Chapter 9

440 48 3
                                    

"Ngghh, mmmmph, aaa, Meaan, pelan-pelan," desah Plan saat Mean menyodoknya terlalu kencang. Ingin Mean juga begitu. Tapi apa mau dikata. Ia terlalu merindukan mahluk dengan keindahan yang sempurna itu. Bahkan suara lenguhan dan cara ia memanggil namanya saat mendesah membuatnya semakin tak bisa mengontrol dirinya terlebih naganya.

"Mmmph, Plaaan, nnnngh, enaak sekali. Aku sangat merindukan ini, Plaaan, Baby Plaaan," desah Mean panjang sambil mencium pucuk kepala Plan dan menghentakkan naganya di lubang Plan.

Plan agak merinding dibuatnya. Desahan itu mengingatkannya pada sebuah kejadian saat Mean bermain solo dulu. Desahan dan racauan yang sama yang akhirnya bisa Mean wujudkan pada orangnya.

Mereka masih pada posisinya saling menyuarakan lenguhan dan desahan dalam permainan lima babak. Mean tak sanggup melanjutkan bukan karena ia tak mampu melainkan karena melihat Plan yang sudah kelelahan. Ia tengah hamil besar. Usianya delapan bulan sekarang.

Mereka tidur berpelukan dengan posisi Plan memunggungi Mean. Keduanya berbagi kehangatan. Jelas ada rasa cinta dan sayang di antara keduanya, meskipun tak terungkapkan oleh serangkaian kata-kata.

Mean bangun tengah malam. Ia menuju kamar mandi dan kembali setelah beberapa saat. Ia kembali ke ranjang dan menatap Plan yang kini posisinya menghadap kepadanya. Perutnya buncit tapi a terlihat sangat cantik dan bersinar. Plus karisma seorang perempuan yang hamil memang akan memancarkan aura kecantikannya secara alami dan itu bawaan sang bayi.

Mean duduk menatapnya. Ia mengelus kepalanya pelan dan kemudian mengecup kening Plan hangat dan itu membuat Plan terbangun.

"Ada apa?" lirihnya. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya.

"Tidak ada. Aku rasa aku jatuh cinta kepadamu, Plan," sahut Mean lagi dengan lancar. Plan membelalakkan matanya. Ia mengernyitkan alisnya.

"Aku ingin melanjutkan pernikahan kita. Apakah terlambat jika aku mengatakan ini?" tanya Mean.

"Meaaan," lirih Plan. Ia bangkit dari tidurnya dan duduk berhadapan dengan Mean.

"Jangan begini. Kalau sikapmu seperti ini, pada akhirnya kita semua akan terluka. Kau, aku, dan Jida. Aku tak mau ini berakhir buruk," ujar Plan sambil menatap Mean lembut. Tangannya mengambil tangan Mean dan menggenggamnya. Ia menatap Mean lagi yang menatapnya dengan sedih.

"Sejujurnya, aku mencintaimu, bukan sebagai seorang teman, tapi sebagai seorang wanita. Selama lima bulan pernikahan, aku tahu yang kau lakukan tengah malam di kamar mandi dan aku merasa bersalah kepadamu untuk itu," ujar Plan menjeda. Wajah Mean kaget dan juga memerah saat Plan membicarakan hal itu.

"Selama lima bulan itu pula, aku mencoba membangun komunikasi itu denganmu. Aku juga membutuhkannya, tapi aku terlalu malu dan takut untuk meminta meski kita punya hak dan kewajiban untuk itu. Tapi, aku sadar kuta tak bisa memaksakan cinta dan kau sudah pilih jalanmu. Aku memilih jalan ini karena aku tak mau kehilanganmu sepenuhnya. Setidaknya kalau aku tak bisa mencintaimu sebagai istri, aku bisa berdiri di sampingmu sebagai teman. Itu pikiranku," terang Plan.

Mean diam dan hanya menatapnya. Ia kini memahami bagaimana Plan mencoba mempertahankan hubungan mereka.

"Aku bahagia kau memintanya malam ini. Aku juga sangat merindukanmu dan juga sangat menginginkanmu. Kau masih punya hak atas aku karena aku masih istrimu. Tapi, kita juga sudah bersepakat untuk berpisah dan ini yang terbaik untuk kita," sahut Plan akhirnya.

"Aku ingin memperbaikinya. Bisakah kita memulai lagi dari awal?" Nada Mean memohon.

"Bukankah itu juga yang Jida minta kepadamu dan kau memberikannya padahal kau tahu kau sudah memulainya denganku. Aku tak bisa dan tak akan menerimamu dengan sikapmu yang seperti ini. Jangan dorong aku untuk membencimu seperti halnya kepada Joss dan pada akhirnya aku bahkan tak bisa menjadi temanmu. Kita sudah bicarakan ini, bukan? Kita akan mengakhirinya dengan baik," ujar Plan lagi mengelus wajah Mean dengan lembut.

"Aku tak mungkin melupakanmu," ujar Mean dengan air mata yang mengalir.

"Aku juga tak mungkin melupakanmu, apalagi ada anak kita, uhm! Tapi pelan-pelan saja, aku yakin pada akhirnya kita bisa melakukannya," sahut Plan lagi sambil mengusap air mata Mean.

Jangan kira hati Plan gak hancur saat ia mengutarakan hal itu sebab yang sebenarnya ia ingin berteriak kepada Mean untuk meninggalkan Jida dan tinggal bersamanya. Mau bagaimana lagi? Memaksa bukan cara yang baik dan Plan sudah siap kehilangan Mean. Setidaknya ia sudah tahu bahwa ia pasti kalah dalam pertarungan itu.

"Plaaan, aku tak sanggup meninggalkanmu. Aku mencintaimu," sahut Mean sambil memeluknya.

"Kau sudah menetapkan pilihan. Aku tak akan membuka hatiku lagi untukmu. Memikirkan kau menidurinya saja atau hanya mencium bau parfumnya saja di tubuhmu sudah membuatku sakit. Aku tak sanggup membagimu dengan yang lain, Mean. Meski kau memilih aku tapi di dalam hatimu masih ada dia, aku tak bisa menerimanya. Ke depannya akan ada banyak masalah untuk kita. Karena itu, aku memilih melepaskanmu. Aku hanya mau satu lelaki baik yang memberikan hatinya hanya untukku seperti Pho kepada Mae," sahut Plan.

"Tidurlah! Kau sudah tahu yang harus kau lakukan," sahut Plan sambil mengelus punggung Mean.

Mereka kembali merebah dan masing-masing berusaha untuk memejamkan matanya.

Bersambung

STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang