teman itu sebenarnya sangat imut. Tentu orang akan sulit mengetahui dia cantik sebab ia hampir tak pernah berdandan. Tak seperti kekasihnya, Jida yang biaya kosmetiknya  dan perawatan kecantikannya saja hampir menguras seperempat gaji Mean.

"Plan, kau mau pulang?" bisik Mean di telinga Plan.

"Mmmmph," desah Plan halus.

Beberapa Mean membangunkan dan hasilnya sama. Akhirnya, ia memutuskan untuk menggendong Plan ala pengantin dan membawanya ke kamarnya. Ia membaringkan Plan di atas ranjangnya dan kemudian duduk di sebelahnya.

Mean kaget sebab tiba-tiba air mata Plan mengalir dari mata yang terpejam itu. Ia tersedu.

"Tak bisakah kau memberiku satu orang yang baik, Tuhan? Aku tak meminta lebih," sahut Plan, mengigau.

Mean tersentak kaget. Secara refleks tangannya menjulur ke pipinya dan mengusap air matanya. Plan tersenyum. Ia mengambil tangan Mean dan memegangnya erat.

"Pho, aku sangat merindukanmu," suara Plan terdengar sangat sedih.

"Plan, ini aku," sahut Mean sambil menelan ludah. Ayah Plan sudah lama meninggal. Dan Mean serta yang lainnya tahu bagaiamana kedekatan Plan dengan ayahnya itu.

Entah apa yang terjadi pada diri Mean malam itu. Tubuhnya gemetar dan entah kenapa hatinta begitu sakit melihat temannya dalam keadaan seperti ini. Ia mendekatkan tubuhnya dan entah apa yang mendorongnya untuk melakukan itu, tapi ia mendaratkan bibirnya di kening Plan lembut dan bibir itu perlahan berangsur mundur ke bawahnya mencium ujung hidung Plan dengan lembut dan berakhir dengan mengecup bibir Plan hangat.

"Meaan!" Plan membuka mata.

Mean tersentak kaget. Dengan cepat ia beranjak. Namun, Plan menarik lengannya membuat Mean berhenti dan ia kemudian menoleh pelan dengan ekspresi di wajah yang berkecamuk.

"Jangan tinggalkan aku!" lirih Plan sambil menatap Mean sedih.

Mean membelalakkan matanya. Sejenak mereka masih pada posisinya. Tapi, tak lama kemudian mereka sudah berada di atas ranjang berciuman dengan intens dan dalam.

Bersambung





STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang