Season to Remember

833 83 19
                                    

SUASANA damai nan menenangkan di balkon lantai dua rumah, ditemani secangkir teh hijau hangat, dan semburat oranye di ufuk langit nyatanya tidak membuat sore hariku damai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SUASANA damai nan menenangkan di balkon lantai dua rumah, ditemani secangkir teh hijau hangat, dan semburat oranye di ufuk langit nyatanya tidak membuat sore hariku damai. Semua karena ulah Kim Jisoo yang seenaknya memberondongi kontak chatku dengan hal-hal tidak penting. Tidak masalah kalau soal pasien atau hal darurat lainnya di rumah sakit. Tetapi ini hanya sekadar dokter muda yang sedang coass yang katanya sangat tampan hingga membuat Jisoo ingin menikah lagi. Rupanya temanku yang satu itu tidak ingat umur. Padahal kedua anak kembarnya sudah berusia tigabelas tahun, setahun lebih muda dari anak pertamaku.

Gila memang. Meskipun sifat dan sikapnya kadang membuatku ingin memukul dan menghabisi, tetap saja Bobby alias Kim Jiwon adalah sosok suami yang baik. Tidak lebih baik dari Little Bean-ku tentunya. Dia tetap nomor satu. Tetapi pembuktian-pembuktian cinta Bobby pada Jisoo bertahun-tahun lalu agaknya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan betapa Jisoo sangat berharga bagi si pria Kim itu. Mungkin besok aku harus kembali menceramahi Jisoo.

Mematikan layar ponsel, aku beralih meraih teh hijauku, menyesapnya dengan mata terpejam. Barangkali bisa mengembalikan kedamaian yang sebelumnya ada sebelum Jisoo mengganggu. Namun tidak sampai lima menit usahaku mencoba memulihkan pikiran yang penat, suara derit kursi yang diduduki mengambil alih atensiku.

Manik cokelat gelap milik seseorang langsung menyambut begitu aku membuka mata dan menoleh. Ah, Aurora-ku sudah pulang rupanya. Senyumnya yang secerah mentari pagi terbit, langsung mengurungkan niat awalku untuk memberondonginya dengan berbagai pertanyaan--lebih kepada mengomelinya--yang sejak tadi sudah aku tahan-tahan. Kalau sudah mendapat senyum dan tatapannya yang lebih mirip dengan anak anjing begitu, mana mungkin aku tega bertanya apalagi mengomel padanya?.

Aurora-ku itu sangat mirip dengan ayahnya, si Little Bean. Mau seberapa kesal pun seharian ini aku mencari dan menunggunya pulang. Lalu bersiap mengomelinya yang ketahuan bolos sekolah hari ini. Tetap saja aku akan kalah. Dia terlalu menggemaskan untuk aku marahi, atau memang aku saja yang terlalu menyayanginya?.

Jadi menyesal dulu sewaktu mengandungnya, aku nyaris membenci Little Bean, memarahinya setiap punya kesempatan, menyusahkannya dengan berbagai alasan mengatasnamakan ngidam. Sekarang buahnya malah persis dengannya.

Coba di lihat seksama, bahkan dari rahang, bibir, hingga tatapannya saja adalah hasil duplikat dari Little Bean! Tidak adil! Kakaknya pun sama saja. Justru lebih parah karena tidak terlihat mirip denganku atau pun Little Bean. Tetapi aku berani bersumpah itu anak kami.

Tahu begini dulu aku terima tawaran Little Bean lagi untuk hamil anak ketiga. Barangkali yang ketiga mirip denganku.

"Mommy pasti mau memahariku ya?." Pertanyaan Aurora membuatku menelan kembali ocehan yang nyaris keluar. Mengembungkan pipinya yang gempal--sepertinya ini satu-satunya hal darinya yang mirip denganku--Aurora meraih teh dan meminumnya sampai habis. "Aku mengaku salah deh. Aku memang bolos dua kelas terakhir tadi, tetapi itu pun karena anak Mama yang tiba-tiba sudah ada di depan kelasku dan mengiming-imingi Amusement Park! Mommy tahu kan betapa aku sudah sangat merindukannya dan hampir menangis setiap malam tiap kali dia menelpon?." Tambahnya lagi, mencari pembelaan yang mana untuk satu hal ini aku malah memakluminya.

[2] EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang