Chapter 12

456 44 2
                                    

Mean koma selama enam bulan, padahal para dokter berhasil mengeluarkan semua pelurunya.
Jida ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, sebab saksi melihatnya menembak dan semua bukti memang memberatkannya.

Plan sudah melahirkan anak kembar dan hampir setiap hari datang ke rumah sakit melihat Mean, tapi ia tak bisa menungguinya karena kondisi dirinya yang baru melahirkan.

Karena hal ini pula, Plan membatalkan menerima pekerjaan di Jepang. Ia sudah tahu apa yang akan dia lakukan dengan hidupnya, khususnya yang berkaitan dengan Mean.

Suatu hari, Mean membuka matanya. Itu pada suatu malam sekitar pukul delapan dan Plan tak ada di sisinya sebab ia sudah pulang sejak sore hari. Yang pertama kali ia lihat adalah ibunya dan ayahnya yang wajahnya sumringah karena pada akhirnya anaknya terbangun dari tidur lamanya.

"Pho, Mae," suara Mean dengan lirih. Ayah dan ibunya hanya mengembangkan senyuman sambil menganggukkan kepalanya.

Mean menatap langit-langit kamar dan pikirannya kembali pada kejadian penembakan di depan lobi hotel itu. Ia meneguk ludah dan kemudian mengamati keadaan dirinya sebelum menatap ayah dan ibunya seolah meminta jawaban.

Ayahnya yang paham langsung menjelaskan, bahwa ia selamat dari penembakan, koma selama enam bulan, dan sekarang baru siuman. Ayahnya juga menjelaskan bahwa Jida, sang pelaku sudah ditangkap dan sekarang ada di dalam penjara.

Mean menganggukkan kepalanya. Ia kemudian mengamati sekelilingnya seolah mencari sesuatu atau mungkin seseorang.

"Plan," lirih Mean.

Ibunya yang angkat suara. Ia mengelus kepala Mean lembut.

"Ia tidak apa-apa. Ada di rumah. Ia tak bisa menunggumu di sini. Dee dan Tee membutuhkannya," sahut  ibunya.

"Dee dan Tee!" Mean berpikir dan wajahnya kemudian dipenuhi dengan ekspresi sedih dan kecewa.

"Mae, Plan sudah melahirkan?" tanya Mean lagi, memastikan.

"Iya, sudah. Anak-anakmu sudah berusia lima bulan sekarang. Kau mau melihat mereka. Wajahnya mirip dengan kalian," sahut Mae Mean dan memperlihatkan sebuah foto di hpnya.

Mean tersenyum. Ia bangga dan juga bahagia. Kedua anaknya sangat tampan dan sehat. Semuanya sempurna, kecuali satu hal, bahwa ia sudah ingkar janji kepada Plan.

"Dokter akan memeriksamu. Mae tinggal dulu, ya!" sahut ibunya saat melihat dokter dan dua perawat memasuki ruangan.
Mean menganggukkan kepalanya.

Orang tua Mean keluar dan mereka langsung mengabari semuanya bahwa Mean sudah siuman. Plan sangat bahagia. Keesokan harinya, ia pergi ke rumah sakit dengan kedua anaknya dan saat ia memasuki ruangan, Mean tengah duduk bersandar pada badan ranjang.

"Meaaan," teriak Plan sambil berlari menuju padanya dan memeluknya. Mean menoleh saat mendengar suara perempuan yang selalu ia rindukan dan tersenyum dan ia juga memeluknya dengan erat.

"Alu bahagia kau kembali hidup," ujar Plan sambil tersenyum. Mean menatapnya lembut.

"Rambutmu sudah panjang," ujar Mean sambil membelai kepala Plan.

"Eh? Kenapa berbicara tentang rambut. Itu tidak penting," ujar Plan.

"Semua tentangmu penting untukku," ujar Mean lagi. Wajah Plan langsung memerah dan ia diam.

"Iya, tentangmu juga sama," sahut Plan pelan.

Mean tersenyum. Ia memegang tangan Plan dan menggenggamnya erat.

"Maafkan aku!" sahut Mean lagi.

"Kenapa?" tanya Plan.

"Aku ingkar janji. Aku tak bisa menemanimu bersalin," ujar Mean lagi dengan nada menyesal.

"O, iya. Aku marah. Lain kali saat aku melahirkan lagi, apapun alasannya, kau harus menemaniku," ujar Plan, nadanya agak bersungut.

"Lain kali? Hah? Apakah itu artinya kau memaafkan dan menerimaku kembali?" Wajah Mean sumringah.

Plan tersenyum sambil menunjukkan cincin pernikahan mereka.

Mean tersenyum. Ia menangkup wajah Plan dan menciumnya. Mereka berciuman hangat dan mesra dan kemudian berpelukan lagi.

"Di mana anak-anak? Aku ingin melihatnya," sahut Mean setelah mereka melepaskan ciuman.

"Aku tak bisa membawanya. Ini rumah sakit. Aku khawatir," ujar Plan.

"Aku paham. Aku akan segera pulang dan menggendong mereka. Aku berjanji aku tak akan membuat kalian kecewa. Aku akan menjadi satu orang baik seperti ayahmu kepada ibumu, na!" sahut Mean lagi sambil tersenyum.

"Uhm, terima kasih," sahut Plan.

"Aku sangat merindukanmu," sahut Mean sambil memeluknya lagi.

"Uhm, aku juga," lirih Plan.

"Nagaku juga," bisik Mean.

"Dasar mesum!" Plan mengerling dan mengusak rambut Mean dan keduanya kemudian terkekeh.

***
Lima tahun sudah berjalan dan mereka kini tinggal di sebuah rumah yang mereka beli di dekat pusat kota.

Plan melambaikan tangannya saat Mean melajukan mobilnya ke depan lobi hotel. Plan memasuki mobil dan kaget sebab Mean hanya sendirian.

"Dee dan Tee tidak ikut menjemputku?" Wajah Plan agak kecewa. Si duo bawel nan imut anak mereka itu adalah salah satu penghibur dirinya di kala lelah.

Ayah dan ibu membawa mereka menonton pertandingan basket

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayah dan ibu membawa mereka menonton pertandingan basket.

"Eh, bukannya itu minggu depan?" tanya Plan sambil berpikir.

"Iya, ibu dan ayah salah jadwal. Tadi saja anak-anak tidak mandi karena khawatir terlambat," ujar Mean lagi.

"Uhm, baiklah!" sahut Plan.

"Mereka menginap di rumah Mae dan Pho. Tidak apa-apa, na!" sahut Mean lagi.

"O, mereka terlalu sering merepotkan nenek dan kakek. Itu tidak bagus," ujar Plan.

"Aku paham, tapi aku juga ingin punya waktu denganmu, uhmm. Sudah waktunya mereka punya adik," sahut Mean lagi sambil melirik ke arah Plan dan tersenyum menggoda. Plan hanya mengerling. Ia tak merespons.

"Kalau kau siap dengan perubahan suasana hatiku saat hamil, aku mau punya anak lagi," sahut Plan.

"Itu urusan nanti. Sekarang kita berusaha saja dulu, membuatnya, na!" ujar Mean lagi-lagi senyum nakal.

"Kau pasti sudah merencanakan sesuatu," sahut Plan sambil memicingkan matanya.

"Kau akan tahu," sahut Mean lagi sambil tersenyum.

Bersambung

STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang