Chapter 4

505 46 4
                                    

Tiga bulan sudah berjalan sejak kejadian itu. Mereka memilih untuk tak mengangkat isu itu ke permukaan. Saat bertemu untuk minum dan nongkrong sikap mereka akan biasa atau mereka mencoba bersikap sangat biasa seolah malam itu tak pernah terjadi.

Terlebih, akhir-akhir ini Mean sepertinya tak peduli dan lebih banyak memfokuskan dirinya pada Jida. Jida sudah pulang dan seperti biasanya, ia pasti akan ikut dengan Mean saat minum dan nongkrong. Itu lebih baik untuk Plan setidaknya sekarang ia bisa lebih biasa.

Suatu hari, Jida mengundang mereka ke pembukaan butiknya yang baru. Mereka semua datang dan setelah selesai mereka memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran Jepang.

Beberapa makanan yang dipesan datang. Plan duduk tepat di sebelah Sammy dan Mean duduk di depan Sammy. Jida dan Plan duduk tepat berhadapan. Yang lainnya duduk bertebaran di antara mereka dan jelas berpasangan.

"Plan, aku pesankan makanan kesukaanmu," ujar Jida jadi sambil tersenyum.

"Eh, apa itu?" tanya Plan lagi.

"Kau akan tahu," ujar Jida sambil tersenyum lagi.

"Kenapa hanya Plan? Aku bagaimana?" tanya Sammy.

"Kau tak sedang berduka. Plan baru selesai perceraiannya dengan Joss. Jadi, aku ingin menghiburnya," sahut Jida.

"Ah, tidak adil," ujar Sammy dengan nada protes.

"Wah, kau perhatian sekali, terima kasih ya," ujar Plan. Entah kenapa, ia merasa mual saat beberapa aroma makanan datang menyambangi hidungnya.

"Kau tak apa-apa, Plan?" tanya Por yang duduk di sebelah Jida.

"Hanya mual sedikit. Mungkin masuk angin," jawab Plan santai.

"Wajahmu juga pucat. Kau sadar akhir-akhir ini kau terlihat lebih kurus dan lelah," ujar Sammy.

"Itu karena pekerjaanku. Satu manager mengundurkan diri tiba-tiba dan aku harus menangani pekerjaannya. Jadi, bebanku semakin banyak." Plan menjelaskan.

"Pantas saja. Kantormu harus segera mencari pekerja baru kalau tidak akhir tahun ini kau bisa mati muda," komentar Yacht.

"Ada beberapa kandidat," jawab Plan dan ia tak meneruskan bicaranya sebab mual yang mengokupasinya dan wajahnya semakin pucat dan saat pesanan lain datang, Plan tak bisa menahannya. Ia ingin muntah.

"Ah, sial!" rutuk Plan. Dan ia berdiri sambil menutup mulutnya dan ia menunjuk toilet memberitahu kepada teman-temannya. Mean menatapnya khawatir. Baru saja Plan beberapa langkah berjalan, ia jatuh pingsan.

***
Plak!

Dua tamparan mengena pada dua pipi di tempat yang berbeda. Plan ditampar ibunya dan Mean ditampar Jida di halaman parkir rumah sakit. Tempat itu sekaligus saksi untuj perpisahan mereka sebab Jida tak bisa menerima dengan pengakuan Mean tentang ia dan Plan malam itu.

Plan duduk bersandar pada ranjang rumah sakit dan saat dokter menjelaskan bahwa anaknya tengah hamil, ibunya marah besar sebab ia tahu jelas Plan dan suaminya sudah bercerai dan ia tahu jelas siapa ayah dari bayi yang dikandungnya.

Ibunya sangat menyesalkan sikap anaknya yang ceroboh dan kini hubungan Mean dan Jida hancur gara-gara dirinya. Ibu Plan sangat tahu tentang persahabatan anaknya ini dan ia sangat berharap bahwa semuanya bisa saling mendukung dan bahagia.

Namun, kenyataannya, hidup Mean dan Jida hancur karena kecerobohan mereka berdua. Plan bahkan tak tahu bahwa Mean mengakui kepada ibunya dan Jida saat dokter mengumumkan alasan pingsan Plan dan bilang bahwa ia hamil dan dokter bertanya siapa ayah dari bayi itu dan Mean mengacungkan tangannya. 

Mean memasuki ruangan di rumah sakit itu. Ia melihat Plan yang duduk bersandar pada badan ranjang dan terlihat bingung. Ia menoleh ke arah Mean saat sadar sebuah sosok tengah berjalan menghampiri dirinya.

"Kurasa sudah waktunya kita bicara," ujar Mean sambil duduk di sebelah Plan.

"Uhm," gumam Plan sambil mengembuskan napasnya pelan.

"Malam itu kau pakai kondom, bukan?" Plan memulai percakapan dengan pertanyaan yang tak disangka oleh Mean.

Mean menganga tapi ia kemudian menganggukkan kepalanya.

"Okay. Jadi, seharusnya aku tak hamil, bukan?" Plan seolah tak ingin menerima kenyataan.
Mean menatap Plan dengan lembut.

"Kau tak ingin melahirkan anak ini?" tanya Mean.

"Eh? Bukan begitu! Tapi, aku merasa bersalah kepada Jida," ujar Plan pelan. Ia menundukkan kepalanya.

"Yang sudah terjadi biarkan saja terjadi. Mari kita bahas langkah ke depannya saja. Jida dan aku sudah selesai. Malam itu aku pakai kondom dan kenyataannya ada janin di dalam perutmu dan artinya kau tidak mandul, bukan?" Mean menegaskan.

Plan tersentak kaget. Ia seolah diingatkan akan sebuah pernyataan pahit dari mantan suaminya.

"Uhmmm," gumamnya.

"Kau mau menikah denganku?" tanya Mean lagi.

"Hah? Kau gila! Kita bahkan tak saling mencintai. Lihat yang terjadi kepadaku dan Joss. Kami menikah karena saling mencintai  dan hasil akhirnya berantakan," ujar Plan dengan nada yang lemas.

"Dengar! Kau tak perlu sejauh itu. Aku tahu kau laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Bagaimana pun kita berteman sejak lama. Tapi, kau berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku. Yang kita hadapi saat ini adalah sebuah kecelakaan. Aku menginginkan anak ini. Aku akan menjaganya dan melahirkannya. Jangan khawatir. Aku akan menjalaninya sendiri. Kau tak perlu menjadi bagian dari ini. Lagipula ini kesalahanku," jelas Plan lagi.

"Aku tak akan meninggalkanmu dan membiarkanmu sendiri, Plan. Kita bisa melakukannya bersama. Aku tak akan ke mana-mana. Untuk cinta, kita bisa belajar untuk saling mencintai, hmmn? Semuanya perlu proses dan waktu.  Aku paham dan aku yakin kita bisa melakukannya. Menikahlah denganku, na!" Mean berbicara dengan nada yang meyakinkan. 

Plan hanya diam. Dia tak siap dengan bentuk komitmen apapun saat ini. Kehadiran sang bayi saja termasuk di luar rencananya.

"Untuk saat ini, jika kau tak mau menikahiku karena cinta, setidaknya lakukan ini untuk anak kita, na! Setidaknya mereka punya orang tua yang utuh. Na! Kumohon," nada Mean jelas tulus.

Plan paham dengan tujuan Mean dan ia tahu Mean juga lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Tapi, ia merasa tak adil kepada Mean. Malam itu jelas kesalahannya karena jika saja ia tak memmancingnya, Mean tak mungkin melakukannya.

Plan diam sejenak dan kemudian ia menganggukkan kepalanya.

"Tapi jika kau tak bahagia denganku, jangan berselingkuh dan lari dariku. Bisakah kita bicarakan ini baik-baik dan berpisah baik-baik?" Plan berkata. Jelas itu hasil dari trauma pernikajan sebelumnya.

"Berbicara bukan untuk berpisah melainkan memperbaiki hubungan kita. Aku tak pernah berniat untuk menikah lebih dari satu kali. Apakah kita bersama karena kebetulan atau karena disengajakan, bagiku keduanya baik. Aku akan berusaha untuk membahagiakanmu, hmm?" Mean tersenyum sambil mengelus kepala Plan perlahan.

"Okay," sahut Plan sambil tersenyum dan mereka berpelukan sambil menyunggingkan senyuman.

Bersambung

STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang