Chapter 10

466 46 2
                                    

"Mean, bangun!" sahut Plan pelan sambil menepuk lengannya pelan. Mean membuka matanya.

Sekali ia terhenyak menatap Plan yang sudah siap berangkat kerja. Kebiasaan itu kembali kepadanya. Setidaknya pagi itu ia merasa semua hal yang ia rindukan dan membuatnya bahagia kembali kepadanya.

Ia bangkit dari tidurnya dan kemudian duduk untuk beberapa saat, mengumpulkan kesadarannya.

Ia menatap Plan yang tengah menggantung bajunya di pegangan lemari dan kemudian berjalan menuju kamar mandi dengan handuk biru di tangannya.

"Aku sudah siapkan air hangat untuk mandi dan bajumu juga sudah kurapikan. Cepat mandi! nanti terlambat bekerja," sahut Plan lagi setelah keluar dari kamar mandi dan kemudian berjalan menuju pintu keluar.

"Kau mau ke mana?" tanya Mean.

"Menyiapkan sarapan. Cepat mandi, na! Aku lapar. Dee dan Tee tak akan bisa menunggu lama," ujar Plan lagi sambil membuka pintu.

"Dee dan Tee?" Mean mengernyitkan alisnya.

"Nama anak kita. Nanti kujelaskan. Sekarang mandilah dulu!" perintah Plan lagi.

"Okay," jawab Mean. Dia beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.

Mean berdiri di depan cermin. Baju dalam yang tak asing lagi sudah tersedia di sana. Kaos dsn celana dalm yang Plan pinjam dulu saat mereka bercinta untuk pertama kalinya. Ia tersenyum dan kemudian memakaianya. Ia keluar dari kamar mandi dan mengenakan pakaian kerjanya dan setelah siap ia keluar menuju dapur.

"Kau sudah siap? Duduklah. Sarapannya sudah siap," sahut Plan. Mean menganggukkan kepalanya. Ia menarik kursi dan duduk di depan Plan.

"Sandwich Tuna dan kopi. Keduanya kesukaanmu," sahut Plan sambil menunjuk pada menu yang sudah siap di atas meja.

"Kau membelinya?" tanya Mean.

"Tidak. Aku membuatnya," ujar Plan.

"O, Dee dan Tee juga menyukainya," sahut Plan sambil mengelus perutnya. Mean menatap perut Plan.

"Kali ini mereka mengalah untuk ayahnya. Mereka akan sarapan sup jagung dan yoghurt. Makanlah!" sahut Plan sambil tersenyum.

"Anak kita kembar?" Mean penasaran.

"Eh? Kau tak baca pesanku. Aku mengirimnya bulan lalu," ujar Plan lagi kaget. Mean mengernyitkan alisnya. Ia mengambil Hp dan membukanya dan hasilnya nihil.

"Tak ada," ujar Mean sambil menunjukkan pada Plan.

"Mustahil. Aku selalu mengirim hasil pemeriksaan, Mean. Bagaimanapun mereka anakmu juga," ujar Plan. Ia juga membuka linenya dan kemudian menunjukkan kepada Mean yang ia kirim.

"Lihatlah! Ini tanda kau sudah membacanya. Aku pikir agak aneh juga kau tak berkomentar, mengingat ini informasi baru untukmu. Tapi, kupikir kau sibuk, jadi aku tak terlalu mempermasalahkannya," ujar Plan lagi.

Mean diam. Ia tahu yang terjadi. Hanya Jida yang berani menghapus pesan itu sebab hanya dia satu-satunya yang berani menyentuh Hpnya. Plan saja tak pernah melakukannya.

"Sudahlah! Intinya anak kita kembar laki-laki. Jadi, aku memberinya nama Dee dan Tee. Kau ingin nama keluargamu di belakang nama mereka?" tanya Plan lagi.

"Tentu saja. Jangan tanyakan hal itu. Mereka anakku," sahut Mean.

"Baiklah! Ada yang tidak mau. Aku pernah membaca. Dee Phiravich dan Tee Phiravich," ujar Plan lagi.

Mereka menikmati sarapan pagi mereka. Setelah selesai, mereka pindah ke ruang depan dan siap ke kantor.

"Mean, buka sepatumu. Kotor sekali!" ujar Plan saat melirik sepatunya yang kotor. Padahal mereka sudah berada di teras dan siap berangkat.

"Tapi!" Mean ragu-ragu.

"Kau ini seorang pengacara. Buka dan duduklah. Aku bersihkan sebentar," sahut Plan lagi. Mean menurut dan ia membuka sepatunya.

"Kau bisa makan siang denganku?" tanya Mean lagi sambil memperhatikan istrinya yang tengah mengelap sepatunya.

"Makan siang? Hari ini?" tanya Plan sambil melirik untuk memastikan. Mean menganggukkan kepalanya.

"Tidak bisa. Aku ada janji dengan teman lama," ujar Plan.

"Teman lama? Siapa? Aku juga teman lamamu," ujar Mean sambil mengernyitkan alisnya. Nadanya terdengar menginvestigasi dan jelas aura cemburu sudah memancar dari sorot mata dan wajahnya.

"Sota," sahut Plan singkat dan memberikan satu sepatu kepada Mean dan ia mengambil sepatu yang lain untuk dibersihkan.

"Eh? Sota Fukushi? Lelaki Jepang Playboy yang mengejarmu dulu itu?" Mean menegaskan.

"Uhm," jawab Plan sambil masih asyik pada pekerjaannya.

"Kau berhubungan dengannya sekarang?" Sekali lagi Mean bicara dengan nada marah.

"Tidak. Dia sedang di Thailand karena ada urusan bisnis. Hari ini dia akan pulang, jadi, dia mengajakku makan siang. Kurasa tak ada salahnya kami makan siang. Aku juga perlu bantuannya untuk mengecek beberapa dokumen," sahut Plan menjelaskan.

"Dokumen apa?" Mean mengernyitkan alisnya.

"Ah itu," ujar Plan. Ia hampir saja keceplosan.

"Kantor. Aku berkorespondensi dengan perusahaan Jepang dan hotel akan ada kerjasama jadi aku pikir tak ada salahnya ia memeriksa dokumennya sebab semuanya berbahasa Jepang," sahut Plan sambil memberikan sepatu yang lainnya dan Mean menerimanya lalu memakainya.

"Murni hanya urusan itu?" Mean memicingkan matanya.

"Untuk saat ini, iya. Ke depannya aku tak tahu," sahut Plan.

"Eh?" Mean kaget.

"Meaan, kau janji untuk menemaniku saat bersalin, bukan?" Plan mencoba mengalihkan.

"Uhm," sahut Mean.

"Awas jangan ingkar, ya!" sahut Plan mengancam.

"Aku juga ingin menyambut anakku ke dunia," sahut Mean.

"Bagus. Pho yang baik!" sahut Plan sambil tersenyum.

Mereka berpisah saat menaiki mobil masing-masing. Bulan itu akan menjadi bulan terakhir Plan menyetir mobilnya sendiri sebab kandungannya yang semakin besar. Bahaya jika sudah besar dan ia masih menyetir.

"Aku pergi," ujar Mean.

"Uhm," gumam Plan.

Bersambung

STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang