11

24 2 0
                                    

What are you scared of?

Pukul dua pagi. Kesadarannya masih terisi penuh tanpa rasa lelah sedikitpun, dengan pikiran kacau Galang coba untuk memanfaatkan begadang malam ini mengerjakan laporan usahanya. Terbukti, semua laporan untuk bulan lalu dan sekarang sudah selesai. Walaupun pikirannya kacau karena Thomas, dia tidak bisa diam dan hanya memikirkannya saja.

Setelah meragukan anaknya bertahun-tahun, rasanya selalu ada saja alasan untuk menghina Galang. Terlepas dari status mereka, ayah dan anak. Dia berhasil menyelesaikan kuliah, sambil merintis usaha saja tak pernah Thomas berhenti untuk menjatuhkan Galang. Lalu beberapa tahu berjalan, bisnis yang di lakukan Galang berjalan baik. Tak ada pujian untuknya, tapi itu mampu membungkam Thomas.

Sekarang perkataan Thomas menghantui Galang, belum lagi masalah tentang Dzaky, dan Hardian. Sepercaya dirinya Galang, Hardian adalah orang yang paling berhak mengenai Diana. Dia takut tak mampu mempertahankan Diana di sampingnya, membuat semua usaha mempertahankan gadis itu sia-sia. Di tambah lagi ada Dzaky, tidak tahu bagaimana hubungan pria itu dengan Hardian. Tapi Dzaky menjadi salah satu ancamannya.

Galang meraih ponselnya yang tak jauh dari jangkauan. Menghidupkan benda tipis itu, lalu menggetik beberapa angka pada layar kaca ponsel pintarnya. Lalu layar utama benda canggih itu menampakkan foto Diana berdiri dan tersenyum padanya. Gadis itu terlihat cantik, dengan rambut yang terikat seperti ekor kuda, gaun dengan potongan yang mengikuti lekuk tubuh Diana. Menampilkan kedua bahu gadisnya, dan jangan lupakan kalung yang Galang berikan hadiah untuk perayaan 100 hari mereka saat itu.

Selama ini mereka terus bersama, apapun yang terjadi mereka akan selalu kembali bersama. Karena Galang yakin Diana memang untuknya, sedangkan sekarang mereka berdua sedang mendapatkan ujian. Jadi jika dia dan Diana berhasil, mereka akan terus bersama. Selamanya.

***

Hari Senin, pukul sepuluh kurang. Tidak ada matahari yang malu-malu, karena udara sekitar lebih dari hangat. Galang memutar setir mobil untuk berbelok, tidak terlalu menginjak pedal karena tujuannya hampir sampai. Tidak ada ekspresi yang bisa menggambarkan wajah pria itu, hanya ada tatapan datar menatap lurus. Dia menekan pedal rem persis di depan tempat tujuan.

Galang tidak langsung turun, ia mencoba menenangkan isi kepalanya yang berkecamuk banyak hal. Ia baru keluar dari mobil setelah mesinnya mati. Berdiri sejenak di samping mobil. Menarik nafas, lalu menghembuskan dengan sedikit bergetar. Ia melakukan ini secara implusivitas.

"Selamat pagi, om."

"Pagi," sahut Hardian, ada kerutan kebingungan di dahi lria itu. "Kamu mau cari Diana? Dia sudah berangkat kerja."

"Bukan, saya pengen bertemu om. Ada yang mau saya bicarakan." Galang bisa lihat raut ramah Hardian yang kemarin ia lihat, sama sekali tidak ada.

"Om juga ada yang pengen bicarakan sama kamu, ayo masuk dulu."

Galang mengangguk, lalu membiarkan tubuhnya masuk ke dalam rumah lalu duduk di kursi setelah Hardian mempersilakan laki-laki itu. Hardian meninggalkan Galang sendiri selama kurang lebih empat menit. Ketika pria paruh baya itu kembali, ada satu gelas kopi hitam yang tersaji untuk Galang. Dengan pelan laki-laki itu mengucap terima kasih.

"Kamu sama Diana sudah pacaran berapa lama?"

"Hampir setahun."

Hardian mendengar itu hanya mengangguk, lalu memandang Galang. Lain dengan cowok itu yang sedang menekan rasa gugupnya, di raih cangkir yang berisi kopi lalu menyeruput.

"Apa yang mau kamu omongin?"

"Saya ingin menikahi anak om, Diana."

Galang mengucapkan kalimat itu dengan tegas, membuktikan jika ia serius dengan apa yang laki-laki ini katakan. Ia tak ingin kehilangan Diana, karena gadis itu memang di takdirkan untuknya. Tapi pria muda tersebut tak menyadari jika raut wajah Hardian yang terlihat mengeras. Buku-buku jarinya mengepal erat.

"Saya tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa, mengingat ada dua laki-laki datang kepada saya dan meminta anak saya." Galang tahu siapa yang tengah dibicarakan oleh Hardian.

"Saya sudah memberikan jawaban pada Dzaky kemarin, jika segala keputusan ada pada Diana. Lalu untuk kamu, Galang. Saya sudah menjadi orang tua yang buruk pada anak perempuan saya satu-satunya dengan membiarkan dia dengan kamu."

"Diana anak yang tertutup semenjak perceraian saya dengan ibunya, saya hampir tak pernah mendapatkan keluhan hati anak saya sendiri. Karena dia lebih suka menangis sendirian di kamarnya. Menutup segala lukanya di depan saya, setiap dia melakukan hal itu hati saya sakit luar biasa. Belum lagi tiap saya liat dia nutupin semua luka memar dia. Jika hanya satu atau dua kali, mungkin saya bisa berfikir kalau itu hanya luka dari kecerobohan Diana. Tapi tidak ketika saya terus-terusan menemukan semua luka di wajahnya sampai dia harus menyembunyikan dengan masker dan segala riasan wajah. Agar saya tidak tahu."

"Sampai saya tahu kalau kamu tidak memperlakukan anak saya dengan baik. Saya sebagai ayahnya saja tidak pernah memukul Diana, tapi kamu. Orang asing yang hanya dengan status hubungan rendahan seperti pacar bisa-bisanya memukul Diana. Saya tidak tahu dan tidak mengerti kenapa Diana bisa tahan hampir setahun dengan kamu, kenapa Diana tidak mau melaporkannya pada saya ataupun polisi! Dan sekarang kamu bilang ingin meminang anak saya? Keberanian dari mana semua itu?"

Galang tidak menjawab, ketakutannya datang. Dan ia tak sanggup menghadapinya, laki-laki itu menunduk kepala. Hardian melihat pemuda yang di hadapannya terlihat diam dan seperti tidak akan berbicara untuk menjawab segala perkataannya.

"Kalau tidak ada lagi yang ingin kamu bicarakan silakan pergi, saya disini benar-benar menahan diri itu menghajar kamu habis-habisan."

"Saya sangat amat serius dan mencintai Diana. Berikan saya kesempatan."

"Saya tidak ingin kembali menjadi orang tua yang buruk untuk anak saya sendiri dengan memberikan restu pada kamu. Tidak, jika tidak lagi silakan pergi."

Saat Galang melangkah nyaris mendekati pintu, Hardian kembali bersuara. Perkataan pria paruh baya itu membuat ketakutan akan mimpi buruk Galang kembali terangkat di kepala pria itu.

"Putus dengan Diana dan tinggalkan dia."

Pikiran Galang masih terus terbang pada percakapan antara ia dengan Hardan, orang tua dari Diana. Galang sudah tak berada di rumah Diana, ia memakirkan mobil di pinggir jalan dan tetap di dalam dengan mesin masih menyala. Tapi kemudian ia teringat pertama kali ia bertemu Diana, gadis yang pertama kali menghabiskan malam di kelab malam. Wajah polos benar-benar mengatakan jika dia asing dengan tempat yang seperti itu. Lalu bagaimana gadis itu canggung dan galak pada awal mereka berkenalan. Kemudian bagaimana wajah bahagia Diana yang senang mendapatkan hadiah ataupun yang sedang menikmati makanan.

Tapi Galang tak pernah ingat bagaimana wajah Diana menangis ketakutan ketika tangan dan kakinya mendarat dengan keras pada tubuh gadis itu.

Pengen bikin cerita yang bisa di baca 68 jt kali, atau lebih. Kek cerita best seller wattpad yg bahasa inggris. Tpi semua bertahap, jadi ayo semangat

Unexpected Propose Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang