Chapter 7

437 48 1
                                    

Sepi menyambut Mean saat ia pulang ke apartemennya. Ia duduk di sofa menikmati secangkir kopi hangat sambil menyalakan TV.

Dia diam di depan TV. Biasanya saat ia menonton, Plan akan menghampirinya, menawarinya kudapan atau menanyakannya pakaian yang akan ia kenakan untuk esok hari kerja. Kadang-kadang ia akan bertanya tentang menu sarapan atau bahkan sepatu yang akan dikenakan.

Dia merebahkan dirinya di sofa dan memejamkan matanya. Sekilas bayangan Plan wara-wiri di rumahnya melintasi pikirannya, bahkan suaranya, memanggil namanya dengan berbagai nada dan yang khas pula mulai mengisi telinganya.

Mean sudah terbiasa dengan semua layanan yang Plan lakukan untuknya. Selama lima bulan saja, ia memahami betapa beruntungnya siapapun yang hidup bersamanya.

Itu sama halnya ketika mereka bercinta. Bukankah Mean sendiri yang bilang bahwa percintaannya dengan Plan adalah yang terbaik dalam hidupnya.

Lalu kenapa ia harus kembali kepada Jida ketika ia tahu bahwa Tuhan sudah memberikan yang terbaik untuknya. Dan orang itu akan segera hilang dari genggamannya dan itu karena kesalahannya sendiri.

Itu karena keraguannya dan hanya karena sebuah lubang. Suatu hari Jida datang kepadanya dan ingin memulai kembali hubungannya dengan Mean. Jida berpikir bahwa penjelasan Mean sangatlah masuk akal dan yang dilakukannya bisa ia maafkan sebab sebelumnya Mean tak pernah berkhianat kepadanya.

Awalnya, Mean menolaknya. Ia pikir ia harus bertanggung jawab kepada Plan dan ia tengah mengusahakan memulai komunikasi yang lebih dalam dengan Plan.

Namun, Jida terus menggodanya, terlebih ia memberikan lubangnya cuma-cuma. Siapa tak suka? Dulu, sebelumnya, Jida akan berikan Mean jatah jika keinginannya sudah terpenuhi, dan itu pun hanya dua babak maksimal. Sekarang, saat sang perempuan ini memiliki keinginannya, ia memberikannya  tanpa syarat dan berbonus pula, permainan empat babak meski Mean tak pernah bisa mencapainya, entah kenapa.

"Meaaan," suara Plan terdengar lembut. Mean membuka matanya dan melihat Plan tengah berdiri di depannya dengan perutnya yang semakin besar.

"Plan!" kata Mean dengan nada yang kaget.

"Jangan tidur di sini, nanti masuk angin. Ayo ke kamar," sahut Plan sambil menarik lengan Mean pelan. Mean membuka matanya. Ternyata itu hanya mimpi. Ia bangkit dari tidurnya dan duduk termenung di sofa. Kemudian ia menangis karena menyesal.

Mereka memang belum bercerai, tetapi sepertinya Plan sudah memutuskan. Ia terlihat sangat mantap dan tak mau membuang waktu dan Mean sangat paham dengan itu. Pengkhianatan sebelumnya dan kini dirinya memberikannya kewaspadaan dan kesigapan untuk tak bergumul lama dengan masa lalu.

Terlebih, mereka adalah teman. Plan lebih dewasa daripada dirinya. Ia tahu yang harus ia lakukan dengan cepat.

***
"Plan-san," suara seseorang dengan aksen khas Jepang memanggil Plan dari belakangnya.

Plan menoleh dan ia membelalakkan matanya, tak percaya dengan sosok yang ia lihat di depannya.

"Sota-san! Eh! Lama tak bertemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sota-san! Eh! Lama tak bertemu.  Aku sangat kaget. Sedang apa di sini?" tanya Plan dengan bahasa Jepang.

"Aku ada urusan bisnis, mewakili ayahku. Ayahku kurang sehat, jadi dia mengirimku ke sini," sahut Sota.

"Sudah berapa lama kau ada di sini?" tanya Plan lagi masih dalam kekagetannya. Mereka berbahasa Jepang.

Ia tengah memeriksa beberapa ruangan yang disewa untuk tiga acara yang berbeda dan berbicara dengan salah salah satu tim di lapangan saat Sota menyapanya.

Mereka berbicara di restoran di hotel. Sota menginap di hotel lain dan ia sengaja mendatangi Plan karena rindu dengan teman lamanya. Saat di kampus, Plan pergi ke Jepang untuk praktik magang dan di sana ia bertemu dengan Sota, anak pemilik hotel.

Sota menyukai Plan sejak lama dan ia mengejarnya. Namun sayangnya Plan tak menanggapinya karena sang Ikemen ini terkenal seseorang yang playboy.

Mereka berbicara cukup lama dan kini Sota tahu tentang kehamilan Plan yang diakibatkan kecelakaan dan ia tahu bahwa Plan tak menikah, setidaknya ia tak melihat cincin pernikahannya itu melingkar di jari manisnya.

Benar. Sota tak akan melihatnya. Plan sudah melepaskannya meskipun sangat berat. Seperti yang Mean bilang sebelumnya, Plan tak mau lagi bergumul pada masa lalu.

Sota tak menyerah. Ia masih menyukai Plan dan kesempatan besar datang kepadanya sebab ia mendengar dari Plan bahwa mulai tahun depan Plan akan dipindahkan ke Jepang dan menangani hotel di sana.

Plan mendapat tawaran dengan gaji yang sangat tinggi dan ia menerimanya. Banyak keuntungan yang ia bisa dapat dari perusahaan itu. Plus, mereka tidak mempermasalahkan anak yang akan ia bawa.

Sungguh ini adalah sebuah takdir yang luar biasa setelah Plan mengalami penderitaan yang cukup lama, ia akhirnya mendapatkan sesuatu yang baik dalam hidupnya meskipun bukan dalam bentuk seorang lelaki.

"Okay, kalau begitu kau janji temani makan siang besok ya! karena besok hari terakhirku di sini," ujar Sota lagi sebelum mereka berpisah.

Plan menganggukkan kepalanya dan mereka berpisah di depan lobi.

Bersambung

STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang