Kesepuluh • Seorang Penghancur

13.9K 2.2K 222
                                    

Jeno disana hanya bisa diam seribu bahasa, tak berani mengucapkan sepatah kata pun pada siapa saja yang tengah ia lihat kala itu. Katakan saja Jeno memang pengecut, padahal seharusnya dia marah dan kesal kepada kehancuran hubungan orang tuanya.

Di depan matanya, sang Ibu lewat di hadapannya tanpa melihat jika ada anak bungsunya disana. Chaeyoung tak acuh akan keberadaan Jeno, sekali lagi Jeno yang selalu memikirkan tentang keluarganya itu, mengalah demi keluarganya itu, harus menerima kenyataan bahwa tidak ada satu pun anggota keluarganya yang peduli padanya.

Jeno hanya bisa menunduk, ia sendiri juga bingung, kalau sudah begini ia harus bagaimana? Apakah ia masih bisa tinggal di rumah megah ayahnya itu? Apakah Lee Jeno yang tidak berguna ini masih bisa diterima? Dengan keadaan Jeno yang kini jauh dari kata baik.

"Mark, kamu istirahat dulu, ayah tau hari ini sangat melelahkan" ucap Donghae, lebih kepada sebuah perintah untuk Mark.

Setelah kepergian Mark, dan memastikan anak sulungnya itu masuk ke kamarnya, Donghae mendekati Jeno yang diam di pojok ruangan dekat pintu. Marilah kita sedikit bersyukur, karena rupanya Donghae masih menganggap ada nama Lee Jeno di daftar anaknya.

Jeno memandang sang Ayah tak percaya, seakan harapannya untuk setidaknya kehadirannya bisa dirasakan itu terkabul. Jeno tersenyum menyambur sang Ayah yang mulai mendekatinya, meskipun tidak dengan wajah bahagia, tidak apa cukup Jeno yang tau bagaimana bahagianya.

Plak!

Jeno limbung, beserta seluruh harapan yang pudar begitu saja, bersama setiap kebahagiaan yang tadi sudah tertanam, dan kini berubah gagal terbentuk menjadi sebuah tanaman. Jeno menghela nafasnya sabar, lagi-lagi ia tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah bisa mendapatkan yang namanya perhatian.

"Sudah puas kau buat malu nama saya?! Sudah puas kamu menghancurkan kedua orang tua kamu?! Sudah puas kamu membuat mental kakakmu sendiri berantakan?! Puas kamu membuat keluarga ini tidak lagi utuh?! Puas kamu Lee Jeno?! Sialan!" maki Donghae, bahkan tidak ada satu katapun darinya yang menghargai Jeno.

"Ayah...." lirih Jeno masih enggan menatap sang Ayah.

Nafas Donghae terengah, tapi ia masih berusaha menahan amarah yang mungkin bisa meledak lebih parah lagi. Jeno mendongak, menatap sang Ayah tajam, "ayah, kalau seandainya Mark Hyung yang datang ke tempat kejadian itu dan terlibat dalam pertengkaran itu, apa ayah masih marah seperti ini?"

Donghae berdecih, "kenapa? Buktinya Mark itu sangat jauh lebih baik dari kamu yang brengsek kayak gini"

Jeno berdiri dari simpuhnya, tidak peduli dengan tubuhnya yang sudah meronta dan memberikan beribu rasa nyeri, "iya, Jeno yang brengsek ini memang sudah sangat mempermalukan nama ayah, nama keluarga, karena menggantikan posisi Hyung yang seharusnya berada disana untuk timnya"

"Kamu. Nggak usah mengada-ada" tekan Donghae.

"Ayah sendiri yang bilang, kalau Jeno nggak boleh ikut tim inti basket. Sekarang, ayah tanya sendiri sama setiap orang yang ada di lokasi kejadian, yang ikut dalam pertengkaran itu semuanya tim inti basket, cuman karena hyung membayar lebih mahal tempat itu dan orang yang sebelumnya pesan tidak terima"

Bugh!

Jeno kembali limbung, kini hampir semua tubuhnya terbaring di lantai, pukulan ayahnya tidak main-main. "Kamu kira kamu sebaik apa?! Lee Jeno jangan mengalihkan kesalahan kamu ke orang lain! Apalagi Mark, itu yang buat saya nyebut kamu brengsek! Kelakuan kamu nggak mencerminkan keluarga Lee yang terhormat Jeno!"

Hidup | Lee Jeno [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang