Chapter 6

459 46 6
                                    

Plan terbangun karena suara Hpnya yang tak berhenti bergetar. Ia merogoh saku roknya dan melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Mean.

Plan tak menghiraukan panggilan di HPnya. Dengan segera, ia memasukkannya ke dalam tas jinjingnya kemudian bergegas kembali ke dalam mobil. Ia tak langsung pulang. Mobilnya ia parkir di sebuah salon dan sambil staf penata rambutnya mengurusi rambutnya ia berpikir dan akhirnya sampai pada sebuah keputusan.

Ia akan berbicara tentang hal ini kepada Mean. Terbuka lebih baik daripada menyimpulkan sendiri. Ia juga akan berbicara tentang komunikasi mereka di ranjang dan ini demi keutuhan pernikahan mereka dan kesehatan bayi mereka.

Plan memarkirkan mobilnya di garasi dania berjalan menuju lobi dan kaget mendapati Mean berdiri menunggunya di sana dengan wajah cemas.

"Kau memotong rambutmu?" Mean kaget melihat Plan dengan rambut gaya baru.

"Uhm, kandunganku semakin besar, jadi panas," jawab Plan pendek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Uhm, kandunganku semakin besar, jadi panas," jawab Plan pendek.

"O, begitu. Kau belanja apa?" tanya Mean lagi.

Mereka memasuki lift.

"Beberapa barang dan makan malam. Aku tak akan sempat memasak, jadi kupikir membeli lebih cepat," sahut Plan lagi.

Mereka sampai di apartemen mereka. Mean langsung membawa makanan ke dapur dan menyiapkan makan malam.
Sementara Plan membenahi barang-barang yang ia beli tadi siang.

"Aku meneleponmu berkali-kali dan kau tak angkat. Aku sangat khawatir padamu," ujar Mean.

Mereka duduk berhadapan di meja makan.

"Aku tadi belanja dan HP di tas," jawab Plan bohong.

"Uhm," guman Mean.

"Kalau kau tak lelah, malam ini aku ingin bicara denganmu sebentar," ujar Mean. Plan diam sesaat. Pikirannya kembali pada kejadian tadi siang.

"Okay," sahutnya, akhirnya merespons Mean dengan harapan ia akan mengklarifiksi hal yang terjadi.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Plan. Mereka berada di ruang tengah duduk bersebelahan.

"Begini," sahut Mean memulai.

Plan diam mendengarkan.

Mean menjelaskan bahwa akhir-akhir ini ia akan sangat sibuk sehingga mungkin ia tak akan punya waktu untuk menjemputnya atau mengantarnya dari dan ke tempat kerja. Ia juga mungkin akan sangat jarang pulang.

Plan tahu benar pernyataan seperti itu. Kata-kata yang sama yang Joss lontarkan beberapa tahun yang lalu saat ia mulai menjalani hubungan gelapnya dengan Neena.

Hati Plan lemas. Mungkin memang kisah mereka tak pernah tertulis di satu tempat di langit sana. Ini salah Plan juga. Hubungan pernikahan mereka yang baru berjalan lima bulan itu tak semanis yang orang pikirkan. Dan Plan juga yakin, Mean masih menyimpan perasaan untuk Jida.

Mereka berhubungan sudah sangat lama. Jika dibandingkan dengan hubungan romantisnya dengan Plan, tentu saja tidak ada apa-apanya. Bahkan mereka belum memulainya.

Plan menarik napas panjang. Ia tak mau lagi tenggelam ke dalam lubang yang sama. Dan memang ia pikir inilah yang terbaik.

"Ayo kita bercerai, Mean," sahut Plan tiba-tiba.

"Apa?" Mean tersentak kaget.

"Aku melihatmu tadi siang dengan Jida di mal. Aku menunggu kalian di luar hotel selama dua jam dan meskipun aku tak bisa melihat dengan kepalaku sendiri atau bahkan membuktikan tentang yang kalian lakukan di dalam, aku akan tetap merasa tidak tenang seumur hidupku. Aku tak sanggup lagi untuk mendengar kata-kata yang sama yang Joss lontarkan kepadaku dari mulutmu. Terlebih, kau adalah temanku. Yang kau katakan kepadaku baru saja adalah pernyataan yang Joss katakan kepadaku saat ia memulai hubungannya dengan Neena. Aku tak mau mencurigaimu dan aku ingin kita mempertahankan pertemanan kita." Plan menjelaskan panjang lebar.

Mean hanya menganga. Ia diam tak berdaya. Yang dikatakan Plan benar. Hatinya galau. Ia masih mencintai Jida, tetapi juga menyayangi Plan.

"Kau tak perlu bingung. Anak ini apapun yang terjadi akan aku besarkan dan aku pastikan kau boleh melihatnya kapan saja kau mau. Dia akan punya nama keluargamu jika kau menginginkannya," sahut Plan.

Mean masih tak menjawab.

"Sebaiknya kita segera urusi saja. Aku tak mau ini bertele-tele. Seperti yang sudah kita janjikan sebelumnya, kalaupun hubungan ini tak akan berhasil, kita akan berpisah dengan baik dan kita akan tetap menjadi teman." Plan menyimpulkan.

"Aku tak bisa menceraikanmu. Jika orang tuaku tahu, mereka pasti akan murka," ujar Mean.

"Kalau begitu, kau bisa pelan-pelan melakukannya. Untuk sementara ini, kita pisah rumah saja. Aku akan kembali ke rumah ibuku. Aku akan bicara dengannya soal kita. Mae pasti mengerti. Kalau kau sudah siap, kita bisa bicara kepada orang tuamu." Plan beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju kamar. Air matanya sudah memaksa untuk keluar tapi ia menahannya.

"Plan," sahut Mean dengan suara yang agak keras. Plan menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan tersenyum.

"Apa?" sahutnya.

"Maafkan aku," ujar Mean dengan nada menyesal.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Bukankah kita sudah berusaha," ujar Plan sambil menahan senyumnya.

Ia kemudia menoleh dan wajahnya kembali murung dan kemudian memasuki kamar.

Keesokan harinya, Plan membereskan semua barangnya. Dan dalam waktu tiga hari mereka sudah selesai pisah rumah.

Teman-temannya sudah tahu dan tentu saja sangat menyayangkan. Namun, mau bagaimana lagi. Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali mendukung keputusan keduanya.

Semuanya kembali pada kebiasaan. Kecuali Plan, semuanya masih sering di klub nongkrong  dan minum. Mean dan Jida juga sesekali berada di sana.

Sudah dua bulan berjalan. Perut Plan semakin besar. Ia memeriksakan kehamilannya sendiri. Mean tidak pernah menemaninya. Itu permintaan Plan. Namun, Plan sering mengirim berita hasil pemeriksaan, jadi, Mean tahu yang terjadi.

 Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersambung

STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang