Why Me? || Prolog

3.5K 319 60
                                    

"Hidup itu sekali, jadi harus dinikmati dengan senang hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Hidup itu sekali, jadi harus dinikmati dengan senang hati. Jangan terlalu memikirkan orang-orang yang mulutnya kayak belati, yang nantinya malah bikin kita makan hati."
-Fey



"Hana!" teriak seorang gadis dari arah pintu masuk kafe.

"Sorry lama, macet banget. Astaga haus! Lo udah pesenin gue minum?" cerocos gadis berambut lurus itu.

"Udah, tapi belum datang."

"Minta punya lo, ya?" Tanpa menunggu persetujuan sang pemilik, gadis itu telah menyeruput minuman milik sahabatnya.

"Permisi, Mbak. Jus alpukatnya, silakan." Waiters itu meletakkan segelas jus alpukat di atas meja.

"Makasih, Mas ganteng! Han, lo tahu gak? Tadi di kampus ada kabar hot. Lo, sih, gak ke kampus." Gadis berambut lurus itu mulai bercerita dengan antusias.

"Gue tadi ada urusan, Fey. Makanya izin. Memang berita apaan? Penting, gak?"

"Penting, dong! Kalau lo dengar, asli lo bakalan teriak!" tutur gadis bernama Fey itu dengan semangat.

"Yaudah, ayo cerita! Gue kepo."

"Bu Sindi hamil. Yang hamilin si Asep anak Akuntansi semester delapan itu," jelas Fey masih dengan nada antusias.

"Astaga! Jadi, benar mereka pacaran? Omegat! Bu Sindi lebih tua lima tahun daripada si Asep. Hebat juga si Asep bisa luluhin hati macan betina." Hana ikut merespons dengan mata hampir membulat sempurna.

Tawa kedua gadis itu pecah, membuat laki-laki yang duduk di belakang Fey menoleh. Hana yang menyadari tingkahnya telah mengganggu pengunjung lain segera berdeham dan berhenti tertawa.

"Maaf."

Fey ikut menoleh ke arah tatapan Hana, tapi tidak ikut meminta maaf. Detik berikutnya ia kembali menghadap Hana sambil menyeruput jus alpukatnya.

"Ngapain lo minta maaf? Ini tempat umum. Jadi bebas dong, kita mau ngobrol keras-keras." Bukannya minta maaf, Fey malah menyindir laki-laki itu.

"Fey! Gak boleh begitu!"

"Iya iya. Terus lo tahu? Bu Sindi malu dan langsung ngajuin surat pengunduran diri. Untung si Asep mau lulus. Jadi, dia gak perlu pindah kampus." Fey melanjutkan ceritanya.

"Wah! Berarti kita gak akan bertemu sama macan betina itu lagi? Astaga! Gue senang banget!" Hana bersorak gembira mendengar kabar yang dibawa Fey. Namun, kali ini dengan suara yang lebih pelan.

Fey dan Hana menghabiskan waktu di kafe itu dengan banyak bahan obrolan. Meski bukan hal penting, tapi sebagai mahasiswi, mulut mereka kadang suka bicara melewati batas normal tentang dosen-dosen di kampus.

"Ngomong-ngomong, gak ada info tentang dosen baru yang bakalan ganti Bu Sindi?" tanya Hana sambil menyeruput es capucino-nya hingga tandas.

"Belum. Gue harap dosen baru kita asik. Gak kayak macan betina itu," ucap Fey, dan Hana hanya manggut-manggut.

Hana melirik arloji yang melingkar di tangan kanannya, "Eh, udah jam tujuh. Balik, yuk!"

"Ayo! Gue juga capek. Mau tidur awal malam ini."

Dengan keras Fey mendorong kursi kayu yang ia duduki, hingga menghantam kursi milik laki-laki yang ada di belakangnya. Laki-laki itu menoleh dan memasang tatapan yang tak bisa diartikan.

"Maaf, Om. Saya gak sengaja."

"Om? Setua itukah saya?"

Laki-laki itu manatap dalam wajah cantik Fey dan membuat gadis itu bergidik ngeri. Ia langsung pergi membayar dan keluar dari kafe bersama Hana.

"Fey, lo gak boleh dong manggil cowok tadi om. Dia kan belum tua-tua banget. Masih ganteng gitu," tutur Hana saat mereka sudah berada dalam mobil.

"Pak, anterin Hana dulu, ya," kata Fey pada sopir pribadinya.

"Fey, lo dengar gue, gak?" tanya Hana kesal saat merasa ucapannya tak mendapat respons.

"Han, gue gak suka tipe cowok kayak dia. Tua dan kaku. Ish! Gak banget, astaga! Jangan bahas dia, lah! Gak penting!" Fey bergidik ngeri membayangkan laki-laki tadi dan tatapan anehnya.

"Dia gak tua, Fey. Cuma penampilan dia yang pakai jas gitu jadi kelihatan dewasa. Muka dia masih ganteng tadi gue lihat," ucap Hana sambil mengingat kembali wajah laki-laki tadi.

"Bodo. Dia bukan tipe cowok gue."

"Terus, tipe cowok lo kayak apa memang?" tanya Hana penasaran.

"Em ... kayak Kak Nantha. Cakep, pinter, keren, baik. Ah, menurut gue dia sempurna!" Fey tersenyum membayanngkan ucapannya sendiri.

"Jijik! Dia homo!"

"Apaan, sih!"

"Gue lihat dia setiap hari sama Kak Devan. Berarti mereka homo, 'kan?" Hana menatap Fey yang kini menyipitkan mata.

"Heh! Kak Devan punya pacar, ya! Enak aja lo bilang Kak Nantha homo!"

Hana hanya tertawa kemudian segera turun saat merasa mobil itu telah berhenti di depan rumahnya.

"Makasi, Fey. Mudah-mudahan lo segera dapat jodoh! Tante Ria udah gak sabar pengen gendong cucu! Hahaha!"

"Apaan, sih! Gue masih belum mau nikah! Masih bahagia nikmatin masa muda!"

Hana tertawa semakin keras saat melihat wajah kesal Fey kala membicarakan soal pernikahan. Fey memang belum siap menikah, tapi orang tuanya kerap kali menyindir perihal pernikahan di depannya sampai ia merasa muak mendengar kata pernikahan.

Why Me? [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang