Byungchan masih takut-takut melihat Wooseok yang justru setelah bangun dari pingsannya semakin asyik mengobrol dengan hantu itu. Bagaimana tidak takut, jelas-jelas yang Byungchan lihat Wooseok bicara sendiri meski Byungchan sudah percaya lawan bicaranya ada hanya saja tak terlihat oleh mata Byungchan.
"Kak, ngobrol sama aku aja. Aku beneran masih merinding," Byungchan memperlihatkan rambut halus di lengannya naik ke atas.
"Wow, ternyata bener kata yang lain gangguin manusia yang ketakutan seru."
Wooseok membesarkan bola matanya menatap galak sosok tinggi itu. Sementara yang ditatap tetawa menutup mulutnya.
"Kak, hantunya masih di kamar ini?" tanya Byungchan bola matanya berputar mengelilingi setiap sudut kamar.
Wooseok mengangguk, "Itu dia duduk di sana," Wooseok menunjuk kursi di dekat meja belajar yang tak jauh dari tempat tidur yang sedang Wooseok dan Byungchan duduki.
"Lagi ngapain?"
"Ngetawain kamu, lucu katanya lihat kamu ketakutan," jawab Wooseok.
Byungchan mendengus sebal. Jika saja bukan hantu mungkin Byungchan akan murka tapi sekarang mau marah saja dia tidak tahu harus menghadap ke mana.
"Kak Wooseok tadi ngobrol apa aja sama dia?"
"Aku tanya nama dia siapa, dia bisa jadi arwah gentayangan begini kenapa?" jawab Wooseok.
"Terus dia jawab apa?" Byungchan antusias menunggu jawaban Wooseok.
Wooseok menggeleng, "Dia sama seperti aku Chan, gak inget apa-apa."
Ada raut prihatin di wajah Byungchan.
Wooseok tersenyum, "Mungkin karena itu aku dan dia langsung dekat karena kami memiliki masalah yang sama."
"Tetep beda Kak, Kakak manusia dia hantu," komentar Byungchan membuat sosok itu kesal.
Sosok itu melempar sekotak tisu ke arah Byungchan,"Terus kalau gue hantu kenapa? Gue juga pernah jadi manusia!"
Byungchan beringsut ke arah Wooseok.
"Wei, kamu gak boleh gitu sama temanku," bela Wooseok.
"Maafin aku ... siapa tadi namanya? Wei?" ujar Byungchan.
Wooseok mengangguk, "Dia sebenernya gak inget namanya tapi karena teman-temannya sering manggil Woy, Wey, jadilah dia kalau kenalan bilang namanya Wei," jelas Wooseok pada Byungchan.
"Ooh gitu ...."
Suara pintu terbuka memecah percakapan mereka.
"Kak Seungwoo pulang," ujar Byungchan yang langsung berdiri dan berjalan menuju pintu utama.
Byungchan memeluk Seungwoo, hal yang biasa ia lakukan ketika menyambut teman hidupnya itu pulang.
Seungwoo bersiap untuk bicara namun Byungchan lebih dulu bersuara, "Sayang, duduk dulu. Aku ambilin teh baru kita bicara ya," pinta Byungchan lembut.
Seungwoo menuruti permintaan Byungchan.
Sekarang mereka berempat—yang terlihat memang hanya bertiga, duduk di sofa berwarna abu di ruang tamu rumah itu.
"Apa maksud kalian dengan hantu? Ayolah, stop talking nonsense," ucap Seungwoo.
"Kak, biar Kakak percaya aku akan minta Wei buktiin dia ada di sini," ujar Wooseok.
"Oke, aku perlu bukti, sekarang semuanya ilmiah dan logika, hantu? Gak masuk akal," kekehan Seungwoo jelas meremehkan perkataan Wooseok dan Byungchan tentang hantu yang ada di rumah.
Wooseok menatap Wei, ia tahu sejak tadi Wei sudah siap menempeleng kepala Seungwoo jika saja ia tidak melarangnya.
"Tapi Kakak jangan pingsan ya?" ucap Byungchan.
"Pingsan? Jangan ngawur kamu," balas Seungwoo.
Kali ini Wei sudah tidak tahan, ia pukul kepala Seungwoo.
"Rasain!"
Seungwoo celingukan. Wooseok dan Byungchan menahan tawa.
"Itu dia Kak, yang mukul Kakak itu hantu yang kita omongin sejak tadi. Namanya Wei," jelas Byungchan sambil tetap menahan tawanya agar Seungwoo tak semakin kesal.
"Kalau lo beneran ada coba muncul sini!" tantang Seungwoo.
"Andai gue bisa nongolin diri, dari lo masuk ke rumah ini gue udah bakal keliatan bangsat!" Wei kemudian meniup tengkuk Seungwoo.
Seungwoo merasakan dingin yang menusuk pada lehernya tetapi ia tetap tak percaya.
"Kalau dia masih gak percaya terpaksa deh gue pakai cara ini," ucap Wei.
"Kamu mau ngapain Wei?" tanya Wooseok yang melihat Wei berjalan menuju lemari kaca tempat meletakkan beberapa penghargaan dan pajangan.
Seungwoo mengernyitkan dahinya, kemudian mengikuti arah tatapan Wooseok.
"Wei, kamu jangan aneh-aneh itu penting semua," Wooseok memberi peringatan.
"Gue cuma nyari gunting Seok, pengen gue potong itu poni si dokter biar percaya gue tuh beneran ada."
"Dia bilang apa?" tanya Byungchan.
"Katanya mau nyari gunting, pengen motong poni Kak Seungwoo."
Seungwoo menatap sinis Wooseok, Wooseok hanya mengangkat kedua bahunya.
Kali ini mata Seungwoo sungguh terbelalak kala laci dari lemari itu terbuka tanpa ada orang yang menariknya kemudian gunting itu jelas melayang seperti ada seseorang yang membawanya.
"Kakak masih gak percaya sama kita?" tanya Byungchan memastikan.
Seungwoo hanya menelan ludah ketika hawa dingin kembali terasa dan jelas ada yang memegang poninya serta gunting itu tepat berada di depan matanya.
"Cih, tadi bilang apa? Pingsan? Nonsense? Makan tuh omongan lo, belom sempet gue gunting itu poni udah ambruk duluan."