Kedelapan • Perpisahan & Nasib

14.7K 2.3K 87
                                    

“Kenapa lo? Mukanya suntuk banget” Hyunsuk dengan susu pisangnya menghampiri teman seperjuangan bernama lengkap Mark Lee itu.

Mark melirik Hyunsuk dengan sinis, bergantian dengan memandang susu pisang yang baru mau disedotnya, “lo beli kok nggak bilang-bilang” gumam Mark.

“Eh?”

Setelah menatap susu pisang itu, Mark kembali memandang lurus. Bahkan Hyunsuk sudah menghitung dalam waktu satu menit, Mark tidak mengedipkan matanya. Mark terlarut dalam pikirannya yang melayang-layang entah kemana, “bokap, nyokap gue berantem”

Hyunsuk berhenti menyedot susu pisangnya, “biasa kali itu mah, namanya juga suami-istri. Kayak bokap-nyokap gue, masalah beli mesin cuci aja ribet, milih yang warna putih apa warna-warni”

Mark menatap Hyunsuk sinis lagi, hingga temannya itu agak bergedik ngeri. “Bokap gue katanya selingkuh, nyokap gue katanya kebanyakan boros. Apa lo masih mau bilang itu biasa?”

Hyunsuk hanya menghela nafasnya, dia sendiri belum mengerti tentang bagaimana berada di posisi Mark. Hyunsuk tak berani memberikan solusi, ketika bahkan ia belum pernah merasakan hal itu.

.





.





.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.





.





.

Bukan hanya Mark yang bisa dikatakan suntuk hari ini, tapi adiknya juga, bahkan lebih parah dari sang Kakak. Lee Jeno bahkan tidak ada niatan untuk beranjak dari kursinya, untuk sekedar ke kantin mencari makanan.

Bedanya, Jeno sendiri, tapi Mark masih ada yang menemani. Jeno memang punya teman, tapi semuanya tetap hanya sekedar teman, dan Jeno juga yang memilih menutup diri dari teman-temannya. Hidup Jeno seakan hancur pagi itu, orang tuanya, soal kepedulian, semuanya sudah tidak bisa diharapkan.

Memang bukan pertama kali Jeno mendengar bentakan-bentakan dari kedua orang tuanya, tapi kalau sudah soal pertengkaran hubungan suami-istri mereka dipertaruhkan, rasanya Jeno tidak pernah menyangka.

Hingga, pikiran tentang kedua orang tuanya mulai memudar, kini digantikan rasa pening yang membuat Jeno menarik tangannya untuk sedikit memijat dahinya. Jeno tidak tau sampai kapan ia bisa bertahan dari penyakit separah itu, tapi selama hidupnya ini belum bisa membahagiakan orang lain, maka ia akan minta pada Tuhan agar tidak mati secepat itu.

Hidup | Lee Jeno [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang