3

46 23 0
                                    

You're my destiny

Diana tidak tahu, apa yang di pikirkan Dzaky. Laki-laki itu datang ke kantornya kemudian melamarnya, tapi tidak membuka satupun akun yang pernah di blokirnya. Jadi harapan Diana hanya satu saat ini. Rumah Dzaky yang pernah ia datangi dua tahun yang lalu.

Tepat saat ia menghentikan motornya di depan sebuah rumah yang tampak tak asing baginya. Hanya warna pada dinding saja yang berubah. Ia harus meluruskan semua ini, menyelesaikannya seperti dua tahun yang lalu.

"Permisi..."

Pada panggilan pertama sampai ketiga tidak ada respon. Diana menunggu sedikit lama, kemudian membuat panggilan terakhir. Dan seseorang keluar bersama balita yang tengah di gendong. Sepertinya ia salah rumah.

"Cari siapa?"

"Anu, apa rumah Dzaky?"

"Siapa anda mencari suami saya?"

Tunggu, apa?

Sejenak semuanya terdiam, Diana dengan wajah terkejutnya. Dan perempuan yang sedang mengendong bayi perempuan, menatap dirinya dengan tatapan penasaran. Saat Diana sadar dengan apa yang terjadi, berniat membatalkan rencana awal lalu pamit dan pergi. Kemudian menganggap segala yang terjadi hanya ilusi.

"Kalau gitu saya permisi."

Itu ingatan Diana beberapa hari yang lalu, kenudian sekarang ia menemukan Dzaky tengah berdiri di hadapannya masih dengan seragam PNS yang kemarin pernah ia lihat. Hari ini tidak ada Galang, kekasihnya tengah mejalani kunjugan ke rumah kedua orang tuanya. Rasanya tiba-tiba lidah Diana terasa keluh, seperti deja vu.

"Ayo aku antar pulang."

"Tunggu, ada yang harus kita bicarakan."

Dzaky awalnya memandang Diana dengan datar, kemudian menghela nafas. "Ya sudah, ayo."

Kemudian mereka berakhir di kedai kopi dekat kantor Diana. Diana yang langsung mencari meja yang tak cukup perhatian dari pandangan orang, dan Dzaky yang pergi ke meja kounter untuk memesan. Diana menggu, dan tak pernah tahu jika Dzaky sedang badai otak untuk menjelaskan maksudnya hari ini. Bahkan pria itu menunggu, agar bisa membawa pesanannya sambil berfikir.

Setelah meletakan kopi untuk Diana dan dirinya di atas meja. Dua orang itu tak langsung berbicara, mereka sama-sama memandang gelas kopi mereka. Dzaky memandang gelas yang berisi dua cangkir espresso dengan tambahan air panas dan es batu, sedangkan Diana dengan kopi dengan tambahan foam susu.

"Aku serius dengan omonganku hari itu." Dzaky kemudian menyeruput minuman hitam pahit itu, sebelum memandang Diana. "Ayo kita menikah."

Kening Diana berkerut, wajahnya mengekspresikan jika ia tak mengerti dengan ucapan Dzaky. Ia mencoba menarik nafas, membiarkan oksigen baru memasuki paru-parunya kemudian menatap Dzaky. "Kamu gak sedang konsumsi obat, kan? Kenapa jadi tiba-tiba menglantur, sih?"

"Kamu pernah bilang aku gila, dua tahun yang lalu karena minta kamu buat nikahin aku." Diana menatap Dzaky dengan tatapan datar nan sarkastik. Apalgi mengingat apa yang pernah ia alami. "Sekarang kenapa kamu tiba-tiba ngomong kalau kamu mau nikah. Sama aku pula."

"Kamu udah tahu kemarin yang mukul kamu itu pacar aku, dan sekarang masih mengajukan pernyataan yang sama."

Kemudian mereka terdiam, tak ada respon dari Dzaky. Hingga Diana bangkit dan kembali menatap laki-laki yang di depannya. "Jangan kacaukan apa yang sudah baik-baik saja."

"Aku pergi, makasih kopinya tapi aku sudah terlalu banyak kafein hari ini."

Ketika baru beberapa lamgkah menjauh Diana kembali menoleh pada Dzaky. Menatap laki-laki itu sebelum akhirnya berkata yang berhasil membuat mata Daky membulat dan ekspresi terkejut bukan main. "Dan tolong ingat sama anak dan istri kamu di rumah, aku gak mau jadi istri kedua ataupun kesekian."

***

Dan sejak hari itu, Diana tidak melihat Dzaky dalam beberapa hari. Semuanya juga kembali normal, sampai kembali pada hari Jum'at. Laki-laki kembali terlihat, tapi sama sekali tidak mencoba mendekat. Itu karena ada Galang yang selalu datang tepat waktu dan tak pernah membiarkan Diana menunggu. Tapi Galang tidak pernah menyadari keberadaan Dzaky. Selalu Diana, dan selalu tatapan mereka bertemu, sebelum akhirnya Diana memutuskannya lalu berfokus pada Galang, kekasihnya.

Lalu mulai kembali pada hari kerjan yaitu hari Senin. Diana masih tetap melihat Dzaky, menunggu di tempat yang sama dan baru pergi ketika melihat Galang. Dan itu terjadi selama dua minggu, Diana tahu Dzaky mencoba berbicara dengannya, tapi jika ada Galang itu tidak akan berjalan dengan baik. Kemudian Minggu pun datang, ia tak punya rencana apapun atau dengan siapapun.

Galang hari ini pulang ke rumah orang tuanya, dan baru pulang nanti sore. Sedangkan Diana berencana untuk tetap di kamar sambil menghabiskan beberapa camila dan film yang ada. Tapi tidak ketika ada telpon masuk dari nomor tak di kenal.

"Kamu ada waktu?"

Seharusnya Diana tidak mengangkat telpon itu, jadi ia tidak harus berakhir di kafe yang letaknya didalam mall di pusat kota. Saat ia sampai di tempat itu, dia tidak langsung menemukan Dzaky. Diana yang datang lebih dulu, jadi tanpa memesan ia langsung duduk di kursi yang kosong.

Sekitar lima menit kemudian orang yang mengundang akhirnya datang, dan langsung berjalan mengarah Diana lalu duduk di kursi kosong di depan perempuan itu.

Diana baru saja ingin berbicara, bahkan bibirnya sudah terbuka untuk mengatakan apa yang ada di ujung lidahnya. Tapi Dzaky dengan cepat memotong.

"Sebelumnya, masalah anak dan istri yang kamu omongin kemarin itu cuma salah paham. Oke?" Dzaky dengan wajah serius, "yang kemarin kamu temuin di rumah itu kakak aku, sama keponakan bukan anak ataupun istri. Aku belum menikah, Diana."

"Aku gak mungkin melamar, dan meminta seorang gadis untuk aku nikahin kalau memang aku sudah punya istri."

Diana hanya mengohkan dengan pelan, kemudian mengangguk halus. "Kamu cuma mau ngomong ini aja?"

Dzaky tersenyum tipis kemudian mengeleng. "Gak, ada banyak sejujurnya yang pengen aku sampaikan cuma aku gak tahu harus mulai dari mana."

Dè javu

Lalu mereka terjebak dalam hening, di saat sekitar mereka penuh dengan orang-orang dan urusan mereka sendiri. Diana membiarkan Dzaky ke dalam pikirannya, yang mungkin menyiapkan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan apa maksud dari pertemuan ini dan juga apa maksud dengan ajakan menikah yang Diana terima secara tiba-tiba.

"Dari sekian yang mau aku sampaikan, ada satu hal pasti. Aku benar-benar serius mengajak kamu menikah Diana."

"Ada banyak hal yang terjadi sampai aku sadar kalau aku melewatkan perempuan sehebat kamu dua tahun lalu. Dari sekian rayuan agar kamu mau menerima lamaran aku, aku entah kenapa yakin kalau kamu jodohku yang di siapkan tuhan. Tuhan benar-benar punya cara menunjukan dimana petunjuknya, dimana yang baik dan buruk untuk hambanya. Dan tuhan menunjukkannya bahwa kamu yang baik untukku. Jadi, Diana. Ayo menikah."

"Jadikan aku pria paling bahagia di dunia ini. Jadikan aku lagi sebagai alasan kamu bahagia, sedih dan marah."

Cringed banget tuhan, kesambit apa aku ini...

Unexpected Propose Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang