Chapter 11

472 47 3
                                    

Suara barang-barang pecah terdengar dari dalam apartemen Jida. Siang itu, saat istirahat, Mean mendatangi Jida untuk memastikan pesan line yang dihapus dan ini berakhir dengan pertengkaran hebat dan akhirnya Mean memutuskan untuk meninggalkan dirinya.

Mean bahkan tak peduli saat Jida mengancamnya  dengan cara bereriak-teriak, akan bunuh diri jika Mean meninggalkan dirinya. Mean benar-benar tak menyangka Jida akan melakukan perbuatan tak terpuji itu padahal jelas-jelas ia sudah memintanya untuk menerima keadaan dirinya saat itu.

Mean pergi ke tempat kerja Plan dan ia menunggunya di lobi. Ia tahu bahwa Plan sedang makan siang dengan Sota dan ia akan menunggu sampai kapan pun sampai akhirnya ia kembali ke kantor.

Ia tak memedulikan luka di kening dan bawah matanya. Beberapa luka goresan juga terdapat pada tangannya. Ia duduk di salah satu  kursi di lobi sampai akhirnya orang yang ia tunggu muncul dari kejauhan tengah berjalan dan berbicara dengan sumringah dengan Si Jepang saingannya.

Mereka berhenti di depan lift dan Sota kemudian pamit dan mereka saling menundukkan kepala tanda hormat sebelum akhirnya berpisah. Plan berjalan ke arah resepsionis sementara Shota ke arah pintu luar.

Ia baru saja menerima beberapa berkas dari resepsionis saat tak sengaja menoleh ke arah kursi lobi dan melihat Mean dengan keadaannya yang menyedihkan tengah menatapnya dengan sedih.

"Meaaan! Astagaa!" Plan setengah berlari menuju Mean.

"Kau kenapa?" tanya Plan lagi sambil menuntunnya ke kantornya. Ia mengobati luka-luka Mean sambil memberikannya kesempatan untuk menceritakan yang sudah terjadi.

"Aku tak percaya Jida melakukannya. Tapi bisa saja kalau ia cemburu. Artinya, ia benar-benar mencintaimu, Mean, sahut Plan sambil menyuguhinya secangkir kopi.

Ia lalu duduk di depannya dan membereskan peralatan bekas merawat luka.

"Aku putus dengannya," ujar Mean. Plan menatapnya kaget.

"Aku selesai dengannya, meskipun ia mengancam ia akan bunuh diri jika aku meninggalkannya, aku tak peduli," sahut Mean lagi dengan nada kesal.

"Woah! Ancaman itu cukup serius, Mean! Kau harus memikirkannya dengan baik. Sekarang tenangkan saja dirimu. Setelah itu bicara lagi dengan Jida. Jika ia melakukan yang ia katakan, kau akan masuk penjara, Mean," ujar Plan.

"Hah? Apa kaitannya denganku?"  Mean mengernyitkan alisnya.

"Karena bisa saja ia menuliskan sesuatu seperti surat misalnya yang menggusurmu pada kematiannya. Ayolah kau pengacara! Pikirkan saja sendiri," sahut Plan lagi.

"Lagipula, hanya masalah sepele. Karena berita Dee dan Tee saja, bukan? Cepat atau lambat kau akan mengetahui tentang mereka dengan cara yang lain. Sudahlah! Kalau begitu, aku tak akan kirim via line, vie email bagaimana?" tanya Plan.

"Astaga! Bukan itu persoalannya. Sudahlah! Nanti aku urus," sahut Mean lagi.

"Ngomong-ngomong, kau dan Shota hanya berteman saja, bukan?" Mean bertanya lagi.

"Kenapa? Cemburu?" canda Plan sambil mengerling.

"Iya," sahut Mean.

"Tidak tahu malu," ujar Plan sambil menggedikan bahunya.

"Pulang sana! Aku masih banyak pekerjaan. Bulan depan aku cuti melahirkan, jadi harus mengerjakan banyak hal," ujar Plan.

"Tidak mau. Aku tunggu kau di sini saja. Siapa tahu Ikemen itu balik lagi dan merayumu," ujar Mean sambil mengernyitkan alisnya.

"Orang gila!" sahut Plan sambil melemparkan pulpen ke arah Mean. Mean mengelak sambil tertawa.

Plan duduk di meja kerjanya dan mulai berfokus pada pekerjaannya, membiarkan Mean duduk di sana dan mati kebosanan.

"Plan, kita mulai lagi, na!" sahut Mean setelah beberapa lama mereka asyik dengan kegiatannya.

"Aku tak terima sisa, Khun Phiravich," nada Plan sinis. Ia melirik sebentar dan kembali pada pekerjaannya.

"O, tolong berikan aku kesempatan kedua," sahut Mean dengan nada memohon.

"Aku tak mau, maafkan aku. Kalau kau mau denganku yang baru bagaimana kecuali aku mati dulu," sahut Mean lagi merajuk.

"Ya, mati dulu saja sana!" ujar Plan kesal. Ia mengerling.

Mean manyun.

"Kau benar-benar tak akan kembali?" tanya Plan setelah Mean duduk di tempat yang sama selama siang sampai akhirnya waktu pulang.

"Aku sudah bilang, aku akan menunggumu," sahut Mean. Dia memainkan alisnya.

"Terserahlah! Pusing!" nada Plan kesal.

"Aku lapar, mau makan malam bersama tidak?" tanya Mean lagi.

"Aku masih ada pekerjaan. Kau duluan saja," jawab Plan lagi.

Mean terus menggoda Plan sampai akhirnya ia mengiyakannya dan Mean tersenyum. Mereka berjalan ke arah lobi saat mendapati Jida berdiri di sana mengacungkan senapan pada Plan.

Ia menarik pelatuk tanpa ragu. Wajah yang dipenuhi kebencian tergurat jelas di wajahnya.

"Kau dulu mati, lalu aku," ujar Jida berteriak. Ia menembakkan beberapa peluru ke arah Plan, tetapi Mean menahannya dan ia terkena semua tembakannya. Seketika ia jatuh ke lantai, menyisakan teriakan dan tangisab Plan yang histeris sekaligus satpam yang menahan Jida karena beberapa tamu yang sejak tadi melihat mereka berlari melapor karena ketakutan.

Jida ditangkap dan langsung dibawa ke kantor polisi. CCTV dan beberapa saksi dibawa juga untuk menceritakan kronologi kejadian.

Sementara itu, Mean dilarikan ke rumah sakit dan Plan menemani dirinya dengan isak tangis yang tak berhenti.

Bersambung






STUCK WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang