Louisa menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Sebentar lagi seragamnya akan berganti menjadi putih abu-abu. Tidak, ia yakin rok seragam osis SMA-nya bukan berwarna abu-abu. Tapi condong ke biru. Dan ia yakin banyak murid seumurannya yang bingung mengapa seragam mereka disebut seragam putih abu-abu. Ah, intinya seragam lamanya akan segera nangkring di lemari dan takkan ia kenakan lagi.
Kalau mengingat hal itu, ia jadi kesal sendiri. Tujuan awalnya datang ke sini bukan untuk pindah sekolah, tapi liburan. LI-BU-RAN. Tapi tau-tau ia diseret ke dalam situasi super tidak menyenangkan yang orangtuanya ciptakan. Ah sialan. Louisa mendengus, memikirkan kembali percakapan antara dirinya dan orangtuanya saat makan malam seminggu yang lalu.Flashback on
Suara denting sendok dan garpu memenuhi ruang makan. Louisa melahap steaknya dan menatap dua orang di depannya. Wulan-mamanya, dan Hendrick-papanya yang juga tengah menyantap makan malam mereka.
“Gimana sama Jakarta? Ngga banyak berubah, kan?” tanya Wulan dengan senyum manisnya.
“Banyak yang berubah ih, Ma.” Louisa mengerutkan keningnya. Tak setuju dengan perkataan Wulan.
“Yang penting kamu ngga banyak berubah.” ujar Hendrick dengan raut wajah santai.
“Masa si, Pa? Louisa ngga berubah sama sekali?” ia balik bertanya, benarkah ia tidak banyak berubah? Padahal baru dua tahun ia di Belanda sebelum dipanggil ke Indonesia.
“Iya, kamu sama aja kaya dulu, sama-sama banyak bicaranya.” ledek Wulan, disusul suara tawa Hendrick.
“Ih, Mama nyebelin.” Louisa mendengus, ia meletakkan gelas ke meja. Lalu mengelap sudut bibirnya dengan kain yang ada di sebelahnya.
Wulan terkekeh, sejurus kemudian ia melirik suaminya. Seakan memberi kode pada laki-laki itu untuk melakukan sesuatu. Hendrick mengangguk, lalu berdeham.
“Louisa?” panggilnya lembut, yang dipanggil menoleh dan mengangkat kedua alisnya. Menatap papanya dengan tatapan ada apa, Pa?
“Papa mau ngomong sama kamu, dengerin dulu ya.” Hendrick menggeser kursinya mendekati putri sematawayangnya itu.
“Kenapa, Pa? Kayanya serius banget.” Louisa membenarkan posisi duduknya.
“Jadi, Papa punya sahabat di sini. Namanya Sergey, dia sahabat Papa dari muda, nah dia punya anak cowok nih. Seumuran sama kamu, cakep, pinter lagi, namanya Sebastian,” Louisa mengerutkan keningnya, kenapa papanya tiba-tiba memberitau hal tidak penting seperti itu?
“Terus kenapa, Pa?”
“Beberapa hari lalu, Papa sama Om Sergey ketemu dan ngobrol tentang kamu sama Sebastian. Dan, kami memutuskan agar kalian bertunangan.”
What the fuck.
“Hah? Tunangan ? Papa apa-apaan sih, Louisa masih muda gini kok tunangan si? Pa, Louisa masih tujuh belas tahun, masih muda, pacar aja ngga punya.” tolak Louisa cepat. Jantungnya berdegup kencang, gila saja ia harus bertunangan!
“Louisa dengerin dulu-”
“Ngga, Pa! Louisa masih mau sekolah, jalan-jalan di Belanda, dan kejar impian di sana.” potong cewek itu dengan wajah tak suka.
“Louisa dengerin Papa dulu.” tukas Wulan, ia paling tidak suka kalau putrinya itu bertingkah tidak sopan.
“Maaf, Ma.”
“Jadi, Papa mutusin buat kalian bertunangan itu juga ada sebabnya, Nak. Pertama, Papa pengin kamu bisa dapat laki-laki yang memang pas, cocok, dan baik buat kamu. Papa ngga mau kamu salah pergaulan, apalagi ngga ada Papa dan Mama yang bisa mantau kamu 24 jam. Dan Papa tau kalau Om Sergey dan keluarganya itu baik, Sebastian pun Papa rasa cocok sama kamu. Dia cukup dewasa untuk kamu yang polos begini.”
Louisa fokus mendengarkan, meski hatinya tak karuan saat mendengar tiap kata yang papanya itu ucapkan. Tidak pernah terbayang kalau liburannya ke Indonesia berakhir tragis seperti ini.
“Kedua, Papa dan Om Sergey saling bekerja sama dalam urusan bisnis. Jadi kalau kalian bertunangan, hubungan kami bisa lebih baik lagi. Kamu tau kan relasi penting dalam bisnis?”
Oke, Louisa paham yang satu itu. Tapi ia tetap tak paham mengapa harus bertunangan! Apalagi dengan cowok yang bahkan ia tidak tau mukanya seperti apa.
“Jadi, akhirnya Papa sepakat sama ide gila ini?” tanya Louisa.
“Iya, Louisa, Papa rasa ini yang terbaik.”
The end, hancur sudah masa depan yang Louisa tata dengan serapi dan seindah mungkin. Pupus sudah harapannya untuk memiliki cowok Belanda.
“Gimana? Kamu setuju, kan?” Wulan tersenyum.
Dengan berat hati seberat-beratnya, Louisa hanya bisa mengangguk pasrah. Toh tidak ada gunanya ia menolak, orangtuanya pasti akan memaksa dirinya untuk setuju. Aarrgh tau lah Louisa tidak peduli.
“Good girl, anak Papa emang yang terbaik.” Hendrick mengusap kepala Louisa dan menatap Wulan senang.
"Tapi sekolah aku gimana, Pa?" Tanya Louisa cemas.
"Kamu akan Papa daftarkan di Jakarta. Tenang saja, sekolah baru kamu nanti ngga akan kalah bagus sama yang di Belanda. Oke?" Jawab Hendrick.
"Oke, Pa." Louisa menunduk.
Hendrick tersenyum.
“Kalau begitu, lusa malam keluarga kita akan makan malam dengan keluarga Om Sergey, kamu siap-siap ya, dandan yang cantik.” tambah Wulan.
“Hmm.” balas Louisa seadanya.Flashback off
Louisa mendesah kasar, ia malas kalau harus mengingat percakapan itu. Apalagi mengingat kalau ia akan segera bertunangan. Bahkan dengan cowok yang ia tidak tau mukanya, attitudenya, keluarganya, dan kehidupannya. Bahkan namanya saja ia sudah lupa!
Ah anjir, hidup gue ngenes amat sih. Batinnya seraya melempar sabuk ke sembarang arah. Ia merebahkan dirinya ke kasur. Menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Membayangkan dirinya akan menjalin hubungan yang cukup serius membuatnya kesal dan cukup resah.
Bodoamat lah. Batinnya sebelum terlelap dalam tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebastian : My Perfect Fiancee
Genç Kurgu"Siapa juga yang mau jadi tunangan cowok barbar kek lo." Louisa pikir kepulangannya ke Indonesia hanya untuk menghabiskan waktu liburan sekolah. Namun siapa sangka jika liburan itu menjadi titik balik hidupnya. Ia tidak pernah membayangkan jika...